Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tiga Tradisi Pendidikan Di Aceh

Tiga Tradisi Pendidikan Di Aceh

Ketiga tradisi pendidikan yang akan diuraikan disini merupakan produk dialektikal proses sejarah Aceh itu sendiri. Tradisi pendidikan dayah dan meunasah merupakan tradisi yang diwarin masyarakat Aceh dari zaman kerajaan Aceh yang merupakan suatu thesis dalam tradisi pendidikan di Aceh.

Tradisi pendidikan yang dikembangkan oleh Belanda dengan tradisi pendidikan barat merupakan antithesis terhadap pendidikan yang ada dalam masyarakat pada waktu itu. Perkembangan kedua macam tradisi pendidikan ini telah menciptakan dikotomi dalam thasyarakat Aceh, seperti dikotomi pendidikan umum dan agama. dikotomi agama dan dunia, dikotomi dunia dan akhirat, dikotomi sekuler dan religious serta dikotomi lainnya yang mencerminkan kedua jenis usaha melembaga dalam pewarisan nilai-nilai.

Baca juga: Sejarah Pendidikan di Aceh

Untuk menghadapi dikotomi ini lahirlah berbagai usaha yang mencari jalan lain yang merupakan sintesis dari usaha-usaha yang ada. Ini merupakan tradisi ketiga yang akan terus berkembang dimasa yang alan datang sebagai hasil creatif respon masyarakat menjawab tantangan zaman.

Sebagai usaha yang melembaga dari masyarakat, maka pendidikan di Aceh yang sangat asli adalah pendidikan yang dilaksanakan melalui lembaga meunasah dan dayah. Dalam konsep ini termasuk juga lembaga yang disebut bale atau rangkang. Peranan meunasah dan dayah sebagai lembaga utama pendidikan dalam masyarakat Aceh bukan saja dapat kita baca dalam literatur tentang Aceh seperti buku Snouck Hurgronje ', tetapi juga pada masih adanya lembaga-lembaga tersebut dalam masyarakat sampai sekarang ini.

Usaha-usaha pendidikan di Aceh melalui meunasah memang sudah sangat melembaga dan membudaya, sehingga meskipun dewasa ini kita memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang baru, namun masyarakat masih tidak mau dengan serta merta melepaskan keberadaan lembaga ini.

Pendidikan yang dilaksanakan melalui meunasah merupakan pendidikan dasar bagi masyarakat Aceh. Semua kampung di Aceh memiliki meunasah yang disamping peranannya sebagai lembaga pendidikan juga mempunyai peranan kemasyarakatan lainnya.

Bahkan dalam perantauanpun masyarakat Aceh tetap membangun meunasah kalau jumlah mereka sudah cukup membentuk suatu komunitas baru. Dayah atau pesantren sebagai lembaga yang berasal dari masa sebelum kedatangan Belanda merupakan lembaga yang khusus menyelenggarakan pendidikan. Ditilik dari istilahnya, istilah dayah berasal dan istilah zawiyah dalam bahasa Arab yang berarti sudut. Ini disebabkan dalam tradisi Islam pendidikan danpengajaran pada mulanya dilaksanakan di sudut-sudut mesjid. Setelah lembaga yang memakai tempat di sudut-sudut ini menjadi besar maka ia diperlengkapi dengan fasilitas-fasilitas lainnya namun mesjid tetap menjadi pusatnya.

Di Indonesia, atau khususnya di Aceh. konsep lembaga pendidikan tersebut nampaknya telah berinteraksi dengan baik dengan lembaga yang dulu sudah berada di nusantara ini yang berasal dari tradisi Hindu atau Budha yang dewasa ini disebut dengan pesantren. Karena asal usul pribumi tersebut, maka dayah disebut juga pesantren seperti halnya pesantren-pesantren yang ada di Jawa. Tetapi di Aceh yang telah lebih lama memiliki tradisi Islam istilah dayah lebih menonjol, mungkin karena asal usulnya Islam.

Pendidikan sistem dayah memiliki beberapa ciri penting. Ciri dayah atau pesantren yang sangat menonjol adalah pemondokan untuk santri atau murid-murid dalam satu kompleks bersama-sama guru. Karena pemondokan ini, dayah disebut juga dengan pondok atau pondok pesantren. Menurut sebagian orang istilah pondok ini sendin berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat tinggal. Tradisi dayah untuk memberi pemondokan kepada santrinya masih terus berlanjut sampai sekarang meskipun ada lembaga-lembaga yang menamakan dirinya pesantren yang tidak memiliki pemondokan yang memenuhi syarat.

Secara struktural pemondokan siswa ini sangat penting dalam pembinaan pendi dikan. Pemondokan siswa bersama-sama dengan guru merupakan suatu komunitas yang sangat terpadu dimana proses pendidikan sebagai suatu proses pembentukan kepribadian dapat berjalan secara alamiyah.

Ciri lainnya dari pendidikan dayah ialah pengajarannya sangat terpusat pada ilmu-ilmu agama dalam pengertian tradisional. Tradisi pendidikan dayah adalah tradisi yang sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat dan dibiayai oleh masyarakat. Partisipasi pemerintah dalam pengembangan lembaga pendidikan ini masih sangat terbatas.

Tradisi pendidikan yang seluruhnya dilaksanakan oleh masyarakat ini mungkin berasal dari zaman lampau dimana lembaga-lembaga ini dibangun oleh para ulama. Bahkan yang lebih menonjol lagi ialah lembaga ini pada umumnya dimiliki oleh perorangan sehingga lembaga pendidikan ini sangat peka terhadap berbagai perobahan dalam masyarakat. Kesinam bungan pendidikan modal dayah semata-mata karena akar budayanya yang sudah begitu mendalam dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana akan diuraikan dalam satu bab tersendiri selanjutnya, pendidikan tradisi dayah memang mengalami berbagai perobahan dan nampaknya sedang mendapat momentum baru dewasa ini. Ini nampaknya terkait dengan perbaikan standard ekonomi masyarakat, sehingga mereka lebih mampu memberikan biaya kepada pendidikan dengan model ini.

Belanda yang mulai menguasai Aceh sejak dekade kedua abad kedua puluh tidak melanjutkan sistem pendidikan dayah di Aceh. Pendidikan sistem sekolah yang sudah diterapkannya di daerah-daerah lain yang lebih dahulu dikuasainya, dikembangkan juga di Aceh. Pemerintah Hindia Belanda mulai mengembangkan sekolah di Indonesia pada pertengahan abad ke 19.

Pada tahun 1849 untuk pertama kalinya pemerintah Hindia Belanda mendirikan Sekolah Dasar tiga tahun dan Sekolah Guru pada tahun 1852. Pada tahun 1854 sebuah Peraturan Organik dikeluarkan yang menugaskan kepada pemerintah kolonial untuk menyediakan pendidikan bagi anak-anak pribumi. Pada tahun 1867 Departemen Pendidikan didirikan dan sejak itu jumlah Sekolah Dasar untuk anak-anak Indonesia bertambah dengan cepat sehingga pada tahun 1892 jumlah anak-anak Indonesia pada sekolah tersebut sudah mencapai 52.700 orang.

Pada tahun 1893 Belanda memperkenalkan dua macam sekolah lagi yaitu Sekolah Klas 1 ( Eerste Klasse ) untuk anak-anak golongan aristokrat dan orang kaya, dan Sekolah Klas II ( Tweede Klasse ) untuk anak-anak orang biasa. Pada tahun 1907 Belanda mendirikan Sekolah Desa ( Volksschool ) yang merupakan suatu terobosan karena buat pertama kali sistem pendidikan Barat diperkenalkan kepada masyarakat luas ( mass ) ".

Menurut statement yang ditulis dalam buku 10 Tahun Danmalam dan Hari Pendidikan Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang diterbitkan oleh Yayasan Pembina Darussalam pada tahun 1959, untul daerah Aceh, pendidikan model barat pertama sekali diterapkan oleh Belanda adalah di Singkil, yang berdekatan dengan Tapanuli dimana pendidikan model Belanda sudah lebih dahulu diterapkan.

Setelah kekuasaan Belanda bertambah kuat maks sekolah sekolah Belanda pun mulai dibangun di Aceh. Sekolah-sekolah Belanda pada tingkat Dasar meliputi Volksschool ( Sekolah Desa ), Inlandsche Vervolgschool ( Sekolah Bumiputra Lanjutan ), Meisjesschool ( Sekolah Puteri ). Vervolgschool-met Nederlandsch ( Sekolah Lanjutan dengan Bahasa Belanda ). Vervolgschool met Landbouwklas ( Sekolah Lanjutan dengan Klass Pertanian ). Hollandsch Inlandsche School ( Sekolah Dasar Belanda untuk Bumiputra ). Europeesche Lagere School ( Sekolah Dasar untuk Anak-anak Eropah ). Hollandsch Chinese School ( Sekolah Dasar Belanda untuk Cina ), dan beberapa jenis sekolah lainnya.

Pada tingkat menengah Belanda mendirikan MULO di Kutaradja yang merupakan satu-satunya sekolah menengah pada waktu itu. Pada zaman Jepang semua sekolah-sekolah dasar itu dijadikan Kokumin Gakko ( SekolahNegara ) yang masa belajarnya enam tahun.

Dari tradisi baru yang telah dimulai oleh Belanda dan dirobah oleh Jepang itulah timbul tradisi baru pendidikan di Aceh. Sekolah-sekolah tersebut pada zaman Belanda bukan hanya didirikan oleh Pemerintah kolonial, tetapi juga oleh organisasi organisasi masyarakat Indonesia seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah Dari tradisi tersebutlah lahirnya Sekolah Rakyat ( SR ) yang kemudian menjadi Sekolah Dasar ( SD ).

Demikian juga lahirnya Sekolah Menengah Pertama ( SMP ), Sekolah Menengah Atas ( SMA ), dan sekolah-sekolah kejuruan lainnya. Sesuai dengan tradisi yang dikembangkan oleh Belanda sekolah-sekolah ini menekankan pendidikan umum yaitu pendidikan untuk kebutuhan praktis warga masyarakat. Dalam konsep kebutuhan praktis ini termasuk kebutuhan akan pegawai pemerintah dan swasta serta kebutuhan kepada tenaga terampil untuk menjalankan berbagai usaha. Dari tradisi inilah nampaknya berkembangnya orientasi menjadi pegawai dalam dunia pendidikan seperti yang masih dirasakan dewasa ini. Kehadiran tradisi pendidikan barat di Aceh yang dibawa oleh Belanda menimbulkan berbagai reaksi dalam masyarakat Aceh Ada segolongan masyarakat yang sangat menentang sistem pendidikan tersebut sampai menyatakan bahwa mengikuti pendidikan di sekolah akan menjadi kafir.

Golongan ini masih tetap mendidik anak-anak mereka melalui pendidikan tradisionil yaitu pendidikan dayah atau pesantren. Tetapi sangat banyak juga anggota masyarakat yang menunjukkan tanggapan yang positif terhadap pendidikan sistem barat tersebut, dan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah tersebut dan kemudian menjadi pegawai negeri.

Bahkan setelah masyarakat Aceh, sepertinya masyarakat Indonesia lainnya, memperoleh pendidikan model barat tersebut, banyak juga yang menyatakan bahwa Belanda sangat melalaikan pembangunan pendidikan di Aceh. Memang, karena perang yang berkepanjangan, Belanda tidak sempat membangun Aceh sebagaimana di wilayah wilayah lainnya.

Tetapi setelah pendidikan model barat ini diteruskan oleh pemerintah Indonesia, ulama pesantren pun sudah mulai memasukkan anak-anak mereka ke pendidikan sekolah ini. Meskipun dapat menerima sistem pendidikan barat atau umum tersebut, masyarakat Aceh pada umumnya, terutama dari kalangan ulama tidak puas dengan pendidikan tersebut karena tidak memasukkan pendidikan agama.

Meskipun pada masa kemerdekaan pendidikan agama dimasukkan ke dalam sistem pendidikan umum tersebut masyarakat masih belum puas dengan porsi yang diberikan kepada pendidikan agama. Untuk mengatasi hal ini maka lahirlah tradisi ketiga dalam perkembangan pen didikan di Aceh yaitu tradisi mengawinkan pendidikan agama dan umum dalam suatu lembaga baru yang dewasa ini disebut madra sah.

Tidak dapat dibantah bahwa tradisi ini lahir dari adanya appre siasi masyarakat terhadap sistem pendidikan yang dikembangkan olch Belanda dan diteruskan setelah kemerdekaan, tentu dengan penyesuaian-penyesuaian. Karena adanya appresiasi tersebutlah maka pada zaman Belanda pun sudah banyak tokoh-tokoh yang meniru sistem pendidikan Belanda dan memasukkan pendidikan agama Islam dalam kelembagaannya. Di antara tokoh-tokoh tersebut terdapatlah Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh, Tpk Abdurrahman Meunasah Meutjap, Tgk. Sjech Ibrahim, dan lain-lain yang pada umumnya dikenal sebagai tokoh-tokoh pembaharuan pendidikan agama di Aceh yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh ( PUSA ).

Sebagaimana diketahui bahwa pada awal abad kedua puluh adalah masa lahirnya gerakan-gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Lahirnya gerakan ini tidak lepas dari munculnya tokoh-tokoh baru di kalangan Islam yang sangat menyadari akan pentingnya pendidikan. Tetapi gerakan pembaharuan ini tidak menekankan pada sistem pendidikan tradisional, tetapi lebih menekankan pada sistem pendidikan modern yang telah di kembangkan oleh Belanda di Indonesia.

Munculnya gerakan ini juga tidak terlepas daripada gerakan pembahauan Islam yang muncul di Timur Tengah, di Mesir khususnya, yang sangat memperhatikan pembaharuan pendidikan Islam dan pembaharuan inipun terjadi sebagai kreatif respon terhadap munculnya pendidikan barat di wilayah-wilayah Islam.

Banyak di antara pembaharu ini adalah tokoh-tokoh yang sudah pernah mengenyam pendidikan sistem barat, baik yang masih asli maupun yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan umat Islam. Di Indonesia gerakan pembaharuan ini ditandai dengan munculnya organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 dan di Aceh dengan munculnya PUSA sebagai organisasi pembaharuan agama dan pendidikan Islam di Aceh.

PUSA adalah organisasi golongan reformis atau pembaharu di Aceh yang dibentuk di Sigli pada tahun 1939 dan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh adalah seorang pemimpin penting dari organisasi PUSA ini. Sebelum terbentuknya PUSA tokoh-tokoh pembaharuan tersebut sudah aktif mengadakan pembaharuan dalam bidang pendidikan agama di Aceh yang antara lain dilakukan dengan memodernisasikan pendidikan dayah dari sistem khalaqah menjadi sistem pendidikan klassikal seperti sekolah.

Dari usaha ini Dr. Nazaruddin Sjamsuddin mencatat sejumlah madrasah bermunculan untuk menggantikan dayah ( pesantren ) pada tahun 1928-1929, delapan tahun kemudian terdapat sekurang-kurangnya 98 madrasah di daerah ini Ini dua tahun sebelum pembentukan PUSA Selanjutnya beliau menyatakan bahwa sebagai per bandingan, sampai tahun 1938 Belanda sudah mendirikan 328 volkschool ( Sekolah Desa ) di seluruh Aceh. Beliau juga mencatat bahwa " masa ini pada umumnya dikenal dengan sebutan zaman kesadaran “ atau “ zaman kemajuan.” Dalam suasana inilah para ulama reformis mendirikan organisasi mereka sendiri, PUSA, dan memilih Daud Beureu-eh sebagai pemimpin mereka pada tahun 1939.

Yang sangat menarik dalam perkembangan tradisi madrasah ini ialah jalannya mendapat kedudukan sebagai lembaga pendi dikan yang dilaksanakan oleh pemerintah setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan sehingga dirasakan ada dualisme dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dan di Aceh khususnya.

Madrasah-madrasah yang pada tahun 1939, yaitu tahun berdirinya PUSA masih bersifat swasta dan dengan nama yang bermacam macam, pada tahun 1946 diserahkan kepada pemerintah Aceh dibawah asuhan Pejabat Agama di Aceh dan bukan kepada Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan. Dengan penyerahan tersebut resmilah sekolah-sekolah agama itu menjadi sekolah negeri dengan nama Sekolah Rendah Islam Negeri dengan masa belajar tujuh tahun.

Pada waktu diserahkan kepada pemerintah jumlah sekolah-sekolah itu sudah mencapai 180 buah dengan murid 36.000 orang. Selanjutnya pada tahun 1952 dan tahun 1959 SRIN yang sudah berjumlah lebih 200 buah itu resmi menjadi lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh Depar temen Agama Republik Indonesia. Dan karena latar belakang inilah maka daerah yang paling banyak memiliki madrasah ibtidaiyah ini adalah Daerah Istimewa Aceh.

Inilah ketiga tradisi pendidikan yang telah berkembang di Aceh sampai sekarang sebagai produk dari gejolak dan perobahan sejarah Aceh sejak diperangi Belanda pada tahun 1873. Ketiga tradisi tersebut dapat diistilahkan secara singkat dengan tradisi dayah, tradisi sekolah, dan tradisi madrasah. Di antara tradisi ini tentu ada lagi variasi-variasinya seperti pesantren atau dayah terpadu, namun pokoknya tetap pada tradisi yang tiga macam ini. Masing-masing tradisi ini telah tumbuh berkembang atau bertahan dengan kondisinyamasing-masing.

Tradisi dayah, sebagai lembaga yang dilaksanakan penuh oleh masyarakat masih menghadapi berbagai kendala terutama dalam pembinaan pengembangan dan pembaharuan kelembagaannya. Tradisi sekolah telah berkembang dengan berbagai variasi mulai dari dasar sampai lembaga pendi dikan tinggi. Demikian juga, tradisi madrasah yang makin kukuh landasan formalnya sudah memiliki lembaganya sampai tingkat tinggi dalam bentuk IAIN di seluruh Indonesia. Ketiga tradisi ini sebenarnya bukan saja terdapat di Aceh, tetapi kehadiran tradisi tradisi ini di Aceh, memang benar-benar merupakan produk sejarah Aceh itu sendiri.

Sebenarnya masyarakat Aceh tidak puas dengan tradisi-tra disi yang terpisah-pisah ini, namun usaha mengembangkan satu tradisi atau model yang memuaskan semua pihak nampaknya masih sangat jauh. Kalangan dayah belum begitu mau agar dayah-dayah dirobah saja agar sesuai dengan madrasah atau sekolah. Kalangan madrasahpun tidak ingin tradisi ini dihapuskan saja apalagi sekarang ini telah mendapat landasan formil yang lebih kuat. Demikian juga perobahan sekolah sangat terikat dengan sistem nasional, karena apabila sekolah dirobah di Aceh, dia akan berbeda dengan sekolah secara nasional.

Pada tahun 1967 dan 1968 sudah mulai dirintis usaha-usaha mengintegrasikan kurikulum madrasah dan sekolah pada tingkat dasar " Tetapi karena kendala sen tralisasi usaha ini belum mendatangkan hasil. Yang nampaknya sudah agak berhasil ialah memadukan antara pendidikan madrasah dan dayah atau antara sekolah dan dayah, atau bahkan antara ketiganya seperti yang terlihat dalam pengembangan beberapa pesantren terpadu di Aceh. Nampaknya model yang mudah penyesuaian ini akan mudah dikembangkan sebagai satu model yang lebih sesuai bagi semua di masa yang akan datang.

Kutipan dari Tulisan Dr.H.Safwan Idris,MA tentang Pendidikan di Aceh