Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hak Harus Didahulukan Dalam Mawaris

Hak Harus Didahulukan Dalam Mawaris
Hak-hak yang harus didahulukan sebelum para waris menerima bagiannya ada tiga, yang dilaksanakan secara tertib (berurut). Hak yang pertama: tajhiz. Tajhiz, ialah segala yang diperlukan oleh seorang yang me ninggal sejak dari wafatnya sampai kepada menguburnya, seperti belanja, memandikannya, mengkafankannya, menguburkannya dan segala yang diperlukan sampai diletakkannya ke tempat yang terakhir. 

Hak ini yang harus diambil dari jumlah tarikah sebelum diambil hak-hak yang lain. Dalam mengeluarkan belanja-belanja ini, haruslah dituruti apa yang dipandang ma'ruf oleh agama, yakni tanpa berlebih-lebihan dan tanpa pula terlalu menyedikitkan. 

Dan hal ini berbeda-beda menurut keadaan orang yang meninggal itu. Keperluan ini didahulukan atas membayar hutang, walaupun hutang itu berpautan dengan sesuatu benda, seperti hutang orang yang menggadaikan barangnya. Demikian menurut mazhab Ibnu Hanbal. 

Golongan Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanafiyah, mendahulukan pembayaran hutang yang berpautan dengan benda. Sesudah dibayar hutang yang disebabkan penggadaian, barulah diambil keperluan tajhiz, kemudian barulah hutang-hutang yang lain yang tidak berpautan dengan benda, seperti hutang mahar.

Sebagaimana diambil terlebih dahulu dari tarikah, kadar yang diperlukan untuk tajhiz-nya, maka begitu pula diambil kadar yang perlu untuk tajhiz orang yang wajib dibiayainya, baik karena hubungan kekerabatan, ataupun perkawinan. Apabila ahli waris ter lebih dahulu meninggal sebelum meninggalnya muwaris (yang me ninggalkan harta warisan), belum memenuhi hak tajhiz anaknya yang meninggal itu, maka diambillah dari tarikahnya sekedar yang cukup untuk tajhiz anaknya atau istrinya. 

Dalam pada itu terdapat perbedaan paham tentang tajhiz istri. Menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Hanafiyah, tajhiz istri wajib dipikul oleh suami, walaupun istri itu kaya. Menurut pendapat Muhammad, jika istri itu kaya, maka tajhiz-nya dipikulnya sendiri. Jika dia fakir, maka tajhiz-nya, wajib atas kerabat-kerabatnya yang wajib membiayainya. 

Menurut mazhab Hanbaliyah, tajhiz istri, tidak harus dipikul oleh suami. Yang harus dipikul oleh yang meninggal itu, ialah tajhiz kerabat-kerabatnya yang wajib dinafkahi. Menurut Syafi'iyah dan Malik, wajib atas si suami, walaupun sang istri kaya. Apabila orang yang meninggal tidak mempunyai harta maka tajhiz-nya itu dipikul oleh kerabat-kerabat yang wajib manafkahinya. Jika tidak ada yang wajib menafkahinya, atau ada, tetapi fakir, maka tajhiz-nya dipikul oleh Baitul Mal. 

Kalau Baitul Mal tidak dapat mengeluarkan keperluan tajhiz nya, maka wajiblah dipikul oleh hartawan-hartawan Islam dan menjadi fardhu kifayah terhadap mereka. 

Pengeluaran yang lebih dari kadar keperluan secara ma'ruf menurut syara', tidak boleh diambil dari tarikah, terkecuali kalau para waris merelakannya, jika mereka orang-orang yang berakal dan sampai umur, tidak di bawah pengawasan. Dan tidak boleh sekali kali diambil yang lebih dari itu dari bagian anak-anak atau yang tidak berakal dan yang di bawah pengawasan. 

Orang-orang yang memberi hutang kepada yang meninggal itu dapat menyanggah pengeluaran yang berlebih-lebihan. Hak yang kedua, hutang yang harus dibayar oleh orang yang meninggal. Untuk keperluan membayar hutang diambil dari tarikah, sesudah dipotong untuk keperluan tajhiz.

Menurut pendapat jumhur fuqaha, bahwasanya hutang-hutang kepada Allah tidaklah gugur karena orang yang belum membayar hutangnya meninggal dan wajiblah hutang-hutang itu ditunaikan sebelum menunaikan wasiatnya, walaupun tidak diwasiatkan untuk membayarnya. 

Menurut pendapat golongan Hanafiyah, hutang-hutang kepada Allah seperti hutang zakat, kafarat dan nazar, tidak diambil dari tarikah. Walaupun jumhur fuqaha sependapat dalam menetapkan bahwa hutang-hutang kepada Allah, diambil dari tarikah dan didahulukan terhadap wasiat, namun mereka berbeda pendapat dalam tertib (urutan) penunaiannya. 

Ada yang mengatakan, bahwa hutang-hutang kepada Allah didahulukan terhadap hutang-hutang kepada sesama manusia. Demikianlah mazhab Syafi'iyah dan Ahl adh-Dhahir. 

Ada yang mengatakan, bahwa hutang-hutang kepada Allah dikemudiankan daripada hutang kepada sesama manusia. Inilah mazhab Malikiyah. Ada yang mengatakan bahwa hutang kepada Allah dan hutang kepada hamba yang tidak berpautan dengan benda, sederajat dalam menunaikannya (membayarnya), dan dikemudiankan daripada hutang kepada sesama hamba yang berpautan dengan benda. Inilah pendapat golongan Hanbaliyah.

a. Bagian-bagian hutang dan cara-cara menunaikannya

Orang yang meninggal dapat mempunyai hutang-hutang kepada Allah dan mempunyai hutang kepada sesama manusia. Hutang-hutang kepada sesama manusia, ada yang menyangkut harta, ada yang berkaitan dengan pribadi yang meninggal, ada hutang-hutang yang dilakukan di masa sehat dan ada hutang-hutang yang dilakukan dalam keadaan sakit. 

Hutang yang dilakukan dalam keadaan sakit, baru dapat diketahui berdasarkan pengakuan si sakit sendiri pada saat dia sakit. 

Hutang yang dilakukan dalam keadaan sehat, meliputi hutang yang ada keterangannya, baik yang dilakukan dalam keadaan sehat, ataupun dalam keadaan sakit, baik yang diakui di masa sehat, atau ada saksi di masa dia sakit. 

Maka sekiranya orang yang sakit yang membawa kepada kematiannya, mengaku ada berhutang, yang diketahui atas keterangan orang-orang yang mendampinginya, seperti hutang karena dia merusakkan sesuatu di waktu dia dalam sakit maka hutang yang semacam ini, dipandang hutang dalam masa sehat juga. Karena bukti adanya hutang itu, ialah penyaksian, seperti ongkos dokter yang mengobatinya, atau harga obat yang dimakannya.

Hutang-hutang kepada Allah, menurut mazhab Hanafiyah, tidak dituntut lagi sesudah dia meninggal. Mengenai hutang sesama manusia (hamba), yang berpautan dengan benda, diambil dari tarikah sebelum dipotong tajhiz, seperti hutang dengan meng gadaikan barang. Demikian menurut mazhab Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafi'i. Menurut mazhab Ahmad tidak didahulukan pembayaran hutang yang berpautan dengan benda terhadap tajhiz (biaya perawatan jenazah). 

Ringkasnya cara menyelesaikan hutang si mati dari harta peninggalannya ialah diambil sisa hartanya sesudah diambil sekedar mencukupi bagi tajhiz-nya dan tajhiz orang yang di bawah tanggung jawab untuk membayar hutangnya. Dan kalau sisa harta itu tidak cukup untuk membayar hutang, maka semua sisa itu diambil oleh yang menghutangkannya, jika dia hanya seorang. Jika yang meng hutangkan itu tiga orang, maka masing-masingnya mengambil menurut prosentase hutang. 

Demikianlah dilakukan jika hutang hutang itu sama nilainya, yaitu semua hutang itu dilakukan dalam masa sehat atau semua hutang itu dilakukan dalam masa sakit. Jika hutang-hutang itu tidak sama statusnya, ada hutang yang dilakukan dalam masa sehat dan ada hutang yang dilakukan dalam masa sakit, maka didahulukanlah hutang dalam masa sehat, sesudah itu, dilunasi hutang yang dilakukan dalam masa sakit, dan dari sisa harta itu dibagi menurut prosentase masing-masing. 

Jika harta itu habis untuk membayar hutang-hutang yang dilakukan dalam masa sehat, maka hutang-hutang yang dilakukan dalam masa sakit tidak dibayar lagi.

b. Apakah masa membayar hutang jatuh tempo karena matinya yang berhutang ?

Dalam masalah ini ada 3 pendapat ulama: 

Pertama: pendapat jumhur fuqaha, hutang yang belum jatuh tempo dianggap telah jatuh tempo dengan wafatnya orang yang berhutang. Namun tidak jatuh tempo bila yang meninggal si pem beri hutang.

Kedua: pendapat golongan Hanbaliyah dan segolongan dari tabi'in seperti Al-Hasan al-Basri dan Az-Zuhri, hutang yang di tangguhkan itu tidak jatuh tempo dengan matinya yang berhutang, atau yang menghutangkan. Jatuh tempo berdasarkan isi akte per janjian yang telah dibuat dahulu. 

Ketiga: pendapat golongan Dhahiriyah, hutang yang ditangguh kan, menjadi hutang yang harus langsung dibayar, hilang arti tangguh dengan meninggal salah seorang di antara para pihak. 

Dalil bagi masing-masing golongan ini diulas panjang lebar dalam kitab-kitab figh. Hak yang ketiga, ialah hak menunaikan wasiat yang meninggal dalam batas-batas yang dibenarkan syara' tanpa perlu persetujuan para waris yaitu tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan, sesudah diambil keperluan tajhiz dan keperluan membayar hutang, baik wasiat itu, untuk waris, ataupun untuk orang lain. 

Jika lebih dari sepertiga harta, diperlukanlah persetujuan para waris kalau mereka semuanya sudah dapat didengar persetujuannya dan mengetahui hukumnya. Jika mereka tidak memberi persetujuan, batallah wasiat terhadap yang lebih dari sepertiga, karena syara ' membolehkan bagi yang meninggalkan pusaka, Menentukan sendiri penggunaan sepertiga hartanya untuk mewujudkan sesuatu maksudnya yang dibenarkan syara'. 

Hukum ini telah ditegaskan dalam beberapa hadits yang di riwayatkan dari berbagai-bagai jalan, berkenaan dengan pertanyaan Sa'ad ibn Abi Waqqash waktu beliau sakit. 

Diperlukannya persetujuan para waris terhadap yang lebih dari sepertiga, adalah jika yang meninggalkan pusaka itu, mempunyai waris atau orang yang mempunyai status waris. Yaitu orang yang diakui ada hubungan darah dengan yang meninggalkan pusaka itu. Adapun jika tidak ada waris dan orang yang di dalam hukum waris, maka wasiat yang lebih dari sepertiga harta, bahkan semua harta dipandang sah dan berlaku. 

Didahulukan pembayaran hutang dan menunaikan wasiat dalam batas yang tidak diperlukan persetujuan para waris, meng ingat firman Allah dalam ayat-ayat mawaris, yang menerangkan bagian bagian yang menjadi hak para waris. 

Di dalam ayat-ayat itu, empat kali diulang-ulangi penegasan mendahulukan wasiat, terhadap bagian pusaka. Dan ayat-ayat itu jelas menandaskan bahwa pembagian pusaka dilakukan sesudah dipenuhi wasiat dan hutang. Didahulukan pembayaran hutang terhadap wasiat, padahal Al Qur'an menyebut wasiat sebelum hutang, mengingat apa yang di laksanakan Nabi saw. sendiri, yaitu mendahulukan hutang sebelum wasiat seperti yang diriwayatkan oleh Ali ra. 

Berwasiat untuk seseorang sebelum meninggal, baik qarib atau pun bukan, tidak wajib dilakukan, menurut pendapat jumhur. Terkecuali terhadap hak orang yang apabila tidak diwasiatkan, tidak diketahui bahwa hak itu ada padanya dan amanah yang tidak ada saksi, maka wajiblah dia berwasiat supaya amanah itu dikembalikan oleh waris kepada pemiliknya, seperti yang ditegaskan oleh Ibnu ' Abdil Barr. 

Apabila seseorang meninggal dengan meninggalkan seorang anak lelaki dan seorang cucu lelaki dari anak lelaki yang telah meninggal lebih dahulu, tidaklah wajib dia berwasiat untuk cucunya itu dan seluruh hartanya menjadi hak anaknya yang masih hidup itu.

Demikian menurut jumhur. Akan tetapi, menghilangkan hak si cucu sama sekali dari harta peninggalan kakeknya lantaran ayahnya lebih dahulu meninggal sebelum kakeknya, menimbulkan kemudaratan bagi si cucu itu. 

Karenanya sebagian ulama salaf berpendapat, bahwa jalan memberikan hak kepada cucu itu dari harta kakeknya, ialah wasiat yang harus dilakukan oleh si kakek. Dan apabila si kakek tidak mem buat wasiatnya, maka penguasa dapat menganggap bahwa wasiat itu telah dilakukan oleh si kakek. 

Dan inilah yang dikatakan wasiat wajibah. Cucu itu menerima sebanyak yang dapat diterima oleh ayahnya, andaikata ayahnya masih hidup dan tidak lebih dari sepertiga harta, baik dia seorang ataupun lebih. Dan kalau cucu-cucu itu dari anak perempuan, maka mereka mendapat seperlima dari harta peninggalan, yaitu apabila ada dua orang anak lelaki dari yang meninggal (Masalah wasiat wajibah ini akan diterangkan tersendiri). Mengenai wasiat untuk para waris, maka para ulama berbeda pendapat. 

Kesimpulannya apabila para waris dapat menerima pusaka, maka tidak sah dibuat wasiat untuk mereka, tanpa per setujuan waris-waris yang lain. Tetapi kalau waris itu tidak dapat menerima pusaka karena berlainan agama, maka wasiat untuk mereka sah dan berlaku. 

Fuqaha Zaidiyah berpendapat bahwa wasiat sebanyak sepertiga harta untuk waris, dipandang sah dan boleh dilakukan tanpa per setujuan waris-waris yang lain, karena menurut pendapat mereka, bahwa yang di-mansukh-kan dengan ayat mawaris, hanyalah kewajiban berwasiat untuk ayah dan kerabat-kerabatnya yang terdekat. Terhapusnya hukum wajib, tidak berarti terhapusnya hukum boleh. 

Dan hadits yang menerangkan bahwa tidak ada wasiat untuk waris, ditujukan kepada waris yang dapat menerima pusaka. 

Hak yang keempat, ialah pusaka yang dimiliki oleh para waris. Apabila masih ada sisa harta, sesudah diambil keperluan tajhiz, ke perluan membayar hutang dan wasiat. Maka sisa itu menjadi hak waris dan dibagi menurut ketentuan syara ' sendiri. 

Para ulama berbeda pendapat tentang mana yang didahulukan, keperluan tajhiz atau keperluan membayar hutang, walaupun para ulama sependapat dalam mendahulukan kedua hal ini atas wasiat dan pusaka. 

Menurut mazhab Ahmad, hendaklah didahulukan tajhiz atas pembayaran hutang, baik hutang itu berpautan dengan benda, maupun berpautan dengan pribadi. Ibnu Hazm berpendapat bahwa membayar segala macam hutang didahulukan atas tajhiz. 

Menurut pendapat jumhur dan golongan Hanafiyah, hutang hutang yang berpautan dengan benda didahulukan atas tajhiz, sedang hutang-hutang yang berpautan dengan pribadi, dikemudian kan dari tajhiz.

Dalam Buku Fiqh Mawaris Yang Ditulis Oleh Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy