Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Obat Penangkal Kegelisahan Jiwa

Obat Penangkal Kegelisahan Jiwa

Kondisi psikis manusia, dalam momen kemanusiaan tertentu, berada dalam bayang-bayang kebimbangan antara titah Tuhan -yang harus dilaksanakan-dan ancaman bencana yang ada di balik titah itu-yang harus diterimanya jika ia tidak melakukan titah Nya. 

Di luar dirinya, sejumlah godaan telah menghadang dan siap menerkam kesadarannya yang tenang terbungkus kebimbangannya. Di sisi lain, berbagai hambatan kosmis yang menghadang dan adanya tekanan problem yang berlapis-lapis, baik problem internal ataupun eksternal, yang memerlukan pemecahan segera secara berurutan, dapat melahirkan kristalisasi kebimbangan yang tidak mustahil berwujud kepanikan. Lebih-lebih jika pemecahannya tak kunjung membuahkan hasil.

Sedangkan, kondisi psikis seseorang yang panik bisa jadi kualitasnya meningkat menjadi amuk batin yang bergemuruh, meledak ledak, serta tidak terkendali. Oleh karena itu, dalam menghadapi titah Tuhan, manusia pasti membutuhkan pertolongan-Nya, dan ketika menghadapi hukuman -- sebagai akibat kelalaiannya menjalankan titah itu-mereka memerlukan kasih sayang-Nya.

Yang pertama, agar ia dapat melaksanakan perintah itu dengan mantap, dan yang kedua agar ia dapat menghadapi hukuman Nya dengan tenang dan penuh kerelaan. Sejatinya, pertolongan Tuhan dan kasih sayang-Nya akan melahirkan ketenteraman dan ketenangan, membentuk kelembutan batin, dan menyebabkan hilangnya kekacauan, kegundahan, kesangsian, dan keresahan, baik dalam menerima titah ataupun dalam menerima hukuman. Doa yang diajarkan Rasulullah saw kepada umatnya yang berbunyi,”Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung pada-Mu dari kesangsian ( kebimbangan ) dan kesedihan”, adalah doa yang sangat relevan dengan situasi kemanusiaan tertentu yang dialami manusia.

Kesadarannya tentang kebaikan pilihan Tuhan terhadap dirinya menyebabkan ia larut dalam penyaksian itu. Ia menjadi seorang anak manusia yang pasrah terhadap segala ketentuan titah-Nya, baik rela ataupun terpaksa ( tidak rela ). Apabila seseorang dalam menerima titah-Nya dengan rela hati, maka ia akan memperoleh kerelaan Tuhannya yang menyebabkan jiwanya tenang dan akan masuk ke dalam kumpulan hamba-Nya. Bersama-sama mereka, ia kemudian masuk ke surga-Nya. Sebaliknya, jika ia tidak rela menerimanya maka ia akan memperoleh amarah dan murka-Nya yang menyebabkan ia terjerumus ke dalam jurang kenestapaan sepanjang hidupnya di dunia dan di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Bayyinah ayat 6-8.


Kelembutan batin yang berenergi sangat dahsyat itu merupakan buah dari interaksi batin seseorang dengan Tuhannya Kelembutan itu akan meningkat sesuai dengan meningkatnya interaksi batin dan akan melemah sejalan dengan melemahnya interaksi spiritualnya dengan nilai nilai suci dari Tuhannya. Ketenteraman dan ketenangan batin adalah bagian dari kondisi psikis yang menjadi dambaan setiap manusia dalam kehidupan individual ataupun dalam kehidupan sosialnya.

Pada faktanya, ketenteraman dan ketenangan perilaku lahiriah seseorang. Hal tersebut merupakan refleksi dari adanya rasa aman dan kepuasan. Rasa aman batin seseorang atau sebuah masyarakat akan terwujud kalau diri dan masyarakat itu merasa terlindungi oleh sesuatu yang mampu melindunginya, sehingga ia terbebas dari rasa takut. Sedangkan, kepuasan batin akan terwujud bila terpenuhi gizinya dengan makanan-makanan ruhani yang bernilai sehingga jiwanya terbebas dari kelaparan ruhani.

Dalam perspektif Al Quran, rasa aman merupakan buah dari ketulusan keimanan seseorang-atau suatu komunitas-kepada Allah swt ( QS. Al An'aam, 6 : 81-82 ); merupakan pancaran dari makna keikhlasan yang bersemayam di dalam hati. Sebab, di balik makna keikhlasan kepada Allah itu terdapat rahasia tauhid yang agung, yang memastikan hati manusia mantap, tenteram, dan tenang Ikhlas yang dimaksud ialah membersihkan amal dari segala bentuk debu duniawi dan dari keinginan-keinginan jiwa yang bersifat sementara.

Selanjutnya, semua perkataan, perbuatan, dan perjuangan hidupnya diorientasikan hanya menghadap ridha-Nya, tanpa memperhatikan keuntungan materi, prestis, pangkat, kedudukan, gelar, kemajuan, atau kemunduran. 

Sesungguhnya, pengaruh kemurnian tauhid yang paling fundamen tal pada kondisi kejiwaan seseorang atau sebuah masyarakat ialah sentralitasnya dalam mengarahkan pencapaian manusia, sehingga motivasi, tujuan, serta orientasi hidupnya hanya ditujukan kepada Tuhan semata. 

Apabila ketauhidan dan keimanan seseorang kepada Allah tulus setulus ulusnya, tanpa cacat syirik sedikit pun, dan hatinya selalu tertambat kepada Nya dan tidak kepada selain-Nya, maka ia akan merasakan dirinya berada dalam perlindungan dari Maha Pelindung. Hal ini berdampak pada perasaan keamanan sejati, kemantapan, ketenteraman, dan ketenangan dalam seluruh hidupnya. Bagaimana tidak ? Semua ketentuan Tuhan adalah cerminan keadilan-Nya kepada hamba-Nya.

Ketika seseorang merasakan bahwa limpahan keadilan Tuhan telah menyelimuti dirinya, maka keamanan akan dengan sendirinya bertahta di dalam hatinya. Seseorang yang dengan tulus hati mengakui kezaliman dirinya dan hanya Allah swt yang dapat melimpahkan keadilan hakiki kepadanya, maka di dalam dirinya akan tumbuh suasana psikis yang penuh harap terhadap pertolongan dan curahan kasih sayang Nya demi meringankan beban dosa kezalimannya. Sebab, ia yakin seyakin-yakinnya hanya dengan limpahan pertolongan, kebaikan, dan kemuliaan-Nya semata ia dapat memperoleh ampunan dari perbuatan zalim yang dilakukannya dan sekaligus menjinakkan amarah batin yang telah meliarkan hati nuraninya.

Dalam curahan ampunan Allah dan dalam pangkuan-Nya semata, hati manusia menjadi tenteram setenteram-tenteramnya. Sebab, ketika ampunan dan perlindungan Allah menyelimuti batin seseorang dan meredam gejolak nafsu angkara, maka ketika itulah ketenangan yang hakiki bertahta dengan kokoh di dalam kalbunya.

Selanjutnya, Rabb, Tuhan alam semesta merupakan wujud kebaikan absolut yang Maha Sempurna; Tuhan Yang Maha Pemurah dan Pemberi Rahmat, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Maka, siapapun yang memperoleh curahan rahmat, kebaikan, dan perlindungan-Nya pasti akan merasakan keamanan yang sejati.

Sebaliknya, diri manusia merupakan wujud serba kejelekan, kehinaan, dan kekurangan yang sangat memerlukan curahan ampunan, perlindungan dan pertolongan-Nya. Oleh karena itu, segala kemudahan yang diperolehnya, semua ketenteraman yang dirasakannya, dan seluruh kebaikan yang dinikmatinya semata-mata akibat keutamaan dan kebaikan Tuhannya, refleksi utuh dari kemahamurahan Allah swt. Sebaliknya, setiap kejelekan yang diterimanya tidak lain bersumber dari perbuatannya, dari dosa-dosanya sendiri. Sebagaimana firman Allah dalam surat Asy-Syuura ayat 48.

Kepuasan batin, selain ditentukan oleh adanya rasa aman, juga dikarenakan terpenuhinya berbagai tuntutan kepuasannya dengan sejumlah makanan ruhani yang bernilai tinggi. Sebab, seperti halnya fisik, keadaan batin seseorang juga akan dilanda kegelisahan terus-menerus kalau tidak diberi makanan ruhani ( spiritualitas ) yang cukup. Dzikir adalah salah satu makanan ruhani yang paling bergizi. Dzikir adalah mengingat Allah swt; merupakan salah satu upaya mendekatkan diri ( tagarrub ) kepada-Nya; dan menyingkirkan keadaan lupa dan lalai kepada Tuhannya dalam setiap situasi kemanusiaannya.

Dengan dzikir, manusia dapat keluar dari suasana lupa dan lalai yang dapat dijadikan syaitan celah untuk mendominasinya ( QS. Az-Zukhruf, 43:36 ), dan selanjutnya masuk ke dalam suasana musyahadah dengan mata hatinya yang tajam dan jernih. Berdzikir secara teratur dapat melembutkan hati. Dengan kelembutan hati, seseorang dapat melihat kebenaran dengan terang-benderang dan bersedia mengikutinya, serta terpelihara dari berbagai godaan yang menggelisahkannya.

Sejatinya, kelembutan hati merupakan energi yang sangat raksasa, yang tersimpan di dalam diri manusia. Dengan kelembutan hati, seseorang mampu menghimpun hati orang lain bersamanya. 

Dimensi dzikir dan wilayah pengamalannya sangat luas, tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu. la merupakan amalan spiritual, yang sejatinya merupakan salah satu refleksi cinta seseorang kepada Tuhannya Berbeda dengan makanan fisik, yaitu benda-benda konkret yang apabila seseorang mengkonsumsinya secara berlebihan justru akan membahayakan fisik itu sendiri, maka mengkonsumsi makanan ruhani justru dianjurkan sebanyak-banyaknya, serta tidak mengenal batas ruang dan waktu. Semakin banyak mengkonsumsi makanan ruhani, maka kondisi psikis seseorang akan semakin tenang dan tenteram.

Oleh karena ini Allah swt memerintahkan kepada manusia agar mau berdzikir sebanyak-banyaknya di waktu siang, malam, pagi ataupun petang, dalam keadaan berdiri, berbaring, ataupun duduk. 

Dzikir atau mengingat Allah yang dimaksud antara lain mengingat nama-nama-Nya yang agung, firman-firman-Nya yang berisi hukum, ketentuan-ketentuan-Nya yang pasti, janji-janji-Nya yang benar, dan nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga banyaknya. Semua jenis dzikir berimplikasi besar kepada kondisi psikis dan perilaku lahiriah seseorang.

Dzikir dapat membentuk situasi kemanusiaan yang teduh dan menghindarkan situasi kemanusiaan yang a rusuh. Ingat kepada nama-nama-Nya yang agung akan membangkitkan keteguhan hati untuk selalu melakukan”takhliyah”dan”tahliyah”, yang menjadikan dirinya selalu berakhlak mulia dan berusaha menghiasi dirinya dengan nama-nama itu. Ingat kepada firman-firman-Nya dapat membangkitkan kejiwaan seseorang untuk tetap konsisten pada nilai nilai llahiyah dalam seluruh pola hidupnya. Ingat kepada ketentuan ketentuan pasti-Nya akan dapat melahirkan ketenangan jiwa dan kepasrahanya kepada Allah swt.


Ingat kepada janji-janji-Nya yang benar akan membangunkan rasa optimisme yang tinggi terhadap masa depan, dan menumbuhkan keteguhan hati dalam”berjalan mendaki”menuju cita-cita hidupnya yang sejati. Ingat akan nikmat-nikmat-Nya yang tak terhingga banyaknya akan dapat membangkitkan kemanusiaannya untuk meningkatkan rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah dianugerahkan kepada dirinya.

Dzikir tilawah adalah dzikir yang paling komprehensif, dalam arti mencakup berbagai dimensinya. Di dalam dzikir tilawah terkandung pengertian membaca, merenungi, mentadabburi, serta menghayati makna-makna firman Allah dalam Kitab Suci-Nya yang berisi berbagai persoalan yang harus selalu diingat, persoalan hukum, akidah, aturan moral, tata-hubungan sesama manusia, sejarah kehidupan manusia, kosmologi, hari akhir, dan lain-lain sebagainya. Dalam tingkat aplikasi, Ibnu Atha membagi dzikir menjadi tiga dzikir jali, dzikir khati, dan dakar haqiqi Mengkonsumsi dzikir untuk kepentingan perkembangan spiritualitas manusia, selain melahirkan ketenangan batin ( hati ) seperti dinyatakan Allah swt ( QS. Al Ahzab, 33:41; QS. Ar-Ra'd, 13:28 ) juga dapat menjaga kestabilan spiritualitasnya.

Selain itu, dzikir juga membentengi diri agar tidak dilanda kebimbangan dan kepanikan diri, serta tidak berhenti dari”jalan mendaki menuju puncak cita-cita dan meraih martabat kemanusiaannya yang tinggi. Dzikir akan membentengi diri agar tidak berperilaku tak pantas ketika mengalami berbagai situasi kemanusiaannya. Dengan dzikir pula, seseorang dimudahkan untuk memohon ampun kepada Allah.

Rasulullah saw bersabda,”Seorang hamba tidak akan ditimpa duka cita dan kesedihan”, lalu beliau melanjutkan,”jika membaca doa”,”Ya Allah ! Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu, dan keturunan umat-Mu Jalankanlah aku dengan tangan-Mu. Semoga Engkau jadikan Al Quran sebagai musim semi dan cahaya bagi hatiku, penghapus kesedihanku, dan penawar duka citaku.”Jika seseorang membaca doa ini, maka Allah akan menghilangkan kesedihan dan duka cita serta menggantinya dengan kegembiraan. Mereka bertanya,”Ya Rasulullah ! Apakah kamu harus mempelajarinya ?”Rasulullah saw menjawab,”Ya, setiap orang yang mendengar doa ini seyogyanya mempelajarinya.”Selanjutnya, batin yang tenteram dan tenang akan merefleksi pada perilaku lahiriah yang tenteram dan tenang pula.

Sebaliknya, kerusuhan dan kegelisahan batin-kondisi psikis yang tidak disukai setiap manusia akan merefleksi pada perilaku lahiriah yang rusuh dan gelisah pula. Ketenteraman dan ketenangan, seperti diungkap Ibnu Qayyim, sangat erat kaitannya dengan sesuatu yang dicintai dan dituju. Jika yang dicintai dan dituju oleh seseorang adalah selain Allah swt, berarti ia menjadikan selain Dia sebagai tujuan akhir. Padahal, tidak ada dzat yang patut dituju dan dicintai kecuali satu, yaitu yang menjadi tujuan akhir segala tujuan ( al muntaha ).

Dia-lah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, dan Dia pula satu-satunya dzat yang dapat memenuhi segala permohonan hamba-Nya. Siapa saja yang memberikan rasa cinta, kasih sayang, kehendak, dan ketaatannya kepada selain Allah swt, maka akan terbentur pada kegelisahan, kesia-siaan, kerugian, dan akhirnya kemusnahan, serta segala yang menjadi kebutuhannya akan semakin menjauh.

Sebaliknya, siapa saja yang memberikan rasa cinta, kasih sayang, rasa takut, dan permohonannya kepada Allah semata, maka ia akan memperoleh ketenteraman, ketenangan, kenikmatan, kemuliaan, dan kebahagiaan yang kekal abadi. 

Di berbagai dimensi kehidupannya terjadi penjungkirbalikan tata-nilai yang telah menjadi keyakinan bersama. Akibatnya, muncul sejumlah perilaku paradoksal yang dalam banyak hal kadang-kadang sangat memuakkan. Berbagai perilaku yang bertentangan dengan tata nilai tersebut dalam dunia y yang sedang dilanda berbagai guncangan dan mengalami kegersangan ruhani serta didominasi oleh pandangan dan gaya hidup materialistis-akan sangat cepat bermain akrobat di pentas kehidupan publik, permainan yang memunculkan berbagai peristiwa yang musykil. Realitas pun tampak sangat kejam. Individu telah kehilangan identitas dirinya, dan untuk sekadar bertahan ia harus menyerahkan berbagai potensi dasarnya kepada para pemilik modal yang dengan uang dan kekuasaannya telah mendungukan individu secara masif.

Tragisnya, perilaku paradoksal, peristiwa peristiwa yang musykil, dan penguasaan individu itu terus berlalu tanpa menggubris segala akibatnya. Sang diri terus diobrak-abrik dengan tanpa ampun oleh kepentingan politik, ekonomi, dan hawa nafsu.

Bahkan, ia dipandang sama dengan benda mati lainnya, sebagai instrumen untuk mencapai kepuasan hidup. Berbagai kegelisahan pun bermunculan dengan tak terkendali dan melahirkan realitas yang pahit.

Anehnya, realitas yang memilukan itu dipandang sebagai keagungan yang terus-menerus dipekikkan melalui corong corong raksasa kebudayaan materialis. Di bagian lain, oleh manusia sendiri, kegelisahan batiniah dibiarkan terus mengamuk tanpa terlihat tanda-tanda upaya peredaan, apalagi penghentiannya. Inilah sisi paradoks manusia modern dalam memandang dan menyikapi dirinya. Keadaan batiniahnya diasingkan dari dirinya sendiri dengan sengaja, kemudian ditelantarkan dengan cara membiarkannya untuk tidak memperoleh makanan ruhani yang secukupnya. Sebagai konsekuensi dari kekeringan ruhani, setiap saat bermunculan berbagai peristiwa sosial, politik, dan kebudayaan, yang dengan dahsyatnya meneror setiap batin manusia.

Lihatlah ! Wajah para pemimpin yang muncul dalam setiap kesempatan di media massa dengan sangat atraktif menggambarkan kondisi batinnya yang kasar, keras, dan kejam. Sesungguhnya, mereka lahir sebagai pemimpin bukan karena keutamaan atau berdasarkan suatu ideal yang melebihi realitas masyarakatnya supaya dapat melakukan transformasi pada masyarakatnya. Mereka adalah aktor-aktor atau para badut yang memainkan lakon kepemimpinan di panggung teater raksasa yang bernama negara.

Rasulullah saw mengingatkan,”Saya mendengar Rasulullah pernah mengkhawatirkan umatnya bila terjadi enam hal Anak-anak dijadikan pemimpin, banyak polisi, korupsi dalam pemerintahan, pemutusan tali persaudaraan, mengentengkan pertumpahan darah, dan generasi yang memperlakukan Al Quran sebagai barang seni, mereka mengutamakan seseorang bukan karena kefaqihan dan keutamaannya, tapi karena kepandaiannya dalam berseni sastra.”( HR. Ahmad )

Dalam momen dan kondisi psikologis tertentu, situasi kemanusiaan mereka menampilkan seribu wajah yang amat angker, menyeramkan, sedangkan dalam momen lain justru menjijikkan. Sementara itu, mulut mulut mereka yang penuh berbisa itu terus menyemburkan berbagai pernyataan sensasional dan impresif secara besar-besaran.

Pernyataan mereka tak ubahnya bunyi-bunyian kaleng yang memekakkan telinga dan membuat amuk batin semakin menggila Jubah kebesaran yang tampak setia menyembunyikan hakikat kemonsteran, kekanibalan, dan keiblisan mereka adalah horor yang tak henti-hentinya meneror batin yang sudah bergemuruh dengan amuknya itu. Anehnya, realitas seperti itu direproduksi secara terus-menerus melalui berbagai cara tanpa merasa menipu.

Di televisi pula para pencoleng dan perampok uang negara berdebat sesamanya untuk menyelamatkan harta kekayaan bangsa; para pemerkosa hak-hak asasi manusia dapat mengatakan ingin menebar keadilan dan kemanusiaan; para koruptor tak takut hukuman dan memastikan dirinya sebagai orang suci; para pemimpin terus menipu rakyatnya dengan cara membuat produk kebohongan publik secara sistematik; dan para ulama bermain badut dengan kostum relijiusnya yang berbau apek seraya tidak henti-henti mulutnya mengobral ayat dan hadits dengan harga murah, sambil tangan kanan dan kirinya memegang tasbih sedangkan tangan kanannya memasukkan uang haram ke kantong bajunya yang didesain sedemikian rupa.

Di layar televisi pula kita dapat menemukan bahwa moralitas manusia mengalami degradasi secara hebat dan evolusi keluarga telah menjadi proses involusi; sebuah kemerosotan yang merusak dan membinasakan. Nyaris tidak ada nilai-nilai luhur yang selama ini kita junjung tinggi yang tidak mengalami perubahan mendasar.

Akbar S. Ahmed melukiskan, dunia yang kita diami sekarang ini tak ubahnya milik kaum predator, para penakluk yang bengis, terkutuk, dan sangat agresif.”Apa yang ditayangkan di TV seolah-olah mengajak kita berwisata ke sebuah rimba raya yang karenanya kita harus menyesuaikan diri dengan keganasan, kekerasan, dan kebuasannya,”demikian Akbar S. Ahmed melukiskannya. Bahkan, melalui berbagai video game, permainan anak, semua jenis pesan citra anarki dapat ditemukan dengan mudah.

Tragisnya, realitas aktual yang kejam dan mengerikan serta membiaknya kegelisahan batiniah itu, lanjut Akbar 5. Ahmed, justru diperparah dengan berbagai produk kebudayaan yang disebarluaskan secara sistematis. Akibatnya, karya-karya fiksi yang bermuatan keganasan, kekerasan, kebuasan, dan kegelapan berpadu dengan realitas sesungguhnya. 

Bahkan film-film horor yang mempertontonkan kanibalisme menjadi tren dunia film yang sangat laris. Sementara di bagian lain, statistik pembunuhan telah mencapai rekor di mana-mana. Tampaknya realitas dan fiksi telah menyatu, kemudian melahirkan panorama yang amat mengerikan. Padahal, kegelisahan dan amuk batin yang terus-menerus diteror bisa membunuh batin itu sendiri. Sebaliknya, batin yang mati akan dapat membangkitkan hawa nafsu jahat dari kuburnya yang paling dalam, dan akan menjadi monster yang menerkam ke sana kemari dan merobek-robek mentalitas dan spiritualitas. Dengan darah dinginnya pula ia akan membunuh kemanusiaan.

Kematian batin menyebabkan dominasi hawa nafsu, yang hanya akan membiakkan realitas individual dan sosial yang sarat dengan kekerasan dan kekejaman. 

Kendati demikian, masih ada hari esok. Harapan belum pupus sama sekali selama masih ada seberkas iman dalam dada kita. Taubat adalah bentuk kesadaran batin kita yang masih tersisa. Taubat, penyesalan dan permohonan ampun, adalah sebuah sikap yang benar terhadap masa lalu kita. Ia adalah energi yang akan membangkitkan kembali kesadaran batin kita; sebuah kesadaran yang dilandasi keimanan.

Hasan Al Banna menyatakan,”Keimanan yang mumi dan bersih, ibadah yang benar dan terbebas dari berbagai bid'ah, serta mujahadah yang jauh dari sikap berlebihan mempunyai pengaruh yang amat baik bagi pelakunya.”Pengaruh-pengaruh itu antara lain kemampuan dan kepekaan kalbunya dalam menangkap cahaya yang diberikan oleh Allah swt; cahaya yang dapat mengetahui apa yang tidak dapat diketahui oleh orang lain, dan dapat membedakan hal-hal yang masih samar serta rancu. Selain itu, Allah swt menganugerahkan kelezatan iman kepada pemiliknya hingga ia merasakan kebahagiaan dalam hidup.”Tiga hal, siapa yang memilikinya akan merasakan manisnya iman, yaitu :
  1. Lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada selain keduanya.
  2. Mencintai seseorang karena Allah.
  3. Benci kembali kepada kekufuran, sebagaimana ia tidak suka kalau dilemparkan ke dalam api.”( Muttafaq ' Alaih).
Ibnu Qayyim berkata,”Hati akan selalu dibayang-bayangi kegundahan dan kegelisahan, kecuali jika telah dipenuhi keimanan kepada asma Allah, sifat-sifat kesempurnaan serta ketinggian-Nya di atas ' Arasy, dan kedekatan hatinya dengan wahyu-Nya. Posisi seperti itu merupakan derajat pertama ketenteraman batin ( thuma'ninah ) yang dapat menguat ketika mendengar ayat-ayat-Nya yang menyebutkan sifat sifat-Nya.”


Kutipan dari Tulisan Ustadz Abu Ridha dalam Buku Spiritualitas Islam