Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Berbicara Dalam Shalat

Hukum Berbicara Dalam Shalat
Rasul menjelaskan tentang Hukum Berbicara Dalam Shalat, sebagaimana hadits (1) dari  Zaid ibn Arqam ra, berkata

 كنا نتكلم في الصلاة يكلم الرجل منا صاحبة ، وهو إلى جنبه في الصلاة حتى نزلت: وقوموا لله فانطين ، فأمرنا بالسكوت ونهينا عن الكلام 

"Kami berbicara ( berkata-kata ) di dalam shalat. Seseorang dari kami berbicara dengan temannya yang berdiri di sampingnya. Hal itu berlangsung sehingga diturunkan ayat: “dan tegak berdirilah kamu dalam shalat dengan berdiam ( tidak berbicara dengan seseorang ).” Sesudah itu kami pun diperintahkan diam ( tidak boleh berbicara lagi ) dalam shalat; kami dilarang berbicara.” ( HR. Al-Jama'ah, selain dari Ibnu Majah; Al-Muntaqa 1: 475 ) 

(2) Ibnu Mas'ud ra. berkata:

 كنا نسلم على النبي ﷺ وهو في الصلاة فيرد علينا. فلما رجعنا من عند النجاش سلمنا عليه فلم يرد علينا. وقلنا: يارسول الله ، كنا نسلم عليك في الصلاة فترد علينا. فقال: ان في الصلاة لشغلا 

"Kami menyampaikan salam kepada Nabi, padahal beliau sedang shalat. Nabi menjawab salam kami itu. Ketika kami kembali dari Habsyah ( Najjasyi ) kami mendapati Nabi sedang shalat. Maka kami pun memberikan salam kepada beliau, namun salam kami itu tidak dijawab. Karena itu kami bertanya: Kami dahulu memberikan salam kepada tuan, sewaktu tuan sedang shalat, maka Rasul menjawab salam kami ( mengapakah kini tuan tidak jawab salam kami ) ? Maka Nabi menjawab: “Di dalam shalat itu ada urusan yang perlu diperhatikan benar benar.” ( HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Murtage 1: 476 ) 

(3) Mu'awiyah ibn Hakam As-Sulami ra berkata:

 بين انا اصلى مع رسول اللہ ﷺ اذ عطس رجل من القوم ، فقلت: يرحمك الله, فرماني القوم بابصارهم فقلت: واثكل أماه ماشانكم تنظرون إلي ؟ قال: فجعلوا يضربون بأيديهم على افخاذهم ، فلما رأيتهم يصمتونی لکني سكت ، فلما صلى رسول الله ﷺ فبأبي وامي ما رايت معلما قبله ولابعده أحسن تعليما منه فوالله ما گهرني ولاضربني ولا شتمني ، فقال: ان هذه الصلاة لا يصلح منها شيء من كلام الناس ، انما هي التسبيح والتكبير وقراءة القران ، أو كما قال رسول الله ﷺ 

"Selagi saya shalat beserta Rasullullah, tiba-tiba seorang laki-laki bersin. Karena itu, saya pun men-tasymit-kannya ( mengucapkan: rahimakallah mudah mudahan Allah merahmatimu ). Mendengar tasymit-ku itu, jama'ah yang hadir memandang diriku. Ketika itu, aku pun berkata: “Wahai malangnya seorang yang ditinggal mati anaknya, mengapa tuan-tuan melirikkan mata kepadaku ? " Para hadirin itu memukul paha. Karena itu mengertilah aku bahwa maksud mereka su paya aku berdiam. Tetapi sebenamya aku sendiri telah berdiam, tidak mau ber tutur lagi. Setelah Rasullah selesai shalat ( demi Tuhan, aku tidak pemah men jumpai seorang pengajar sebelumnya dan sesudahnya yang lebih baik-daripada Rasulullah- ). Beliau tidak menghardikku, tidak memukulku, tidak memakku, beliau hanya berkata: “Ke dalam shalat itu, tidak patut dimasukkan pembicaraan pembicaraan manusia. Kandungan shalat itu, tasbih, takbir dan tilawah Al Qur'an.” ( HR. Ahmad, Muslim, An-Nasa'y dan Abu Daud; Al-Muntaqa 1: 477 ) 

Hadits (1) diriwayatkan oleh Al-Jama'ah selain dari Ibnu Majah. Perkataan: “Kami ditegah ( dilarang ) berbicara ", terdapat dalam riwayat Muslim. Riwayat At Turmudzy, berbunyi: “Kami berbicara di belakang Rasul di dalam shalat.” Menurut At-Turmudry, hadits ini hasan shahih. 

Hadits ini menyatakan bahwa berbicara di dalam shalat, haram hukumnya. 

Hadits (2) dalam suatu riwayat Ahmad dan An-Nasa'y terdapat perkataan: “Kami memberikan salam kepada Rasul dalam shalat ketika kami di Makkah, sebelum pergi ke Habasyah. Ketika kami kembali dari Habasyah, kami mendatangi Nabi, lalu kami memberikan salam. Beliau tidak menjawab salam kami. Karena itu saya ( Ibnu Mas'ud ra ) bergundah hati. Sesudah selesai beliau shalat, saya pun bertanya. 

Maka Nabi menjawab " Sesungguhnya Allah, telah mengeluarkan undang undang-Nya menurut kehendak-Nya. Kita telah diperintahkan, tidak boleh ber bicara-bicara lagi di dalam shalat.” Menurut riwayat Abu Daud, setelah Nabi me nerangkan larangan berbicara dalam shalat, barulah Nabi menjawab salam Ibnu Mas'ud.

Al-Hafidh dalam Fathul Bari mengatakan " Menurut riwayat Ibnu Abi Syabah, Nabi menjawab salam Ibnu Mas'ud di dalam shalat dengan isyarat.” Hadits ini menyatakan bahwa di antara sunnah Nabi dalam menjawab salam yang diberikan kepada kita di dalam shalat ialah menjawabnya sesudah selesai shalat. Menurut riwayat Ibnu Abi Syaibah, kita boleh menjawab salam dalam shalat dengan isyarat saja. 

Hadits (3), dalam riwayat Ahmad terdapat perkataan: “kandungan shalat ialah tasbih, takbir, tahmid dan Al-Qur'an.” Menyatakan bahwa berbicara dalam shalat hukumnya haram, baik karena ada keperluan ataupun tidak, baik untuk kemaslahatan sendiri ataupun bukan. 

Hadits ini memberi isyarat pula bahwa menepuk paha dalam shalat adalah sebelum adanya aturan membaca tasbih bagi orang laki-laki ( untuk mengingatkan orang yang lupa dalam shalat ) dan menepukkan tangan bagi orang perempuan ( untuk mengingatkan orang yang lupa mengerjakan sesuatu dalam shalat ). 

Juga hadits ini menjadi dalil, bahwa takbir dalam shalat dan qira'ah ( Al-Fatihah ) itu fardhu. Juga tasbih dan tahmid. Men-tasymit-kan orang yang bersin, dianggap berbicara yang membatalkan shalat.

Jika demikian dilakukan lantaran tidak mengetahui hukum, tidak membatalkan shalat. Mengingat bahwa Nabi tidak menyuruh Mu'awiyah ibn Al-Hakim mengulangi shalatnya. 

Tidak ada khilaf ( perbedaan pendapat ) di antara fuqaha bahwa seseorang yang berbicara dengan sengaja dalam shalat, batal shalatya. 

Ibnul Mundzir berkata: “Ahli ilmu telah berijma' bahwa orang yang berbicara dalam shalat dengan sengaja dan bukan dengan maksud memperbaiki shalatnya, batal atau fasid shalatnya.” 

Para ulama berselisih paham tentang berbicara secara tidak sadar dan orang yang tidak mengetahui hukum. Malik mengatakan: “Berbicara yang disengaja, kalau sedikit dan dengan maksud untuk memperbaiki shalat, tidak membatalkan shalat.” 

Diriwayatkan oleh At-Turmudzy dari kebanyakan ahli ilmu, bahwa mereka menyamakan berbicara karena lupa dan orang jahil yang tidak mengetahui hukum, dengan orang yang sengaja berbicara. Pendapat ini dipegang oleh Ats-Tsaury dan Ibnul Mubarak. Demikian juga An-Nakha'y, Hammad ibn Abi Sulaiman, Abu Hanifah dan Qatadah dalam salah satu riwayatnya.

Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir pula, bahwa Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abdullah ibn Zubair meriwayatkan dari para sahabat, Urwah ibn Zubair, Atha ' ibn Abi Rabah, Al-Hasan Al-Bishry, Qaradah ( riwayat kedua ), bahwa mereka membedakan antara berbicara orang lupa dan orang awam yang berbicara dengan sengaja.

Menurut riwayat Al-Hazimy bahwa Amar ibn Dinar juga begini pendapat nya DN antara iman-imam Madzhab yang berpendapat demikian ialah Malik, Asy-Syafly Ahmad, Abu Taur dan Ibnul Mundzir An-Nawawy menegaskan, bahwa beginilah paham Jumhur.

Dalam syarah muslim An-Nawawy berkata: Hadits Zaid ibn Arqam memberi pengertian bahwa segala rupa pembicaraan, haram dilakukan dalam shalat. 

Segolongan ulama di antaranya Al-Auza'y, berkata: “Berbicara untuk kemash lahatan shalat, dibolehkan.” 

Golongan yang tidak membedakan, ber-hujjah dengan lahir hadits ini. 

Golongan yang membedakan, ber-hujjah dengan hadits: Nabi pernah berbicara dalam keadaan lupa, lalu menyambung shalatnya. Keadaan ini diperoleh dalam hadits Dzul-Yadaini, dan dengan hadits " rufi'a 'an ummati al-khatha'u wan nisyan= diangkat dari umatku kesilapan dan kelupaan.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ad-Duraquthny, Ath-Thabrany, Al-Baihaqy dan Al-Hakim.

Mereka tidak ber-hujah ( untuk tidak membatalkan shalat orang yang ber bicara karena awam ( tidak mengetahui hukum ), dengan hadits Mu'awiyah Al-Hakam ini, yakni: Nabi tidak menyuruhnya mengulangi shalatnya lagi. 

Al-Hafizh dalam Fathul Bari berkata: lahir perkataan yang dipahamkan dari hadits Zaid ibn Arqam menyatakan bahwa yang me-mansukh-kan kebolehan berbicara dalam shalat, adalah ayat " wa qümü lillahi qüitin.” 

Dengan demikian diperoleh pengertian bahwa hukum ini terjadi di Madinah, karena ayat tersebut turun di Madinah. Akan tetapi berita yang disampaikan Ibnu Mas'ud memberi pengertian, bahwa hukum yang menetapkan tidak boleh berbicara dalam shalat, terjadi di Makkah. Al-Hafizh me ngatakan pula menurut lahir, yang dimansukhkan itu ialah menjawab salam dengan salam. 

Adapun menjawab salam dengan isyarat tetap di bolehkan. Para ulama yang mengatakan bahwa keharaman berbicara dalam shalat terjadi di Makkah, berpendapat bahwa Zaid tidak mengetahui hukum tidak boleh berbicara itu, sebelum turun ayat tersebut. 

Mereka berpendapat, bahwa ayat itu turun sesudah berlaku-nya hukum la rangan berbicara dalam shalat adalah untuk menguatkan hukum itu. 

Kata sebagian ulama, Ibnu Mas'ud waktu itu baru kembali dari hijrah ke Habsyah yang kedua, dan itu terjadi ketika Nabi sedang menyiapkan tentara untuk peperangan Badar. Untuk itu, salam yang disampaikan Ibnu Mas'ud kepada Nabi yang sedang shalat itu, terjadi di Madinah. Pendapat ini dipegang oleh Al-Khath thaby Pendapat pertama dipegangi oleh Abu Thayyib Ath-Thabary.

Al-Khaththaby dalam Ma'allimus Sunan berkata: “Para ulama telah berselisih tentang hukum orang yang sedang shalat yang menerima salam dari seseorang. 

Segolongan ulama, seperti Sa'id ibnul Musayyab, membolehkan orang yang shalat itu menjawab salam. Demikian juga pendapat Al-Hasan Al-Bishry dan Qatadah. Daiwayatkan dan Abu Hurairah dan Jabit, bahwa beliau beliau itu menjawab salarn dalam shalat. Kebanyakan para Fuqaha berkata: “Tidak boleh menjawab salam di dalam shalat. 

Menurut riwayat dari Ibnu Umar, salam itu cukup dijawab dengan isyarat. Atha ", Asy-Syafi'y, An-Nakha'y dan Ats-Tsaury mengatakan bahwa salam itu di jawab setelah selesai shalat. Abu Hurairah mengatakan, salam tidak boleh dijawab walaupun dengan isyarat.

Ibnu Ruslan berkata: “Madzhab Asy-Syafi'y dan jumhur ulama menetapkan, bahwa mendapat salam ketika sedang shalat, cukup dijawab dengan isyarat. Diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasa'y dan At-Turmudzy, yang diakui hasan olehnya dari Syuhaib, ujarnya: “Saya telah pernah berlalu di hadapan Rasullullah, ketika beliau sedang shalat, lalu saya memberikan salam, maka beliau mejawabnya dengan isyarat. Diberitakan oleh Muslim, Abu Daud, An-Nasa'y, At-Turmudzy dan Ibnu Majah dari Jabir ujamya: “Saya diutus Rasulullah pergi ke Musthaliq. Ketika saya kembali, saya dapati Nabi sedang shalat di atas untanya, lalu saya terangkan hasil usaha saya. Maka Nabi menjawab dengan isyarat tangannya, kemudian saya terangkan lagi, lalu beliau menjawab dengan isyarat tangannya juga. Saya mende ngar beliau sedang membaca ayat sambil menundukkan kepalanya. Setelah Nabi lesai shalat, barulah beliau bertanya: “Apakah yang kamu telah lakukan ? Saya tidak dapat menyahut, karena saya sedang dalam shalat.” 

Nyata dan jelas, bahwa berbicara dalam shalat dengan sengaja, padahal me ngetahui bahwa yang demikian itu tidak boleh, dan bukan untuk kemashlahatan shalat itu sendiri, juga bukan pula untuk melepaskan orang yang akan binasa. maka perbuatan itu membatalkan shalat. 

Berbicara disebabkan lupa, atau karena tidak mengetahui bahwa hukum berbicara itu tidak boleh, atau karena untuk ke mashlahatan shalat atau kemashalahatan orang lain yang sangat membutuhkan nya, maka kami cenderung kepada pendapat yang tidak membatalkan shalat. Dalam pada itu, hendaklah dilakukan sujud sahwi. Mengenai hukum menjawab salam, menurut hadits yang shahih, sudah cukup jelas yakni dengan isyarat, bukan dengan menjawab salam itu. 

Referensi:

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam buku Koleksi Madits-hadits Hukum Jilid-2, bab Pekerjaan yang Membatalkan Shalat, yang Makruh, dan yang Dibolehkan