Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits Tentang Hukum Berbicara Dalam Shalat

Hadits Tentang Hukum Berbicara Dalam Shalat

Rasulullah menjelaskan tentang Hukum Berbicara Dalam Shalat sebagaimana hadits dari Abdullah ibn Mas'ud ra berkata:

  كنا نسلم على النبي وهو في الصلاة فيرد علينا, فلما رجعنا من عند النجاشي سلّمنا عليه فلم يرد علينا. وقال: إن في الصلاة شغلا   

"Kami memberi salam kepada Nabi saw., saat beliau bershalat, dan beliau menjawab salam kami Tatkala kami kembali dari An Najjasy kami pun memberi salam kepadanya. Beliau tidak menjawab lagi salam kami dan Nabi saw. berkata: Sesungguhnya ada urusan yang besar di dalam shalat." ( Al Bukhary 21: 2; Muslim 5: 7, Al Lulu-u wal Marjan 1: 118 ). 

Juga berdasarkan hadits dari Zaid ibn Arqam ra. berkata:

 كنا نتكلم في الصلاة ، يكلم أحدنا أخاه في حاجته ، حتى نزلت هذه الآية-حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا له قانتين ، فأمرنا بالسكوت. 

"Kami berbicara di dalam shalat. Salah seorang di antara kami berbicara dengan saudaranya mengenai sesuatu urusan, hingga turunlah ayat ini hafizhu 'alash shalawati wash shalatil wastha wa qumu lillahi qanitina=peliharalah baik-baik segala shalat dan shalat yang paling baik dan berdirilah kamu untuk Allah seraya kamu menaati-Nya, maka kami pun diperintahkan berdiam diri di dalam shalat ( Al Bukhary 65: 43, Muslim 5: 4; Al Lalu-u wal Marjan 1: 119 ),

Juga berdasarkan hadits dari Jabir ibn Abdullah ra. berkata:

 بعثني رسول اللہ ﷺ وحاجة له ، فانطلقت, ثم رجعت وقد قضيتها ، فأتيت النبی ﷺ فسلمت عليه ، فلم يرد لبي ما الله أعلم به ، فقلت في نفسي لعل رسول لي فوقع في قلبي مااللہ أعلم به, فقلت في نفسي لعلى رسول الله ﷺ وجد علي أني أبطأت عليه ، ثم سلمت عليه فلم يرد علي  ، فوقع في قلبي أشد من المرة الأولى , ثم سلمت فرد علي, وقال: « إنّما منعنى أن أرد عليك أني كنت أصلي ، وكان على راحلته متوجها إلى غير القبلة 

"Untuk suatu keperluan aku diutus Rasulullah saw., aku pun berangkat. Kemudian kembali sesudah menyelesaikan urusan itu. Aku datang kepada Nabi dan memberi salam kepadanya. Salamku tidak dijawab. Maka timbullah dalam jiwaku apa yang Allah lebih mengetahuinya. Karena itu aku pun mengatakan kepada diriku, boleh jadi Rasulullah marah kepadaku, lantaran aku terlambat kembali. Sesudah itu aku memberi salam lagi, salamku itu tidak pula dijawab. Maka timbullah dalam jiwaku perasaan yang lebih keras daripada yang pertama. Kemudian aku memberi salam lagi kepadanya. Dan salamku itu dijawab serta berkatalah Nabi : Aku dihalangi menjawab salammu karena aku sedang bershalat. Dan Nabi ketika itu duduk di atas kendaraannya menghadap ke arah yang bukan kiblat." ( Al Bukhary 21: 15; Muslim 5: 7; Al Lulu-u wal Marjan 1: 119 ). 

Ibnu Mas'ud menerangkan, bahwa para sahabat pada mula-mulanya memberi salam kepada Nabi yang sedang bershalat, Nabi menjawab salam mereka. 

Menurut riwayat Abu Wail, bahwa Nabi pernah menyuruh para sahabat menyelesaikan sesuatu keperluan dalam keadaan Nabi shalat. Ibnu Mas'ud menerangkan, bahwa setelah beliau kembali dari Habsyah ke Mekkah dalam hijrah yang pertama atau ke Madinah dalam hijrah yang kedua, pada ketika itu Nabi tengah bersiap-siap untuk pergi ke Badar. Pará sahabat yang kembali dari Habsyah, memberikan salam kepada Nabi di saat sedang bershalat. Maka Nabi tidak menjawab lagi salam itu. 

Menurut riwayat Ibnu Abi Syaibah bahwasanya Nabi menjawab salam Ibnu Mas'ud dalam kisah ini, dengan isyarat Sesudah selesai dari shalat Nabi menandaskan kepada Ibnu Mas'ud, bahwa di dalam shalat ada urusan yang besar yang menghendaki kekhusyukan, lantaran shalat merupakan munajat kepada Allah. Di dalamnya dibacakan Al Qur-an, dzikir dan doa..

Zaid ibn Arqam menerangkan, bahwa pada mula-mulanya para sahabat saling berbicara satu sama lain dalam shalat. Demikianlah mereka perbuat sehingga Allah menurunkan ayat hafizhu' alash shalawati wash shalatil wastha wa qumu hilahi gamitin Setelah ayat itu diturunkan barulah para sahabat diperintahkan menghentikan apa yang sudah mereka biasakan, yaitu berbicara satu sama lain di dalam shalat. Inilah yang dimaksudkan dengan perkataan "maka kami diperintahkan untuk berdiam diri." Diperintahkan untuk berdiam diri dari semua ucapan biasa.

Nabi menyuruh Jabir ibn Abdullah pergi untuk menyelesaikan sesuatu kepentingan dalam peperangan Bani Mushtaliq. Setelah selesai melaksanakan tugasnya, Jabir kembali dan memberikan salam kepada Nabi, namun Nabi tidak menjawabnya. 

Saat itu Nabi sedang shalat sunnat di atas kendaraannya dengan tidak menghadap ke arah kiblat An Nawawy berkata: "Makna perkataan inna fish shalatı laxyughlan sesungguhnya ada urusan yang besar dalam shalat, ialah bersikap khusyuk dan memahami segala apa yang dibaca. Karena itu, tidaklah seyogianya menjawab salam." 

Dalam riwayat Abu Wail ada tambahan lafal, yaitu:

 إن الله يحدث من أمره مايشاء وإن الله قد أحدث أن لا تكلموا في الصلاة 

"Sesungguhnya Allah mengadakan apa yang dikehendaki dari perintah-perintah Nya dan sesungguhnya Allah telah mengadakan perintah, yaitu janganlah kamu berbicara di dalam shalat." 

Dalam riwayat Kultsum Al Khuza-y terdapat tambahan:

 إلا بذكر الله وماينبغى لكم فقوموا لله قانتين ، فأمرنا بالسكوت 

"Melainkan dengan menyebut Allah dan yang seyogianya bagi kamu. Karena itu, bendirilah untuk Allah dalam keadaan menaati-Nya. Maka kami pun diperintahkan berdiam diri." 

Al Hafizh Ibnu Hajar berpendapat bahwa menurut zhahir hadits para sahabat bukan berbicara sesukanya di dalam shalat, hanya menjawab salam dan yang sepertinya saja Menurut zhahir hadits pula, nasakh bahwa bolch berbicara dalam shalat dilakukan dengan ayat ini. 

Kalau demikian, nasakh ini terjadi di Madinah, karena ayat itu adalah salah satu dan ayat-ayat Madaniyali dengan sepakat segala ulama Hal ini menimbulkan kemusykilan dalam kita menanggapi pendapat Ibnu Mas'ud yang menerangkan bahwa kisah ini terjadi tatkala dia kembali dari Najasyi ke Mekkah. Sebagian umat Islam berhijrah ke Habasyah. Kemudian sampai berita kepada mereka bahwa kaum musyrikin telah memeluk Islam. Karena itu mereka pun kembali ke Mekkah. Mereka mendapati keadaan yang sungguh berbeda dengan berita yang sampai kepada mereka. Gangguan makin bertambah. Karena itu mereka pergi lagi ke Habasyah. Para muslimin yang berhijrah kali ini cukup banyak Ibou Mas'ud turut pula berhijrah. 

Para ulama berselisihan paham tentang maksud perkataan falamma raja na maka tatkala kami kembali, apakah kembali yang pertama, ataukah kembali yang kedua.

Al Qadhi Iyadh, Abu Thayyib dan sebagian ulama condong kepada kembali yang pertama Mereka berkata: "Mengharamkan berbicara dalam shalat terjadi di Mekkah." Mereka mengatakan, bahwa hadits Zaid ini tidak sampai kepada mereka sebelum kembali yang kedua. Mereka juga menyebutkan bahwa tidak ada halangan hukum nasakh lebih dahulu datang, kemudian barulah Allah menurunkan ayat yang berkenaan dengan hal tersebut."

Segolongan ulama yang lain menguatkan hadits Zaid atas hadits Ibnu Mas'ud ini. Mereka berkata: "Yang lebih kuat, ialah hadits Ibnu Mas'ud. karena beliau meriwayatkan lafal Nabi saw. sedang Zaid ibn Arqam, tidak pa A bu di Segolongan ulama berkata: " Yang dimaksud Ibnu Mas'ud adalah. kembalinya yang kedua dan telah ada riwayat yang menerangkan, bahwasanya Ibnu Mas'ud sampai ke Madinah saat Nabi lagi bersiap-siap untuk pergi ke Badar Di dalam sirah Ibnu Ishak diterangkan, bahwasanya para muslimin yang ada di Habasyah tatkala mendapat berita bahwa Nabi saw. telah berhijrah ke Madinah, 33 orang kembali ke Mekkah. Dua orang meninggal di Mekkah, 7 orang dimasukkan oleh kaum Quraisy ke dalam penjara, 24 orang menuju ke Madinah dapat turut serta dalam peperangan Badar. Menurut riwayat ini, Ibnu Mas'ud, adalah salah seorang dari yang 24 orang itu. Maka nyatalah, bahwa pertemuannya dengan Nabi, adalah di Madinah Hadits Zaid ibn Arqam memberi pengertian, bahwa dimaksudkan dengan qunut dalam ayat ini, ialah berdiam diri. Muslim menambahkan dalam riwayatnya. sesudah perkataan fa umirna bis sukuri- maka kami diperintahkan berdiam diri, perkataan wa nuhina anil kalam dan kami dilarang berbicara Tambahan kalimat ini memberi pengertian, bahwa 

إن الامر بالشيئ ليس نهيا عن ضده 

"Sesungguhnya memerintahkan suatu perbuatan, tidak berarti melarang lawan dari perbuatan itu."

Ibnu Daqiqil Id menyebutkan bahwa Lafal ini merupakan bagian dari lafal yang dipergunakan untuk dalil nasakh. 

Perkataan ini tidak serupa dengan perkataan perawi inni mansukh, karena mungkin perawi itu mengatakan demikian dari hasil ijtihadnya. Perkataan wa muhina anil kalami dan kami ditegah berbicara, adalah bahwa segala yang dinamai pembicaraan, dilarang kita ucapkan, atas dasar mengaitkan lafal atas umumnya. Tetapi mungkin juga "al" pada kalimat "al kalam", menjelaskan bahwa perkataan terlarang itu hanyalah menerangkan sesuatu keperluan kepada teman yang berada di samping kita di dalam shalat." 

Para ulama telah berijma' bahwa berbicara di dalam shalat oleh yang mengerti haramnya, dengan sengaja, bukan pula untuk kemaslahatan shalat, bukan untuk melepaskan seseorang muslim dari bahaya, membatalkan shalat. Para ulama berselisihan paham tentang orang lupa dan orang yang tidak mengetahui hukum. Maka ucapan yang sedikit dari mereka, menurut jumhur, tidak membatalkan shalat. Golongan Hanafiyah membatalkannya. 

Dan mereka berselisih paham pula dalam beberapa perkara lagi. Di antaranya, terlanjur berbicara dengan tidak sengaja, atau dengan sengaja untuk memperbaiki shalat lantaran imam lupa mengerjakan sesuatu, atau untuk melepaskan seseorang muslim dari bahaya, seperti mengingatkan orang buta yang hampir tercebur ke dalam sumur, atau mengingatkan imam yang lupa bacaan, atau membacakan tasbih terhadap orang yang berlalu di hadapan orang yang sedang shalat, atau menjawab salam, atau menyahut panggilan ibu bapak, atau dipaksa berbicara, atau untuk bertaqarrub kepada Allah swt. Dengan sesuatu qurkah, seperti mengatakan: "Saya memerdekakan budakku karena Allah." Dalam hal-hal yang tersebut ini terjadi perselisihan di antara ulama. 

Ibnul Munayyir menjelaskan bahwa perbedaan antara perbuatan sedikit dengan sengaja yang tidak membatalkan shalat dengan berbicara sedikit, ialah perbuatan itu lazim ada dalam shalat untuk kemaslahatan shalat dan tidak sering terjadi dalam shalat.

Atha', Asy Sya'by dan Malik memakruhkan kita memberi salam kepada orang yang sedang shalat. Di dalam Al Mudawwanah, Malik tidak memakruhkannya. Demikian pula pendapat Ahmad dan jumhur. Orang yang sedang bershalat, menurut jumhur, menjawab salam sesudah selesai dan shalat atau dengan isyarat.

Diterangkan oleh An Nawawy, bahwa hadits ini menyukai kita men jawab salam dalam shalat dengan isyarat. Demikianlah pendapat Asy Syafi'y dan kebanyakan ulama. 

Al Qadhi Iyadh berkata: "Segolongan ulama mengatakan bahwa salam itu dalam shalat dijawab dengan lafal tersendiri." Di antara yang berpendapat demikian, ialah Abu Hurairah, Jabir, Al Hasan, Said ibn Musayyab, Qatadah dan Ishak.

Segolongan ulama berkata: "Salam dalam shalat dijawab dengan hati Atha ', An Nakha-y dan Ats Tsaury menghendaki supaya salam itu dijawab sesudah salam shalat. Abu Hanifah tidak membolehkan kita menjawab salam, baik dengan isyarat, ataupun dengan lafal." 

Umar Ibnu Abdul Aziz dan Malik berkata: "Salam yang diberikan orang kepada kita yang sedang bershalat, dijawab dengan isyarat, tidak dengan lafal Tentang kita memberikan salam kepada orang yang sedang bershalat, menurut mazhab Asy Syafi'y, tidak dibenarkan. Kalau dilakukan juga, tidak berhak menerima jawaban. Mengenai ucapan untuk kemaslahatan shalat dibolehkan oleh Al Auza-y." 

Kesimpulan 

Hadits pertama, menyatakan bahwa kita tidak boleh menjawab salam dalam shalat karena seluruh perhatian kita pusatkan kepada shalat. 

Hadits kedua, menyatakan bahwa boleh berbicara satu sama lain dalam shalat, telah dimansukhkan oleh ayat. 

Hadits ketiga, menyatakan bahwa memberi salam kepada orang yang sedang shalat adalah perbuatan makruh, karena membimbangkan orang yang sedang bershalat.

Dalam Buku Mutiara Hadits Jilid Yang ke-3 Bab Hukum Berbicara di Dalam Shalat Tulisan Hasbi Ash-Shiddieqy