Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Buya Hamka Dan MR. Mohammad Yamin

Buya Hamka Dan MR. Mohammad Yamin Tokoh PNI
Irfan Hamka Menuturkan tentang bukti-bukti bagaimana kebesaran jiwa dan pemaafnya Hamka. Irfan mengungkapkan bahwa sulit aku mengukur pribadi orang yang memiliki jiwa besar dan pemaaf seperti Hamka. Mungkin saja penilaianku ini terlalu subjektif karena aku adalah anak Buya Hamka. Tetapi catatan sejarah dan peristiwa yang terjadi yang bisa disaksikan oleh banyak orang, tentu bisa dinilai sendiri oleh khalayak apakah aku sangat subjektif atau menulis apa adanya. 

Dua tulisan sebelumnya yaitu menceritakan tentang Hamka Dan Soekarno dan Cerita Jiwa Besar Dan pemaaf Hamka sebagai contoh. Aku coba kemukakan di bawah ini tentang bagaimana hubungan Hamka dengan Mr. Moh Yamin dan Pramoedya Ananta Toer. 

Tahun 1955 sampai 1957, sebagai seorang anggota Kontituante dari Fraksi Partai Masyumi, Hamka cukup aktif dalam sidang yang merumuskan Dasar Negara Republik Indonesia. 

Dalam sidang ada dua pilihan sebagai Dasar Negara, yaitu; 

  • UUD'45, dengan Dasar Negara Pancasila 
  • UUD'45, dengan Dasar Negara Berdasarkan Islam 

Untuk kedua pilihan Dasar Negara tersebut, terbelah dua front yang sama kuat. Front pertama, kelompok Islam dengan Partai Masyumi sebagai pimpinannya, mengajukan dasar negara berdasarkan Islam. Front kedua, dipimpin PNI, Partai Nasional Indonesia, yang ingin negara berdasarkan Pancasila. 258 Dalam suatu acara persidangan, Hamka menyampaikan pidato politiknya. Dengan sangat berani Hamka menyampai kan isi pidatonya.

Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasar kan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka ! " kata Hamka dalam pidatonya. Mendengar pernyataan Hamka, para hadirin dalam Sidang Paripurna Konstituante tersebut terkejut. Tidak saja pihak yang mendukung Pancasila, tetapi mereka yang mendukung negara berdasarkan azas Islam juga terkejut. 

Mr. Moh. Yamin juga sangat terkejut atas pernyataan Hamka. Sebagai seorang anggota konstituante dari Fraksi PNI, tokoh PNI ini tidak saja marah besar, tetapi berlanjut dengan kebencian yang sangat kepada Hamka. 

Walaupun kedua tokoh yang berseberangan ini sama-sama berasal dari Sumatera Barat, Mr. Moh. Yamin tidak dapat menahan kebenciannya kepada Hamka, baik di saat mereka bertemu dalam acara resmi, seminar kebudayaan, atau ketika sama sama menghadiri sidang Konstituante. 

Aku masih ingat ketika rumah kami kedatangan tamu, Buya KH. Isa Ansani, seorang ulama sekampung dengan Hamka di Maninjau, tapi sudah lama bermukim di Kota Bandung. Dalam acara makan siang, Buya KH. Isa Ansani bercakap-cakap dengan Hamka. 

Di sela percakapan tersebut, disinggung juga perihal hubungan Hamka dengan Mr. Moh. Yamin oleh Buya Isa. " Apa masih tetap Yamin bersitegang dengan Hamka ? " tanya Buya Isa Ansani. " Rupanya bukan saja wajahnya yang memperlihatkan kebenciannya kepada saya, hati nuraninya pun ikut mem benci saya, " jawab Hamka ringan. Selanjutnya, Soekarno lalu mengeluarkan Dekrit, mem bubarkan Konstituante dan Parlemen, serta menetapkan UUD '45 dan Pancasila sebagai dasar negara. 

Beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1962, Mr. Moh. Yamin jatuh sakit parah dan dirawat di Rumah Sakit Pusai Angkatan Dasar, RSPAD. Hamka mengetahuinya dari berita koran dan radio. 

Suatu hari, Hamka menerima telepon dari Bapak Chaerul Saleh, salah seorang Menteri di Kabinet Soekarno waktu itu. Pak Chaerul Saleh mengatakan bahwa ia ingin datang bersilaturahmi kepada Hamka sekaligus ingin menyampai kan perihal sakitnya Mr. Moh. Yamin. Lalu Bapak Chaerul Saleh datang menemui Hamka di rumah.

Beliau kemudian menceritakan perihal sakitnya Mr. Moh. Yamin kepada Hamka. " Buya, saya membawa pesan dari Pak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja datang menemui Buya untuk menyampaikan pesan dari Pak Yamin.

Ada pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir beliau. " Pak Chaerul Saleh mengutarakan maksud kedatangannya kepada Hamka. " Apa pesannya ? " tanya Hamka. " Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya. 

Saat ini, Pak Yamin dalam keadaan sekarat, " jawab Pak Chaerul Saleh. Mendengar perkataan Pak Chaerul Saleh, Hamka agak terkejut. Sekilas teringat kembali oleh Hamka sikap ber musuhan dan bencinya Pak Yamin terhadap Hamka. " Apalagi pesan Pak Yamin ? " Kembali Hamka bertanya kepada Menteri yang ditugaskan Pak Yamin tersebut. " Begini Buya. Yang sangat merisaukan Pak Yamin adalah, beliau ingin bila wafat dapat dimakamkan di kampung halamannya yang telah lama tidak dikunjunginya. 

Beliau sangat khawatir masyarakat Talawi, kampung halamannya, tidak berkenan menerima jenazahnya. Karena ketika terjadi pergolakan di Sumatara Barat dahulu, Pak Yamin turut mengutuk aksi pemisahan dari NKRI. 

Beliau mengharapkan sekali, Buya bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya. " Bapak Chaerul Saleh benar-benar sangat berharap. Sejenak Hamka terdiam. " Kalau begitu, mari antar saya ke RSPAD menemui beliau ! " ajak Hamka kemudian. Tanpa berlama-lama lagi, sore itu juga Hamka dan Pak Chaerul Saleh tiba di rumah sakit. Dalam ruangan VIP, sudah banyak pengunjung yang hadir. Hadir juga beberapa Pendeta, Biksu Budha, dan tokoh tokoh lain. Pak Moh. Yamin terbaring di tempat tidur dengan selang infus dan oxygen tampak terpasang. 

Melihat kedatangan Hamka, tampak wajahnya agak berseri. Dengan gerakan yang sangat lemah Pak Yamin mencoba melambaikan tangan nya sebagai isyarat agar Hamka mendekat. Salah seorang pengunjung lalu meletakkan sebuah kursi untuk Hamka duduk di dekat Pak Yamin. Hamka kemudian menjabat tangan Pak Yamin, lalu dengan lembut Hamka mencium kening tokoh yang bertahun-tahun membencinya. " Terima kasih Buya sudah sudi untuk datang, " bisik Pak Yamin dengan suara yang nyaris tidak terdengar oleh yang lain.

Dari kedua kelopak matanya kemudian tampak air mata menggenang. " Dampingi saya ! " bisiknya lagi pada Hamka. Tangan Hamka masih terus digenggamnya. Mula-mula Hamka membisikkan surah Al-Fathihah. Kemudian kalimat La illaha illalah. Dengan lemah Pak Yamin mengikuti bacaan yang Hamka bisikan. Kemudian Hamka mengulang kembali membaca kalimat tauhid tersebut sebanyak dua kali. Pada bacaan yang kedua sudah tidak terdengar lagi Pak Yamin mengikuti Hamka. Hanya isyarat yang diberikannya berupa mengencangkan genggaman tangannya ke tangan Hamka. Kembali Hamka membisikkan kalimat tauhid, bahwa Tiada Tuhan selain Allah, ke telinga Pak Yamin. 

Kali ini sudah tidak ada respons sedikit pun dari Pak Yamin. Hamka pun merasa genggaman Pak Yamin mengendur dan tangannya terasa dingin lalu perlahan terlepas dari genggaman tangan Hamka. Seorang dokter lalu datang memeriksa. Dokter itu memberitahu, bahwa Pak Yamin sudah tidak ada lagi. Sudah meninggal dunia. Innalillahi wa inna illaihi raaji'yun. 

Mr. Moh. Yamin, tokoh yang bertahun-tahun sangat membenci Hamka, di akhir hayatnya meninggal dunia sambil bergenggaman tangan dengan Hamka. Keesokan harinya, memenuhi pesan terakhir Almarhum, Hamka pun menemani jenazah Pak Yamin di makamkan di Desa Talawi, Payakumbuh, Sumatera Barat. 

Proses pemakaman dilakukan dengan upacara kenegaraan. Inspektur upacaranya adalah Bapak Menteri Chaerul Saleh. Siang hari itu juga, Hamka kembali ke Jakarta. Rangkaian kisah ini, aku dengar dari Hamka sendiri dan terakhir dari saudara Syakir Rasyid putra Buya Sutan Mansyur yang ikut mendengar cerita Hamka kepada guru beliau yaitu A.R. Sutan Mansyur sepulang dari Talawi, di rumah Buya Sutan Mansyur.