Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Buya HAMKA dan Pramoedya Ananta Toer

Buya HAMKA dan Pramoedya Ananta Toer
Awal tahun 1963, dunia sastra Indonesia digemparkan oleh dua surat kabar harian ibukota, yaitu Harian Rakyat dan Harian Bintang Timur. Koran berbau komunis itu memberitakan di halaman pertama; "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" adalah hasil jiplakan oleh pengarang Hamka. 

Alasan berita itu dilansir oleh seorang penulis bernama Ki Panji Kusmin. Sedangkan di Harian Bintang Timur, dalam lembaran Lentera, juga memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang Alvonso care, seorang pujangga Prancis. 

Lembaran Lentera ini diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer, Berbulan-bulan lamanya kedua koran komunis ini menyerang Ayah dengan tulisan-tulisan berbau fitnah. Bahkan juga menyerang pribadi. Namun begitu, aku lihat Ayah tenang-tenang saja menghadapi segala hujatan dari Ki Panji Kusmin dan Pramoedya Ananta Toer itu. 

Irfan Hamka Menuturkan kisah tersebut sebagai berikut:

Aku yang waktu itu bersekolah di SMAN IX merasakan tekanan batin juga. Guru Sastra Indonesiaku seorang guru PGRI Vak. Sentral, begitu pula dengan guru CIVIC-ku, keduanya dengan gaya mengejek selalu menanya kesehatan Ayah dan tidak lupa berkirim salam. Kupingku terasa panas bila kedua guruku itu bertanya kepadaku. Begitu pula halnya dengan saudara-saudaraku yang lain. 

Apalagi membaca kedua koran yang sengaja dikirim ke rumah secara gratis. PKI melakukan usaha kudeta tanggal 30 September 1965 namun gagal. Dalam usaha kup itu 6 orang Jenderal dan 1 perwira gugur dibunuh PKI. Begitu sejarah mencatat. Akibat kegagalan kup PKI itu, kedua guru SMA-ku falu diberhentikan sebagai guru dan pegawai negeri. Pramoedya Ananta Toer sendiri kemudian ditahan di Pulau Buru. 

Beberapa tahun kemudian, Pramoedya Ananta Toer dibebaskan. Ia kemudian melakukan kegiatannya lagi. Ayah tidak pernah berhubungan dengan tokoh Lekra yang tidak pernah bosan menyerang Ayah di kedua koran Komunis itu. Ayah nyaris tidak pernah merasa terusik dengan apa yang diperbuat sastrawan tersebut kepada Ayah. Ayah sangat tenang sekali menyikapi semuanya. 

Pada suatu hari, Ayah kedatangan sepasang tamu. Si perempuan orang pribumi, sedangkan yang laki-lakinya seorang keturunan China. Kepada Ayah si perempuan kemudian memperkenalkan diri. Namanya Astuti. Sedangkan si laki-laki bernama Daniel Setiawan. Ayah agak terkejut ketika Astuti mengatakan bahwa ia adalah anak Sulung dari Pramoedya Ananta Toer. Astuti menemani Daniel menemui Ayah untuk masuk Islam sekaligus mempelajari agama Islam, menjadi seorang mualaf. Cerita Astuti, selama ini Daniel adalah seorang non-muslim. Ayahnya, Pramoedya, tidak setuju bila anak perempuannya yang muslimah menikah dengan laki-laki yang berbeda kultur dan agama. 

Selesai Astuti mengutarakan maksud kedatangannya serta bercerita latar belakang hubungannya dengan Daniel, tanpa ada sedikit pun keraguan, permohonan kedua tamu itu diluluskan Ayah. Daniel Setiawan calon menantu Pra moedya Ananta Toer langsung dibimbing Ayah membaca dua kalimat syahadat. Ayah lalu menganjurkan Daniel ber khitan dan menjadwalkan untuk memulai belajar agama Islam dengan Ayah. 

Dalam pertemuan dengan putri sulung Pramoedya dan calon menantunya itu, Ayah sama sekali tidak pernah menyinggung bagaimana sikap Pramoedya terhadapnya beberapa waktu yang lalu. Benar-benar seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka berdua. Salah seorang teman Pramoedya yang bernama Dr.Hoe daifah Koeddah pernah menanyakan kepada Pramoedya, apa alasan tokoh Lekra ini mengutus calon menantunya menemui Hamka.

Dengan serius Pram menjelaskan kepada temannya itu. " Masalah faham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka. " Pramudya menjelaskan dengan gamblang. 

Menurut Dr. Hoedaifah yang tertuang dalam majalah Horison, Agustus 2006, secara tidak langsung, tampaknya Pramoedya Ananta Toer dengan mengirim calon menantu ditemani anak perempuan kepada Buya, seakan ia meminta maaf atas sikapnya yang telah memperlakukan Ayah kurang baik di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat. 

Dan secara tidak langsung pula Ayah telah memaafkan Pramoeudya Ananta Toer dengan bersedia membimbing dan memberi pelajaran agama Islam kepada sang calon menantunya. Aku sendiri sangat yakin, sesungguhnya Ayah tidak pernah sedikit pun merasa bermusuhan dengan Pramoedya Ananta Toer.