Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits Tentang Kencing Dan Cara Membersihkannya

Hadits Kencing Dan Cara Membersihkannya
Rasul menjelaskan tentang KENCING MANUSIA DAN MEMBERSIHKANNYA berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas ra berkata:

 مر النبي ﷺ بقبرين فقال: إنهما ليعذبان ومايعدبان في كبير اما احدهما فكان لابستتر من البول وأما الاخرفكان يمشى بالنميمة 

"Pada suatu hari Rasulullah melalui dua buah kubur. Rasul menerangkan: “Kedua isi kubur itu disiksa, tetapi bukan karena mengerjakan perbuatan ( dosa ) yang besar. Yang seorang disiksa karena tidak membersihkan kencing dan yang se orang lagi disiksa karena memfitnah.” ( HR. Al-Jama'ah; Al-Muntaga 1: 25 ) 

Baca juga:

Hadits di atas menunjukkan kepada najisnya kencing manusia dan mewajibkan kita menjauhkan diri daripadanya, yakni dengan membersihkan diri dan menyatakan, bahwa membasuh kencing itu, bukan pebuatan yang boleh di mudah-mudahkan. Tidak membasuhnya, adalah suatu pekerjaan yang meng akibatkan menderita azab yang pedih. 

Isi kubur yang ada dalam hadits tersebut tidak diterangkan namanya. Disembunyikan, untuk menutupi keaiban. Para ahli ijtihad telah berijma menetapkan, bahwa kencing manusia najis. 

Tentang hal kencing binatang.

Jumhur ulama menyamakan kencing binatang yang tidak dimakan daging nya, dengan jalan meng-giyas-kan kepada kencing unta, sebagaimana yang sudah diterangkan. Abu Hanifah menyebutkan bahwa semua jenis kencing itu adalah najis, hanya saja yang sebagiannya lebih berat dari yang lain.

Kencing binatang yang dimakan dagingnya, seperti kambing tidak menajiskan kain dan tidak disuruh mengulangi shalat yang dikerjakan dengan kain yang terkena kencing binatang yang dimakan itu, terkecuali kalau kencing itu banyak. Kalau banyak, dihukumkan najis dan disuruh mengulangi shalat yang dikerjakan dengan kain yang terkena kencing itu.” 

Abu Yusuf menyebutkan bahwa kencing manusia atau kencing binatang yang tidak dimakan dagingnya maka tidak dianjurkan untuk  mengulang shalat dengan menggunakan kain yang terkena kencing tersebut. Dan tidak dinajiskan kain itu, kecuali jika yang kena kencing itu lebih dari sebesar dirham.” 

Malik mengatakan: “Kencing binatang yang tidak dimakan dagingnya, najis ; kencing binatang yang bisa dimakan dagingnya, tidak; terkecuali kalau binatang itu, makan najis. 

Dawud mengatakan: “Segala macam kencing, selain dari kencing manusia, suci.” Asy-Syafi'y dan Jabir ibn Zaid mengatakan: “Segala macam kencing, najis.” Al-Hasan mengatakan: “Segala macam kencing, dibasuh.” 

Kami kemukakan pendapat-pendapat ini sekali lagi dengan cara yang lebih jelas agar dapat dipahamkan soal ini, dan dapat dipilih mana yang terkuat me nurut pandangan ilmu dan akal. Dasar ulama yang menghukum suci bagi segala kencing binatang yang bisa dimakan, ialah hadits yang menerangkan bahwa orang Ukal dibiarkan minum kencing unta dengan tidak disuruh membasuh mulutnya. Sudah kami terangkan bahwa sebagian ahli tahqiq ( peneliti hukum ) berpendapat, bahwa kebolehan kita minum kencing unta itu hanyalah untuk obat. 

Ibnu Hazm, telah mengupas soal ini dalam Al-Muhalla dengan panjang lebar. Kesimpulannya, segala rupa kencing, najis dan haram, dibolehkan kita me minumnya apabila untuk obat saja. Ulama yang menetapkan segala kencing selain dari kencing manusia, suci, berpegang kepada asal hukum yaitu: segala yang tidak ada keterangan yang pasti dari syara' tentang kenajisannya adalah suci.

Kesimpulan pentahqiqan kami sebagai berikut: segala sesuatu yang tegas dinajiskan oleh syara', maka sesuatu itu hukumnya najis. Yang tidak ditegaskan oleh syara' berkenaan kenajisannya. Maka menajiskannya dilakukan dengan penetapan ilmu. Dan jangan kita menetapkannya dengan penetapan syara'. Dan jangan pula kita pandang suatu ibadah. 

Mereka yang tidak memandang najis segala kencing itu, selain dari kencing manusia, tentu tidak mau membiarkan badannya, kainnya dan tempatnya dikotori oleh macam-macam kencing. 

Cuma mereka tidak dapat menajiskannya dengan berdasarkan syara', lantaran menyan darkan sesuatu hukum kepada syara' atau menetapkan sesuatu hukum atas nama agama, memerlukan keterangan agama sendiri.


Referensi Berdasarkan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiegy bab Hukum-hukum Najasah dan Cara-cara Membersihkannya Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum