Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Syarah Hadits Arbain An-Nawawi Ke-20 Tentang Perasaan Malu

Syarah Hadits Arbain An-Nawawi Ke-20 Tentang Perasaan Malu
HADITS KE-20 menjelaskan tentang pentingnya perasaan malu merupakan bagian dari perkataan dari kenabian. ini sebagaimana Hadits nabi riwayat dari  Abu Mas'ud Uqbah bin Amru Al-Anshari Al-Badri bahwa ia berkata:
Hadits Arbain An-Nawawi Ke-20 Tentang Perasaan Malu

BIOGRAFI RAWI 

Abu Mas'ud Uqbah bin Amru Al-Anshar Al-Badri ini sekalipun tidak pernah turut serta dalam perang Badr, namun dinisbahkan kepada Badr, karena sahabat ini tinggal di Badr. Ia juga pernah tinggal di Kufah, namun akhirnya meninggal di kota Madinah pada tahun 41 hijriyah. Dari sahabat ini diriwayatkan sebanyak 102 hadits. Hadits ke – 20

PENGANTAR 

Hadits ini begitu agung dan menjadi poros Islam serta dasar dasar akhlak. Hadits ini diucapkan oleh Nabi dengan begitu fasih dan ringkas, dan terhitung sebagai intisari dari sabda-sabda Nabi.

PENJELASAN 

Sabda Nabi : إذا لم تستح فاصنع ما شئت " Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.” 

Maknanya : Jika kamu hendak melakukan sesuatu, dan kamu tidak merasa malu untuk melakukannya, baik di hadapan Allah maupun di hadapan manusia; maka kerjakanlah keinginanmu itu. Jika tidak demikian, maka jangan kamu lakukan. Di atas hadits ini berporos seluruh amalan Islam. 

Bertolak dari sinilah, maka nabi bersabda: " Berbuatlah sesukamu.” Di antara para ulama ada yang menafsirkan hadits dengan pengertian: Jika kamu tidak merasa malu kepada Allah dan juga tidak merasa diawasi oleh-Nya, maka tunaikan saja angan angan nafsumu dan lakukan saja apa yang kamu inginkan. Sehingga perintah di sini berarti ancaman ( tahdid ) dan bukannya menunjukkan kebolehan. Sehingga sabda Nabi ini sama pengertiannya dengan firman Allah : ( Perbuatlah apa saja yang kamu kehendaki ), dan juga seperti firman Allah: "Dan hasunglah siapa saja yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu ( ajakanmu )".

Adapun Intisari penting dari Hadits ini adalah sebagai berikut:

Pertama; atsar umat-umat sebelumnya kadang masih ada hingga ke tangan umat ini, berdasarkan sabda Nabi "Sesungguhnya di antara yang dijumpai manusia dari penuturan nubuwah pertama.” Ini buktinya. 

Contoh penjelasan Al-Qur'an: Atsar-atsar yang dinukil dari umat-umat sebelumnya, mungkin melalui perantara wahyu Al-Qur'an, sunnah, atau dinukil orang secara turun temurun. sebgaimana firman Allah: "Sedangkan kamu ( orang-orang kafir ) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, ( yaitu ) kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” ( Al A1 : 16-19 ) 

Contoh-contoh yang ada dalam penjelasan banyak sekali, Nabi sering kali menyebut tentang Bani Israil. Terkait atsar dari kenabian sebelumnya itu dapat dikatagorikan menjadi tiga; 

  • Dibenarkan oleh syariat kita. Atsar seperti ini shahih dan bisa diterima. 
  • Tidak dibenarkan oleh syariat kita. Atsar seperti ini batil dan tertolak. 
  • Tidak ada penjelasannya dalam syariat kita, apakah termasuk yang dibenarkan ataukah ditolak. Atsar-atsar jenis ini tidak bisa diamalkan. 

Di antara atsar yang bathil adalah sebagaimana kisah berikut:

"Yahudi bilang, Dawud memiliki seorang prajurit, si prajurit ini memiliki istri cantik jelita. Dawud tertarik dan menginginkannya. Untuk masalah ini, Dawud memerintahkan si prajurit itu untuk berperang agar terbunuh, sehingga Dawud bisa kawin istrinya. 

Atsar ini jelas munkar. Sikap jahat ini tidak dilakukan orang yang baik pada umumnya. Lantas bagaimana bisa dilakukan oleh seorang nabi ?! Orang-orang Yahudi banyak dusta terhadap Allah dan para rasul-Nya. 

Pertanyaan; kenapa Allah berfirman, " Dan Dawud menduga bahia Kami mengujinya, maka dia memohon ampunan kepada Rabbnya lalu menyungkur sujud dan bertobat.” ( Shad : 24-25 ). Apa salah Dawud ? 

Jawaban, Allah menuturkan seperti itu karena Dawud melakukan sejumlah kesalahan, di antaranya; 

  • Mengurung diri di tempat peribadatan dan tidak memberi waktu untuk memutuskan perkara orang, padahal Allah telah mengangkatnya sebagai seorang khalifah untuk memutuskan perkara di antara sesama manusia, namun ia lebih mengutamakan ibadah sesaat dari pada memutuskan perkara sesama manusia. 
  • Mengunci pintu rumah hingga memaksa orang-orang yang bersengketa harus memanjat dinding rumah, bisa saja mereka jatuh dan berakibat fatal. 
  • Dawud langsung memenangkan perkara pada salah satu pihak, " Sungguh, dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ( ditambahkan ) kepada kambingnya.” ( Shâd : 24 ). Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara hanya berdasarkan penjelasan salah satu pihak saja tanpa mendengarkan penjelasan pihak lain. Akhirnya Dawud sadar bahwa ia sedang diuji Allah melalui kejadian ini. Ia pun memohon ampun kepada Allah, kemudian tersungkur sujud dan bertobat. 
Atsar dari Bani Israil terkait masalah ini sangat jelas kedustaannya, karena bertentangan  dengan sifat ma'shum para Nabi. 

Intisari kedua; "Jika kau tidak malu, silahkan berbuat semaumu," kata-kata ini diriwayatkan dari umat-umat sebelumnya, karena kata-kata ini menuntun menuju akhlak yang baik. 

Ketiga; pujian atas sifat malu, baik menurut kemungkinan makna yang pertama ataupun yang kedua, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Nabi bersabda, " Malu adalah bagian dari iman.” Malu ada dua; Pertama, malu terkait hak Allah. Kedua; malu terkait hak sesama manusia. 

Malu terhadap sesama manusia adalah dengan menahan diri untuk melakukan hal-hal yang berseberangan dengan harga diri dan akhlak. 

Contoh, seseorang berada di barisan depan dalam majlis ilmu dengan menjulurkan kedua kaki. Ini namanya tidak punya malu karena menyalahi etika. Lain soal ketika tengah duduk bersama teman-teman, tidak masalah jika saat itu menjulurkan kedua kaki, karena tidak menyalahi etika. Namun ada baiknya agar meminta izin dulu dengan mengatakan, "Apa teman-teman tidak keberatan kalau aku membujurkan kaki ?" 

Dilihat dari sisi malu yang bersifat pembawaan, sebagian orang ada yang dikaruniai sifat malu. la terlihat pemalu sejak kecil, hanya berbicara seperlunya saja, dan hanya melakukan tindakan-tindakan seperlunya saja, karena memang sifat dasarnya pemalu. Dan juga sifat malu yang didapatkan melalui latihan dan usaha, maksudnya seseorang yang pada mulanya bukan pemalu, sering mengobral lisan, dan biasa melakukan apa saja, namun melatih diri untuk memiliki sifat malu hingga akhimya menjadi pemalu dan baik. 

Di antara kedua jenis ini, malu yang bersifat pembawaan lebih baik. Perlu diketahui, malu adalah akhlak terpuji, kecuali jika menahan diri untuk melakukan kewajiban, atau melakukan hal-hal yang diharamkan. 

Ketika seseorang menahan diri untuk melakukan kewajiban dengan dalih malu, ini malu yang tercela, seperti menahan diri untuk mengingkari kemungkaran dengan alasan malu. Ingkarilah kemungkaran dan jangan pedulikan apapun. Hanya saja jika memang hal tersebut wajib, harus disesuaikan dengan skala prioritas serta syarat-syaratnya. 

Rasa malu yang terpuji adalah rasa malu dapat membuat terhindar dari perbuatan salah dan juga rasa malu yang tidak membuat orang meninggalkan kewajiban dalam hidupnya.

Keempat; Kehilangan rasa malu, akan membuat seseorang biasanya berbuat semaunya tanpa perduli halal atau haram. Ketika seseorang melakukan perbuatan memalukan, orang orang akan membicarakannya dan menyatakan, " Si fulan tidak punya rasa malu, berbuat ini dan itu." 

Kelima; intisari hadits lain sesuai makna kedua, hal-hal yang tidak memalukan boleh dilakukan, karena nabi a bersabda, " jika kau tidak malu. silahkan berbuat semaumu. 

KANDUNGAN HADITS

  • Iman kepada Allah ta’ala harus mendahului ketaatan. 
  • Amal saleh dapat menjaga keimanan. 
  • Iman dan amal saleh keduanya harus dilaksanakan.
  • Istiqomah merupakan derajat yang tinggi. 
  • Keteguhan shahabat Nabi dalam menjaga agamanya dan merawat keimanannya. 
  • Pentingnya istiqomah dalam keimanan dan ikhlas menyembah  kepada Allah semata hingga mati dalam keadaan husnul khatimah.

FIKIH HADITS 
  1. Jika seseorang itu sudah tidak punya rasa malu, maka janganlah engkau menunggu kebaikan darinya. 
  2. Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan belaka. 
  3. Rasa malu merupakan pangkal akhlak yang mulia.