Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Manusia Dan Pendidikan Dalam Perspektif Ibnu Khaldun

Manusia Dan Pendidikan Dalam Perspektif Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun dalam melihat manusia berbeda dengan sarjana-sarjana modern sekarang ini. la melihat manusia melalui pendekatan sosial- antropologis, suatu pendekatan yang menjadikan subyek (dalam relasi- relasi) sebagai titik tolak unit analisisnya. Manusia dalam sorotan Ibnu Khaldun adalah manusia yang terlibat secara niscaya dalam aktivitas hidup (interaksi sesama dan alam, bahkan dunia transendental). 

Sejalan dengan pendekatan tersebut, Ibnu Khaldun cenderung menerapkan pemikiran fungsional. Dalam pemikiran ini bukan distansi yang diutamakan - seperti dijumpai dalam pemikiran mitis dan ontologis - melainkan relasi. Subjek dan objek dibuka yang satu terhadap yang lain, sebagai suatu intensitas yang hanya berkembang dalam relasi relasi dengan yang lain. 

Relasi-relasi itu tidak hanya dalam tatanan dimensi kodrati manusia, lingkungan sosial dan alam, namun lebih jauh ke dimensi transendental, yang ia sebut alam al malakiyah (angelicality).' Dalam hal ini, ia melihat kaitan manusia dengan realitas lain yang berpengaruh terhadap kond psikologis serta cara kerja jiwa dan raga. Kesempurnaan manusia terletak pada optimalisasi diri (fisik dan mental) dalam lingkaran dunia kodrati dan Adikodrati. 

Unsur yang paling penting dari manusia yaitu jiwa sebagai bagian dari alam Malaki. la unuur Adikodrati dalam kodrat manusia. Dunia yang maujud menurutnya "dijumpai dalam alam Malaki, yang terpisah dengan waktu" Melalui penalaran seperti ini, kehendak manusia akan diarahkan kepada tujuan tujuan Adiindividu. Aktivitas manusia dikaitkan dengan sumber tertinggi Adiindividu, yaitu Adikodrati. Manusia dapat menjangkau yang Adikodrati melalui latihan. 

Bertolak dari pendekatan tersebut, maka filsafat manusia Ibnu Khaldun tidak banyak memfokuskan perhatiannya pada hakekat manusia - segi asal usul dan essensinya - tetapi sebagaimana filsafat Islam umumnya lebih menekankan tentang potensi potensinya, karakteristik jiwa dan proses interaktif yang bersifat fungsional sebagai aktualisasinya. Sebagai seorang muslim ia telah mempunyai asumsi asumsi kemanusiaan sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dari ajaran ajaran Islam. 

Di hampir semua bahasan keagamaan berkaitan adanya Jiwa manusia yang menjadi: (1) tempat iman dan kepercayaan; (2) tempat bergantungnya perintah dan tanggung jawab. Oleh karena itu agama lebih banyak memfokuskan pembicaraannya pada jiwa daripada fisik." Agama memberikan kabar gembira (al basyir) dengan syurga, dan ancaman (al nazir) dengan neraka kepada jiwa bukan kepada tubuh, meskipun keduanya memiliki kaitan. Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Khaldun menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga. 

Manusia terdiri dari dua bagian, satu jasmani (korporeal) dan yang satu lagi ronani (spiritual). Struktur manusia tersusun dari dua dimensi. Pertama, 'alam basyariyah (manusiawi); kedua alam al Malakiyah. 

Di antara dua dimensi tu pada din manusia menyertai dimensi lain yaitu fisik dan jiwa. Fisik berhubungan dengan realitas realitas atas dan bawah (upuard dan dosumwand). Realitas bawah, jiwa manusia berhubungan dengan fisik, dan lewat fisik berhubungan dengan dunia materi, darinya ia mendapatkan persepsi persepsi inderawi (al madarik al hissiyah) yang dipersiapkan untuk mencapai kekuatan fikir secara aktual. 

Dari realitas atas, jiwa itu berhubungan dengan dunia Malaikat (ufq al malaikah, the stage of angels). Darinya, ia mendapatkan persepsi persepsi saintifik dan metafisik (al madarik al 'ilmiyah wa al gaibiyah). Sebab dunia yang maujud ini didapatkan dalam dunia malaikat yang terpisah dari waktu. Jiwa manusia (al nafs al insaniyah, human soul), tidak dapat diamati, tetapi fenomena fenomenanya dapat diamati dalam tubuh. Tubuh dan unsur unsurnya, baik secara kolektif maupun secara terpisah merupakan wahana bagi jiwa dan potensi potensi (kekuatan)nya. 

Potensi motorik (al fa'iliyah, powers of action) yaitu pukulan dengan tangan, berjalan dengan kaki, bicara dengan lidah atau gerak badan seluruhnya digerakkan oleh jiwa. Potensi (kekuatan) lain adalah al mudrikah (powers of sensual perception, kekuatan persepsi sensual) yang meliputi berbagai kekuatan yang meningkat kepada tingkatan yang paling tinggi, yaitu pemikiran (al mufakkirah). 

Terdapat juga kekuatan persepsi indera ekstemal (al-hiss al-zahirah), dengan alat alatnya berupa penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan lain lain yang meningkat kepada persepsi indera intemal (al batin, inuard perception). 

Yang pertama dari kekuatan persepsi persepsi internal ini ialah al hiss al musytarik (common sense) yang secara simultan menerima (memahami) apa yang ditangkap oleh indera luar, baik penglihatan, pendengaran, penciuman dan lain lain. 

Dalam hal ini berbeda dengan persepsi indera eksternal, sebab apa yang bisa ditangkap oleh indera eksternal tidak bisa berkumpul pada indera ini dalam waktu yang sama. 

Kemudian indera bersama ini mentransfer persepsi persepsi itu kepada indera imaginasi (al khayal, omagination), yaitu suatu kekuatan yang dapat menggambarkan objek objek persepsi sensual di dalam jiwa yang diabstraksikan dari materi ekstermal (al mawad al khârijah); yang terlepas dari materinya. 

Organ tubuh bagi aktivitas kedua indera ini (common sense dan imaginasi) adalah rongga pertama dari otak. Bagian depan otak untuk common sense dan bagian belakang untuk imaginasi. Imaginasi mentransfer kepada potensi estimasi (al-wahimah, estimatie power) dan potensi rekoleksi (al håfizah). 

Potensi estimasi yaitu kekuatan yang dapat menangkap hal hal yang abstrak yang terlepas dari materi, seperti sifat permusuhan Zaid dan sifat persahabatan Amru, kasih sayang orang tua dan buasnya serigala. Potensi rekoleksi ialah kekuatan menyimpan hal hal yang abstrak yang diterima oleh estimasi. la bagaikan khazanah penyimpan semua objek persepsi, baik yang dikhayalkan, yang sewaktu waktu dapat dipergunakan apabila dibutuhkan (reproduksi). Sarana bagi kedua kekuatan (estimasi dan rekoleksi) ialah rongga belakang otak. 

Bagian depannya untuk potensi estimasi dan bagian belakang untuk potensi rekoleksi. Semua kekuatan ini membawa kepada kekuatan pikiran, organnya adalah rongga tengah otak. Dengan perantaraan organ inilah terjadi proses inteleksi (ta'aqqul, intellection). Jiwa selalu digerakkan oleh kekuatan ini. 

Dalam fase ini jiwa masuk pada tingkat pertama dari makhluk makhluk rohani, yang berarti pada tingkat itu dapat memahami tanpa alat alat badani, suatu keadaan tempat jiwa selalu bergerak dan berusaha ke arah itu. Jiwa itu dapat juga lepas sama sekali dari sifatnya sebagai manusia dan masuk ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu akal aktif. 

Berdasarkan uraian tersebut, Ibnu Khaldun berusaha membuktikan, bahwa manusia adalah makhluk yang terpenting di antara makhluk ciptaan Tuhan. Harkat dan martabat manusia menempati posisi tinggi. yaitu menjadi khalifah di bumi." Kedudukan istimewa demikian bukanlah sesuatu yang inherent dalam dirinya sejak awal, akan tetapi datang kemudian sebagai hasil dari aktualisasi potensi potensinya, sebagai rahmat dari Pencipta. 

Dalam membicarakan posisi manusia di antara realitas yang ada untuk membuktikan bahwa manusia merupakan puncak dari penciptaan di alam fisik. Ia berpandangan bahwa segala yang ada di wujud ini dapat dibagi dalam dua klasifikasi, yaitu alam yang dapat diamati dan alam tidak dapat diamati. Kedua alam ini bukan merupakan alam yang terpisah, tetapi merupakan dua alam yang saling berhubungan, sehingga merupakan suatu kesinambungan yang berhubungan erat. 

Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa ada sebahagian tertentu dari manusia yang mampu memasuki alam yang tidak dapat diamati itu, meskipun untuk sesaat saja. Ibnu Khaldun - dalam rangka ini - membuktikan, bahwa kenabian (nubuwah) adalah suatu kenyataan yang dapat diterima secara logis, dan bukan merupakan suatu masalah yang tnk bisa dijelaskan. 

Meskipun suatu alam tidak dapat diamati secara sensual, tidak berarti bahwa alam itu tidak ada. Kalangan tertentu, khususnya para Nabi mampu menjangkau alam yang ia sebut alarn al malakiyah. 

Selanjutnya, untuk menjelaskan hal ini, Ibnu Khaldun membagi jiwa manusia kepada tiga macam: 

1. Jiwa yang menurut kodratnya tidak sanggup untuk sampai kepada persepsi spiritual (spiritual perseption). 

Karena itu ia puas turun ke persepsi persepsi inderawi (persepsi persepsi yang dapat dijangkau dengan panca indera), imaginasi dan sekumpulan idea idea yang dapat diambil dari kekuatan kekuatan al hafizah (memory), dan al wahimah (estimative power), sesuai dengan hukum hukum tetap dan peraturan peraturan yang berlaku. 

Dengan cara ini, mereka hanya dapat sampai kepada pengetahuan perseptif dan apperseptif (al 'ulâm al tasawuuriyah wa al tasdigiyah), merupakan produk pemikiran yang bersifat ragawi. Semua ilmu ini merupakan (hasil dari kekuatan) imaginasi (khayal) yang terbatas lapangannya pada kebenaran kebenaran pokok (mendasar), tidak bisa melampauinya. Seluruh rantai pemikiran bergantung kepada berlakunya kebenaran kebenaran ini. 

Tingkatan pertama ini belum dapat sampai ke bidang pemahaman rohanzyah (supernatural). la masih sangat terikat dengan empirik sensual. Dalam sebagian besar kejadian inilah bidang kepahaman manusia yang dapat dicapai dengan pancainderanya; dan dalam bidang inilah para abli ilmu sebenarnya bekerja, serta pada bidang ini pula menyebabkan pengetahuan itu terbatas. Jiwa orang orang yang mengarah dengan gerakan pemikiran itu 

2. Jiwa orang yang mengarah dengan gerakan pemikiran.

Ini berkaitan dengan akal rohani dan pengenalan yang tidak menggunakan alat alat badani, sebab telah memiliki persiapan untuk itu Karena itu bidang pengenalannya lebih luas daripada prinsip prinsip dasar saja yang merupakan pengenalan manusia golongan pertama. la dapat bergerak bebas mengarungi realtas realitas batiniyah (al musyahadat al batiniyah), yang merupakan kesadaran (wijddn) murni dan tak terbatas. Ini merupakan pengenalan para ulama, wali, suti dan orang orang yang memiliki pengetahuan yang bersifat ketuhanan. 

3. Jiwa orang orang yang telah diciptakan memiliki kemampuan melepaskan diri secara keseluruhan, baik jasmani maupun rohaninya.

Ini dilakukan dalam rangka untuk sampai ke tingkat Malaikat di ufuk yang lebih tinggi, sehingga dalam waktu tertentu betul betul dapat beralih menjadi malaikat. la dapat menyaksikan - dengan kemampuan actual - alam yang tinggi tersebut dalam ufuk alam itu sendiri, mendengarkan kalimat kalimat yang bersifat essensial dan kalam Ilahi dalam masa yang amat pendek tersebut. 

Mereka ini adalah para Nabi AS. Allah telah memberikan mereka kemampuan untuk menanggalkan sifatnya sebagai manusia pada saat menerima wahyu, berkat suatu sifat khusus yang memungkinkan mereka dapat mengatasi rintangan badani. 

Sebab Allah telah menanamkan dalam jiwa para Nabi naluri keikhlasan yang membuat mereka dapat menanggalkan sifat manusiawi dan dapat menerima wahyu, kemudian menuangkannya dalam bentuk tutur kata manusia agar dapat dipahami setiap orang. 

Ibnu Khaldun mengemukakan hal tersebut dalam rangka membuktikan, bahwa semua realitas - baik realitas sensual maupun realitas metafisik - adalah suatu kesatuan yang saling berhubungan (ittisal). Ittisal ini menjadi faktor sentral dalam menerangkan realiats. Menurutnya, ittisdal mengandung makna "tahap terakhir dari setiap kelompok adalah keadaatn kesiapan penuh menuju tahap pertama dari kelompok di atasnya atau bentuk tertinggi setiap makhuk, memiliki kecenderungan untuk menjadi bentuk terendah makhluk makhluk tahap perkembangan berikutnya.

Tulisan ini adalah kutipan dari buku Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Warrul Walidin AK,MA