Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Indahnya Pengorbanan

Indahnya Pengorbanan

NAFSU itu memerintahkan pada keburukan, senang kekenyangan dan tidur, menempel ke bumi, mengikuti hal-hal murahan dan rela dengan kehinaan. Namun orang-orang yang cerdas dan cerdik tidak akan pernah menurutinya. Mereka tidak akan pernah mendengar perkataannya. Bahkan sebaliknya akan menghardik, menentang dan bertengkar dengannya. Jika nafsu mengajaknya untuk meninggalkan yang wajib, maka mereka akan teringat akan kegembiraan atas keberhasilan, kemenangan, pujian dan akibat yang baik.

Alangkah indahnya pembagian bab dalam kitab Shahih Al-Bukhari terhadap kisah Musa bersama Nabi Khidhir dengan mengatakan, "Bab Tentang Kepergian Musa ke Laut untuk Berjumpa Khidhir". Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath Al-Bari, "Bab ini adalah bab yang memberikan anjuran keras untuk bersabar dalam menanggung kesulitan dalam menuntut ilmu. 

Sebab sesuatu yang biasanya sering menjadi keirian seseorang adalah sesuatu yang di dalamnya terkandung kesulitan. Musa walaupun memiliki posisi demikian tinggi namun dia tidak segan-segan untuk mencari dan menuntut ilmu dengan cara menyeberangi lautan hanya karena dia ingin mendapatkan ilmu."

Dalam hadits tersebut terkandung banyak pelajaran: Menyeberangi lautan untuk menuntut ilmu atau untuk memperbanyak ilmu itu sendiri jika dipandang perlu, disyariatkannya membawa bekal dalam perjalanan, keharusan untuk berendah hati dalam segala kondisi, kepatuhan orang yang belajar kepada gurunya. Oleh sebab itu, Musa demikian terobsesi untuk bisa berjumpa dengan Khidhir, dan berusaha untuk belajar darinya. Ini sebagai bentuk pelajaran tak langsung bagi kaumnya agar mereka melakukan apa yang dia lakukan dan sebagai peringatan bagi yang menyucikan dirinya sendiri untuk berjalan melalui jalur rendah hati.

Di dalam hadits ini ada keutamaan menambah ilmu walaupun harrus melalui proses dan jalan sulit serta melelahkan dalam perjalanan." Saya katakan, ini adalah semangat dan tekad sang Kalimullah Musa Alaihissalam, Nabi yang Allah pilih dari sekian banyak manusia untuk menerima risalah dan firman-Nya. Dia tuliskan untuknya Taurat dengan Tangan-Nya, kemudian dia pergi mencari ilmu langsung dari sumbernya dan mencari faedah dari ahlinya.

Sedangkan salah seorang diantara kita memiliki ilmu sangat terbatas, tak berdaya melakukan kemaslahatan pada dirinya, dan menjadi beban bagi orang lain. Dia menyangka bahwa hanya dengan memiliki sejumlah ilmu yang terpencar-pencar dia telah sampai ke puncaknya. Tiada upaya dan kekuatan kecuali dari Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.

Ali bin Abi Talib Radhiyallahu Anhu berkata, "Cukuplah bagi ilmu itu semua kemuliaan dimana ada orang yang sebenarnya bukan ahlinya mengaku memilikinya." Al-Khathib Al-Baghdadi berkata dalam buku "Ar-Rihlah fi ThalabAl- Hadits" (Berkelana Untuk Menuntut llmu), setelah menyebutkan tentang hadits Musa dan Khidhir, "Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa apa yang dialami Musa dalam hal kesulitan dan perjalanan, dan kesabaran dalam perjalanan itu serta kerendahan hatinya di hadapan Khidhir, walaupun dia memiliki keduchukan terhormat di sisi Allah dengan kenabian, menunjukkan tingginya posisi imu, dan tingginya kedudukan orang yang mernilikinya dan hendaknya siapa saja yang menuntut ilmu, dia bersikap rendah hati terhadap orang yang mengajarinya.

Seandainya ada satu orang yang tidak semestinya berlaku rendah atas seorang makhluk karena ketinggian kedudukannya, maka pastilah Musa yang paling berhak untuk itu. Maka tatkala dia menampakkan keseriusan dan kesungguhan dan meninggalkan negerinya dan demikian sungguh-sungguh untuk mengambil faedah darinya, dengan segala pengakuan bahwa dia demikian menghajatkan untuk sampai pada sebuah ilmu yang dia mampu mengetahuinya, maka ini menunjukkan bahwa tidak ada seorang makhluk pun yang mampu mengatasi kondisi ini dan tidak ada yang pantas untuk bersombong diri."

Imam Ibnul Qayyim dalam buku Miftah Daar As-Sa'adah (Kunci Rumah Kebahagian), ketika menyebutkan beberapa keutamaan ilmu dan ahlinya, dia berkata, "Sisi keempat puluh tiga: Sesungguhnya Allah Yang Mahasuci memberitahukan kepada kita semua tentang hamba pilihan dan Kalim-Nya, dimana Dia menuliskan untuknya Taurat dengan Tangan-Nya. Allah mengajaknya langsung berbicara dengan-Nya sebagai karunia dari- Nya.

Dia pergi untuk menemui seorang lelaki alim untuk belajar darinya, dan menambah ilmu atas ilmu yang telah dimilikinya. Maka Allah berfirman, "Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan, atau aku berjalan sampai bertahun-tahun." (Al-Kahfi: 60), sebagai gambaran dari keinginan yang membara darinya untuk bisa bertemu dengan orang alim ini dan untuk belajar darinya.

Tatkala dia bertemu dengannya, maka dia melakukan perilaku sebagaimana perilaku seorang pelajar terhadap gurunya. Dia berkata padanya, "Bolehkan aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu. " (Al- Kahfi: 66). Setelah salam dia memulai pembicaraanya dengan minta ijin untuk bisa ikut serta dengannya, dan bahwa dia tidak akan mengikutinya kecuali setelah mendapatkan ijin darinya, dimana dia berkata, "supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu." Dia tidak datang untuk mengujinya dan tidak pula untuk berdebat kusir dengannya.

Dia datang padanya untuk belajar dan menambah ilmu yang baru pada ilmu yang dia miliki sebelumnya. Ini cukup menjadi bukti bahwa betapa mulia dan utamanya ilmu itu. Karena sesungguhnya Nabi Allah dan Kalim-Nya melakukan perjalanan dan berkelana jauh sehingga mengalami derita perjalanan hanya untuk belajar tiga masalah dari seorang alim. Tatkala dia mendengar tentangnya dia tidak merasa aman dan tidak tenang hingga dia bisa bertemu dengannya, bisa ikut bersamanya dan bisa belajar darinya. Dalam kisah keduanya ini terdapat pelajaran, tanda-tanda dan hikmah. Namun di sini bukan tempatnya untuk kita ulas bersama."

Betapa Indahnya Andaikata Aku Bersama Mereka

DI antara ulama salaf ada yang berjalan bermalam-malam dan berhari-hari dengan kedua kakinya untuk mencari tahu sebuah hadits. Dia tidak pernah bosan dan tidak pula jemu. Dia berselimutkan langit dan tempat pembaringannya adalah debu-debu. Dia minum dari air kolam, berbantalkan gundukan pasir, dan bersandar pada bebatuan. Perut kosong dan keroncongan. Hingga akhirnya dia berhasil mempersembahkan kepada umat Islam turats (peninggalan) yang penuh berkah, yang akan dia dapatkan pahalanya di hari dimana tidak lagi bemanfaat harta benda dan anak-anak.

Di antara mereka ada yang menulis di bawah sinar rembulan. Jika rembulan telah tenggelam, dia bangkit untuk shalat subuh. Jika pagi telah tiba, dia berkeliling dari satu majlis ke majlis ilmu yang lain. Mencari ilmu, menulis, bertanya dan dia tidak tidur kecuali sekedar kebutuhan.

Imam An-Nawawi menghafal setelah fajar dan mengulangi hafalannya setelah maghrib. Dia belajar dia awal siang sebanyak dua belas pelajaran, dan mengarang di akhir siang. Bangun malam, puasa siang. Dia meninggal pada usia empat puluh tahun. Allah telah mengabadikan namanya dan mengangkat derajatnya, dan menebarkan ilmunya di seluruh semesta.

Apayang dilakukan oleh kebanyakan orang yang telah mencapai usia 70-an, 80-an atau 90-an? Sekadar rutinitas hidup? Dimana awalnya laksana akhirnya. Berulang-ulang, namun tidak ada yang baru di dalamnya. Kehidupan yang berat dan membosankan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Tidakkah orang-orang itu yakin, bahua sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.”

Bersumber Dari buku Hadaa'iq Dzatu Bahjah oleh Dr. 'Aidh Abdullah Al-Qarni