Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Air Dalam Al-Qur'an Dan As-Sunnah

Hukum Tentang Air Dalam Al-Qur'an Dan As-Sunnah

MANFAAT AIR 

Abu Hurairah berkata: 

قال رسول اللہ ﷺ اللهم طهرني بالثلج والماء والبرد.

Rasulullah saw. bersabda: “Ya Allah, sucikanlah aku dengan salju, embun dan air sejuk / dingin. " ( HR. Muslim ; Shahih Muslim l: 20 ) 

Hadits ini menyatakan bahwa air adalah suci dan mensucikan. Sebagian ulama mengatakan: “Air yang dimaksudkan dalam hadits ini, ialah air muthlaq ( air yang masih dalam bentuk aslinya )." 

Sebagian ahli tahqiq mengatakan: “Yang dimaksud dengan air di sini, ialah air muthlaq dan air muqayyad ( air yang terikat dengan sesuatu dan disandarkan kepada suatu nama yang lain. Nama tersebut melekat karena ditinjau berdasarkan dari nama tempat atau wadah. Sebagai contoh dalam masalah ini adalah seperti: air mawar, air kelapa, air buah-buahan atau sari buah )." 

Disandarkan kepada sesuatu, hanyalah untuk membedakannya saja, sama juga dengan menyandarkan " air " kepada: sungai, sumur, laut dan sebagainya. Menyandarkan air kepada sesuatu, tidaklah menghilangkan zat atau kekuatannya, yakni tetap mensucikan. 

Mereka sependapat menetapkan, bahwa air banyak, yang tidak berubah karena jatuh najis ke dalamnya, tetap boleh kita pergunakan untuk bersuci. Demikian pula air yang berubah karena ada belerang atau pohon-pohon kayu, tumbuh tumbuhan, kiambang ( sejenis tanaman terapung ) dan sebagainya. 

Adapun berhubungan dengan air yang berasal dari tanah bergaram, maka perubahan bau dan warnanya, tidak menghilangkan kesuciannya. Air tersebut juga tidak menghilangkan kekuatannya dalam hal kesucian airnya dan air tersebut tetap mensucikan yang lainnya. 

Ibnu Qudamah mengatakan: “Benda-benda yang cair, misalnya kuah, susu dan sebagainya, kecuali air nabidz ( air yang beragi ), tidak dapat mensucikan, karena Allah hanya menetapkan kekuatan mensucikan itu, pada air saja." 

Air mudhaf ( air yang disandarkan kepada sesuatu nama lain ), yang kita tidak boleh bersuci dengannya, ada tiga macam: 

  • Air yang diperas dari benda-benda yang suci, seperti: air mawar, air ceng keh, air akar kayu yang dipotong. 
  • Air yang bercampur dengan benda yang suci dan telah berubah nama nya karena percampuran itu, seperti telah menjadi air kuah, air teh, air kopi dan sebagainya. 
  • Air yang telah dipakai untuk memasak sesuatu, seperti merebus pisang dan sebagainya. 
Jumhur para ulama menjelaskan dan memberikan pandangan dan mereka sepakat menetapkan bahwa kita tidak boleh bersuci dengan air-air tersebut di atas. Hanya saja pandangan Ibnu Abi Laila dan Al-Asham yang berlainan dalam maslah ini. Beliau adalah termasuk orang yang membolehkan bersuci dengan air perasan buah-buahan yang suci tersebut. 

Adapun yang berhubungan dengan air yang bercampur dengan benda suci lainnya yang belum berubah namanya lantaran percampuran itu, maka secara hukumnya diperselisihkan hukumnya oleh para ulama (apakah itu termasuk air yang suci lagi menyucikan atau tidak). 

Malik, Asy-Syafi'y dan Ishaq ibn Rahawaih tidak membolehkan kita bersuci dengan air itu. Abu Hanifah dan Ahmad ( dalam salah satu penjelasannya ), mem bolehkan kita bersuci dengan air itu. 

Air yang disandarkan kepada tempat ( mudhaf ), boleh kita pakai untuk bersuci, seperti air sungai, laut dan sebagainya. Air yang berubah karena benda yang suci, yang tidak dapat dihindarkan dari nya, seperti air kembang, kita dibolehkan bersuci dengannya, walaupun telah ber ubah warnanya, rasanya dan baunya. 

Air yang berubah dengan benda yang sama sifatnya dengan air, tetap suci men sucikan, seperti tanah, maka perubahannya itu, tidaklah menghilangkan kesucian nya dan kekuataannya. 

Demikian juga tetap suci, air yang dicampurkan ke dalamnya seumpama kapur barus, kayu cendana dan sebagainya. Begitu pula halnya yang bercampur dengan minyak. 

Air berubah lantaran telah lama tergenang dan tidak ada sesuatu yang meng ubahnya, tetap suci mensucikan. 

Air yang terjemur matahari, suci mensucikan, kita tidak makruh memakainya, walaupun ulama Syafi'iyah me-makruh-kan. 

Diberitakan oleh An-Nasa'y dan Ibnu Khuzaimah, bahwa Nabi saw. pernah mandi dengan air yang diisi dalam bejana bekas dipakai untuk mengaduk tepung. 

Air yang telah dirubah namanya oleh benda yang suci, tidak lagi mensucikan, hanya suci saja. Karena itu, air ini tidak dapat dipakai untuk bersuci.

Tentang hal air nabidz ( air sari buah yang beragi ), menurut pendapat Al-Auza'y dan Abu Hanifah, boleh kita memakainya. Pendapat ini diterima juga dari Ikrimah seorang tabi'i besar. 

Air yang dimaksudkan oleh hadits ini, hanyalah air yang masih tetap dalam ben tuknya yang asli, yang tidak bercampur dengan sesuatu benda dan belum berubah karena sesuatu benda. 

Para ulama mengatakan air yang bernama air, baik air sungai, air sumur, air hujan dan lainnya, semuanya suci menyucikan, kecuali ada nash yang terang tegas menyatakan ketidak suciannya. Begitu juga segala sesuatu, di hukumn halal dan suci, selagi tidak ada nash dari Kitab atau Sunnah yang menetapkan haram dan najis. 

Jika diperhatikan makna hadits ini, nyatalah bahwa air yang dimaksud adalah segala macam air, termasuk air muqayyad atau air madhaf. Air ini, disamakan dengan air muthlaq, karena mengingat bahwa air tersebut berasal dari air yang diturunkan Allah. 

Adapun air yang bercampur dengan benda benda yang suci yang tidak menghilangkan zatnya dan masih tetap bernama air tetap dalam pengertian hadits di atas. Sebagai contoh misalnya seperti air mawar, air sadapan pohon kayu. Tidak demikian dengan santan yang tidak bisa di sebut lagi sebagai air. 

Tegasnya, kita boleh ber-thaharah dengan air yang diperas dari buah-buahan, air mawar dan air kelapa. Hakikatnya air-air tersebut adalah air yang turun dari langit, diserap bumi. Dan air kelapa merupakan air bumi yang dihisap oleh pohon kelapa, kemudian menjadi air kelapa sesudah melalui beberapa proses. 

Tentang hal air musyammas ( air yang terjemur matahari dalam bejana ) tidak ada hadits walaupun dha'if yang menyatakan kemakruhan kita memakainya. Karena itu kita tidak dapat me-makruh-kan orang memakai air yang terjemur matahari dalam bejana besi, berdasarkan ketetapan syara'. Ringkasnya, air yang dibolehkan untuk berwudhu dan mandi ialah: 

  • Air muthlaq. 
  • Air buah-buahan yang suci, seperti: air kelapa, air jeruk dan lain-lain. 
  • Air yang bercampur dengan benda-benda yang suci dan zat dari air itu tidak berubah. 
Fuqaha ( kata jamak dari ahli fiqh ) telah membahas soal air dengan panjang lebar. Di sini kami terangkan sekedar yang diperoleh dari hadits-hadits saja. Di dalam masalah air ini, kita hanya memperoleh tujuh buah hadits yaitu: 

  • Yang menegaskan, bahwa air laut suci mensucikan. 
  • Yang menegaskan, bahwa air adalah suci mensucikan, tidak dinajis kannya oleh sesuatu. 
  • Ulama yang menerangkan, bahwa air itu tidak menjadi najis, walau ada najis yang jatuh ke dalamnya apabila kadar air sampai dua qulah.
  • Yang menyuruh kita menyiram air di atas tanah bekas dikencing. 
  • Yang menerangkan, bahwa apabila seseorang bangun dari tidur dan hendak mengambil wudhu, maka janganlah langsung ia memasukkan tangannya ke dalam gayung atau bejana tempat air, sebelum mem basuhkannya tiga kali di luar gayung atau bejana.
  • Yang menyuruh kita membasuh bekas jilatan anjing dengan 7 atau 8 kali, sekali dengan tanah yang bercampur air. 
  • Yang melarang kita kencing ke dalam air yang tergenang ( yang tidak mengalir ). 
Itulah tujuh buah hadits yang menjadi pokok ijtihad para mujtahidin dalam urusan air yang banyak menimbulkan berbagai pendapat.

Referensi Berdasarkan Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Karangan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy