Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cara Membersihkan Jilatan Anjing

Cara Membersihkan Jilatan Anjing
Abu Hurairah ra berkata:

 قال النبي ﷺ: طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسلة سبع مرات أولاهن بالتراب 

Rasulullah saw bersabda: “Cara kamu menyucikan bejana yang dijilati anjing, ialah dengan membasuhnya tujuh kali, yang pertama dari yang tujuh itu, dengan tanah." 

( HR. Al-Bukhary dan Muslim; Bulughul Maram; 4 ) 22 ) 

Baca juga:

Abdullah ibn Mughaffal berkata tentang hadits dari Rasulullah bahwasanya Rasulullah bersabda:

إِذْ وَلَغَ فِيهِ اَلْكَلْبُ قي الإناء فغْسِلَهُ سَبْعَا وعفروه الثامنة بِالتُّرَابِ   

 “Apabila anjing menjilat bejana salah seorang kamu, hendaklah ia membasuhnya tujuh kali, dan gosokkan pada kali yang kedelapan dengan tanah." ( HR. Muslim dan Abu Dawud; Umdatul Ahkam 1:26 ) 

Hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Bukhary, Muslim dan ulama-ulama hadits yang lain. Namun Al-Bukhary tidak menyebutkan perkataan "yang pertama dari tujuh itu dengan tanah." 

Hadits di atas diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud dan lain-lain, selain dari Al-Bukhary dan At-Turmudzy, menyatakan bahwa kita wajib membasuh bejana yang dijilati anjing, sebanyak bilangan yang diterangkan itu, menurut cara yang sudah dijelaskan, dan menegaskan kenajisan moncong anjing. Dan menyatakan, wajib memakai tanah dalam salah satu pencucian. 

Asbabul wurud-nya sebagai berikut, Abdullah ibn Mughaffal menerangkan, bahwa Rasul memerintahkan supaya semua anjing dibunuh. Berapa lama kemudian, sesudah pembunuhan anjing dilakukan, Nabi berkata lagi: “Mengapa anjing terus-menerus dibunuh ?" Setelah peristiwa itu Nabi membolehkan para Shahabat memelihara anjing khusus untuk berburu. Nabi juga membolehkan memelihara anjing gembala dan anjing penjaga tanaman. Kemudian Rasulullah bersabda: “Apabila anjing menjilat bejana dari kalian, maka basuhlah sebanyak tujuh kali. Pada kali kedelapan gosoklah dengan tanah." 

Menurut keterangan yang diperoleh, tanah itu dipakai pada kali yang per tama. Ada juga yang menyatakan bahwa basuhan itu tujuh atau delapan kali. 

Semua ahli fiqh menajiskan mulut anjing. Adapun ulama yang memandang bahwa perintah membasuh jilatan anjing tujuh kali itu, suatu perintah yang tidak dapat dipahamkan maknanya. Dia bukan diperintahkan karena mulut anjing itu najis. Mereka juga menetapkan wajib membasuh bejana yang dijilati anjing. Akan tetapi mereka berselisih tentang membasuh 7 ( tujuh ) kali dan tentang memakai tanah di salah satu proses pencucian. 

Ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa membasuh tujuh kali itu bukanlah kewajiban. Hanya sunnat saja hukumnya. Demikian juga memakai tanah satu kali. " Malik mengatakan: “Membasuh 7 kali itu wajib; tetapi tidak harus memakai tanah di salah satu pencucian. " Asy-Syafi'y mengatakan: “Membasuh 7 kali itu wajib dan wajib memakai tanah di salah satu kali pencucian." 

Al-Hasan Al-Bisri dan Ahmad mengatakan: “Wajib membasuh jilatan anjing delapan kali dan wajib memakai tanah di salah satu pencucian."

Dalam madzhab Asy-Syafi'y ada pendapat bahwa tanah itu, boleh diganti dengan sabun dan sebagainya. ( Di sini mereka memperhatikan ' illat memakai tanah, yaitu supaya lebih membersihkan kuman-kuman yang terdapat pada moncong anjing ).

Dalam ilmu kedokteran dijelaskan bahwa pada air liur anjing ada penyakit. Juga penyakit yang terdapat pada moncong anjing. Penyakit itu tidak dapat dibasmi oleh selain tanah.

Maka memakai tanah ini adalah untuk membasmi bahaya kuman-kuman di mulut anjing, Karena itu, jika terdapat benda cair yang dapat menghilangkan bahaya kuman dari moncong anjing itu, tentulah kita boleh memakainya. 

Para dokter telah menerangkan hikmah membasuh jilatan anjing sekian kali banyaknya adalah sebab perintah membasuh jilatan anjing, ditekankan ialah karena dalam perut besar anjing ada terdapat cacing tambang yang sangat kecil, ( kuman kuman penyakit anjing gila ), panjangnya 4 mm. 

Apabila anjing membersihkan badannya dengan lidahnya, seperti biasa dilakukan anjing, berlumurlah lidahnya dengan cacing-cacing itu. Maka ketika ada anjing menjilat air pada bejana, maka cacing-cacing itu akan melengket pada bejana. juga telur-telur atau kuman-kuman yang ada pada bekas jilatan tersebut. 

Kalau air itu diminum oleh manusia, masuklah ke dalam perutnya kuman-kuman dan telur-telur itu dan ber kembangbiak dalam perut manusia, lalu merusakkan dinding pencernaan dan masuklah ke dalam saluran darah yang menyebabkan timbul penyakit otak, jantung dan paru-paru. 

Karena sukar sekali membedakan antara anjing yang berpenyakit dengan yang tidak, syara' dalam memelihara umat dari serangan penyakit anjing itu, me merintahkan supaya kita membasuh bejana, yang dijilati dengan sekian kali. Inilah bukti kearifan syara'. 

Ditinjau dari sudut ini, sebaiknya kita menjauhkan diri dari memegang tubuh anjing, walaupun kita tidak menajiskannya, lantaran tidak ada keterangan syara ' yang tegas dalam hal ini.

Tentang badan anjing 

Sebagian ulama mengatakan: “Jika air liur anjing najis, tentulah moncongnya najis juga. Kalau moncongnya najis, tentu seluruh tubuhnya najis. " Ikrimah dan Malik mengatakan: “Anjing itu suci, selain dari air liumnya saja. " Pendapat ini merupakan fatwa dari Az-Zuhry. Pandangan ini juga dikuatkan oleh Imam Abu Dawud. 

Tentang hal meng-qiyas-kan babi dengan anjing 

An-Nawawy mengatakan: “Mazhab Maliki memandang, bahwa binatang babi itu suci, selama masih hidup.

Sebenarnya tidak ada keterangan secara tegas menjelaskan najisnya babi. Menurut dalil ( pendapat yang kuat ) ialah: cukup membasuh air kencing babi ( jilatannya yang dipandang najis ), dengan sekali saja, tidak usah pula memakai tanah. 

Kebanyakan ulama yang memandang babi najis, basuhannya ( pem bersihan ) nya dicukupkan dengan sekali saja. Inilah pendapat yang terpilih karena menurut asal hukum, bahwa sesuatu baru wajib hingga ada perintah syara'.

Muhammad Rasyid Ridha menjelaskan bahwa pandangan Jumhur ulama salaf dan kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa segala binatang hidup itu adalah suci badannya. Segala anggota tubuhnya tidak boleh di-qiyas-kan kepada anjing, dan tidak boleh pula di-qiyas-kan babi kepada anjing, Inilah madzhab yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan An-Nawawy." 

Setelah paham-paham ini ditinjau dan diteliti, maka nyatalah bahwa yang kuat sekali ialah paham Ahmad berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: 

  1. Ibnu Mandah menfatwakan bahwa tambahan bilangan basuh yang terdapat dalam hadits Abdullah ibn Mughaffal ( hadits kedua ), itu telah disepakati semua ulama hadits. Ulama Hadits mengatakan tentang ke-shahih-annya. Karena itu tidak dapat ulama-ulama Syafi'iyah meninggalkan tambahan itu dengan alasan bahwa Asy-Syafi'y belum mengetahui ke-shahih-annya. Apa yang belum diketahui Asy-Syafi'y telah diketahui orang lain." 
  2. Ibnu Hajar Al-Ashqalany mengatakan: “Apabila kita mengambil hadits Abdullah ibn Mughaffal dengan sendirinya terambil hadits yang lain ( hadits 1 ) dan yang semakna. Tetapi jika kita ambil hadits yang lain saja, tinggallah hadits ini. Menurut ilmu hadits, tiap tambahan yang diriwayat kan oleh orang kepercayaan, harus diterima; tidak boleh ditinggalkan." 
  3. Pendapat Malik, yakni kita tidak memerlukan memakai tanah, tertolak juga. 
Al-Qarafy, seorang alim besar dalam madzhab Maliki mengatakan: “Banyak hadits yang shahih yang mewajibkan kita memakai tanah. Karena itu aku heran melihat orang-orang Malikiyah tidak suka mengamalkannya." 

Tegasnya, madzhab Hanafi yang tidak mewajibkan tujuh kali bilangan basuh, tertolak oleh hadits ini. Mazhab Syafi'iyah yang mencukupi dengan tujuh kali bilangan basuh, tertolak juga. 

Mazhab dari kalangan ulamaMalikiyahlah yang tidak mewajibkan kita memakai tanah demikian pula. Maka madzhab Ahmadlah yang wajib di pegang; karena sesuai dengan maksud hadits dalam masalah ini. 

Kepada ulama-ulama Syafi'iyah kita ingatkan pesan Asy-Syafi'y yaitu: “Apa bila telah kita peroleh hadits yang shahih, maka itulah madzhabku." 

Kutipan dari Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Koleksi Hadits-hadits Hukum