Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits Dha'if Dan Jenis-Jenisnya

Hadits Dha'if Dan Jenis-Jenisnya

A. Definisi hadits dha'if

Definisi hadits dha'if ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima. 

B. Jenis-jenis Hadits Dha'if

Jenis hadits dha'if sangat banyak yang tidak cukup disebutkan di sini. Saya berusaha meneliti sebab-sebab kedha'ifan. Ternyata, sebab-sebab itu bisa dikembalikan kepada satu di antara dua sebab pokok, yaitu:
  • Ketidakmuttashilan, dan
  • Selain ketidakmuttashilan sanad. Dengan demikian, untuk memudahkan kajian kami akan membagi hadits dha'if dikaitkan dengan dua sebab pokok itu. Pertama, hadits-hadits dha'if karena ketidakmuttashilan sanad, yaitu:

1). (حديث مرسل) Hadits Mursal

Hadits mursal yaitu:
Hadits yang dimarfu'kan oleh seorang tabi'iy kepada Rasul SAW., baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik tabi'i itu kecil atau besar.

Definisi seperti itulah yang digunakan oleh mayoritas ahli hadits, hanya saja mereka tidak memberikan batasan tabi'iy kecil atau besar. Ada sebagian ulama’ yang memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah yang dimarfu'kan oleh tabi'iy besar saja. 

Sebagian ahli hadits tidak menilai hadits yang dimursalkan oleh tabi'iy kecil sebagai hadits mursal, tetapi hadits munqathi'.  Ahli hadits berpendapat bahwa hadits yang diriwayatkan oleh sahabat sahabat kecil, seperti Ibn Abbas dan lain-lain yang tidak mereka dengar atau tidak mereka saksikan langsung dari Nabi SAW., tetapi mereka meriwayatkan dari sahabat lain dari Nabi SAW. termasuk mursal, bila mereka tidak menyebutkan perawi-perawi yang mereka ambil riwayat nya. Mereka menyebutnya sebagai Mursal Shahabiy). Ahli hadits menilai bahwa mursal shahabiy dihukumi maushul. Sebab kadang kadang, sebagian sahabat meriwayatkan dari sebagian yang lain. Dan seluruh mereka bersifat adil, sehingga kemajhulan mereka tidak membawa pengaruh negatif.

Hukum Mursal Tabi'iy

Ada sekitar sepuluh pendapat di kalangan ulama’ tentang hadits mursal ini. Namun demikian yang terpopuler ada tiga pendapat, yaitu:
  1. Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, menurut suatu pendapat juga Imam Ahmad dan sejumlah ulama’ lainnya.
  2. Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Ini diceritakan oleh Imam an-Nawawiy dari mayoritas ahli hadits, Imam asy-Syafi'iy dan sejumlah besar ahli fiqh dan ahli ushul. Imam Muslim mengatakan bahwa riwayat-riwayat mursal menurut sumber pendapat kami dan pendapat para ahli khabar tidaklah bisa dijadikan sebagai hujjah.
  3. Bisa dijadikan sabagai hujjah bila ada yang menguatkannya. Mis alnya dari jalur lain ia diriwayatkan secara musnad ataupun mursal, atau diamalkan oleh sebagian sahabat ataupun oleh mayoritas ahli ilmu. Masing-masing pendapat memiliki hujjah dan dalil tersendiri yang tidak ada tempatnya bila saya jelaskan di sini.
2) (حديث منقطع) Hadits Munqathi

Yaitu hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari segi gugurnya seorang perawi, ia sama denga hadits mursal. Hanya saja, kalau hadits mursal gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan sahabat, sementara dalam hadits munqathi’ tidak ada batasan seperti itu. Dengan demikian, hadits mursal masuk dalam salah satu bentuk hadits mun qathi’. Contoh yang dari sanadnya gugur seorang perawi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Al-Tsauriy dari Abu Ishaq dari Zaid ibn Yutsai’ dari Hudzaifah secara marfu’:

إن وليـمـوهـا أبا بكـر فـقـوي أمـين.

Jika kalian menguasakan kekhalifahan itu kepada Abu Bakar, maka ia seorang yang perkasa lagi dapat dipercaya.

Sanadnya mengandung kemunqathi'an pada dua tempat. Pertama, Ab durrazzaq tidak mendengarnya dari al- Tsauriy. Ia mende-ngarnya dari an-Nu'man ibn Abi Syaibah al-Jundiy dari al-Tsauriy. Kedua, al-Tsauriy tidak mendengarnya dari Abu Ishaq. Ia hanya meriwayatkannya dari Syuraik dari Abu Ishaq.

Sedang contoh yang mengandung perawi yang mubham adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu al-Ala’ ibn asy-Syakhir dari dua orang dari Syaddan ibn Aus dari Rasulullah SAW., beliau berdoa:

اللـهـم إني أسـألك الثبات في الأمر.

Ya Allah, aku memohon kepadamu (agar aku) tabah dalam menjalani segala persoalan.

Hadits mungathi’ jelas tertolak dan tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak diketahuinya perawi yang dihilangkan atau disamarkan.

3) (حديث معضل) Hadits Mu’dhal

Hadits mu'dhal yaitu hadits yang dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-turut. Sama dari segi keburukan kualitasnya, bila ke munqathi'annya lebih dari satu tempat.

Diriwayatkan dari sebagian ahli hadits perkataan para penulis figh:”Rasulullah SAW bersabda begini-begini,”termasuk mu'dhal. Karena di antara para penulis itu dengan Rasulllah SAW. terdapat dua perawi atau lebih. Padahal sebagian besar penulis fiqh ada pada masa-masa sesudah abad tabi'in.

4) Hadits Madlallas

Kata”tadlis”secara etimologis berasal dari akar kata”ad-Dalas”yang berarti”adz-Dzulmah”(kedzaliman). Tadlis dalam jual-beli berarti menyembunyikan aib barang dari pembelinya. Dari sinilah diambil pengertian tadlis dalam sanad. 

Tadlis terdiri dari dua jenis, yaitu Tadlis al-Isnad dan Tadlis asy-Syuyukh.

a). Tadlis al-Isnad yaitu seorang perawi (mengatakan) meriwayatkan sesuatu dari orang semasanya yang tidak pernah ia bertemu dengan orang itu, atau pernah bertemu tetapi yang diriwayatkannya itu tidak didengarnya dari orang tersebut, dengan cara yang menimbulkan dugaaan mendengar langsung. Misalnya dengan menyatakan:”Fulan berkata”,”Dari Fulan”,”Sesungguhnya Fulan melakukan begini begini”atau yang sejenis. Seandainya berkenaan dengan hadits yang tidak didengar langsung, seseorang berkata:”Telah meriwayatkan kepadaku”,”Saya men dengar”atau yang sejenis, maka hal itu berarti dusta. Karena ia menceritakan mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ia dengan langsung. Dan khabarnya jelas tertolak.

Masih ada jenis-jenis lain dari tadlis al-isnad ini. Yang paling buruk adalah seorang perawi menggugurkan gurunya atau guru dari gu runya ataupun yang lain alasan kedha'ifan atau karena masih kecil ataupun karena alasan lain. Kemudian ia menggunakan kata yang mengandung kemungkinan mendengar langsung dari gurunya untuk memperindah kualitas haditsnya. Yakni ia meratakan sanadnya, sehingga seakan-akan ia bertemu langsung dengan perawi-perawi tsiqat. Jenis inilah yang disebut Tadlis at-Taswiyah. Dan ini meru pakan jenis tadlis terburuk, karena mengandung pengelabuhan yang sangat. Dan tak syak lagi, bahwa mengada-adakan hal seperti jelas tidak diperbolehkan. Namun demikian, para kritikus telah mem perkenalkan perawi-perawi yang melakukan tadlis dan meningkat kan hasil-hasil pentadlisan mereka. Ulama’ telah mengecam Tadlis al-Isnad dan sangat tidak menyukai perawi-perawi yang melakukan tadlis. Syu'bah ibn al-Hajjaj ter masuk orang yang paling membenci hal itu. Sampai-sampai beliau mengatakan:”Sungguh seandainya aku berbuat zina, lebih aku sukai dari pada aku melakukan tadlis.”Suatu pernyataan yang menun jukkan betapa keji dan buruknya perbuatan melakukan tadlis. Mengenai hukum radlis ada tiga pendapat di kalangan ulama’:
  • Sebagian ulama’ mengatakan bahwa orang yang diketahui melakukan tadlis, maka ia menjadi majruh dan tertolak riwayat nya secara mutlak. Meksipun ia menjelaskan adanya sima’ dan meskipun tadlis yang dilakukannya diketahui hanya sekali saja.
  • Sebagian lagi mengatakan bahwa hadits mudallas bisa diterima, karena tadlis sama dengan irsal. Alasan inilah yang diikuti oleh sebagian besar mereka yang menerima hadits mudallas, ter masuk di dalamnya kaum Zaidiyyah.
  • Sebagian yang lain lagi mengatakan bahwa ditolak setiap hadits yang mengandung tadlis. Orang yang diketa hui melakukan tadlis meski hanya sekali pada riwayat yang menggunakan kata yang mengandung kemungkinan sima’ dan tidak tanpa menjelaskan sima’ secara langsung tidak bisa di terima. Sementara untuk hadits yang ia jelaskan dengan kata”Sami’ tu”,”Haddatsana”,”Akhbarana”atau yang sejenis bisa diterima dan bisa dijadikan sebagai hujjah selama memenuhi syarat-syarat diterima.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama’ termasuk Imam asy-Syafi'iy. Adapun bila pelaku tadlis menggugurkan seorang perawi dha'if dari sanad karena kesengajaannya berbuat dusta, padahal ia mengetahui kedha'ifah dan kesengajaan perawi itu dalam ber buat dusta, maka tak syak lagi jarhnya. Karena ia menyem bunyikan terhadap orang-orang urusan agama mereka dan mengelabuhui mereka akan keshahihan sesuatu yang telah diketahuinya sebagai dusta.

b). Tadlis asy-Syuyukh. Jenis ini lebih ringan daripada tadlis al-isnad. Perawi hanya menyebut gurunya, memberi kun-yah atau memberikan nisbat ataupun mem berikan sifat yang tidak lazim dikenal. Misalnya pernyataan Abu Bakar ibn Mujahid al-Muqri’ bahwa telah meriwayatkan kepada kami Abdullah ibn Abi Abdillah. Yang di maksudkannya adalah Abdullah ibn Abi Daud as-Sijistani, pemilik as-Sunan. Abu Daud terkenal dengan nama kun-yah seperti itu, bukan dengan Abu Abdillah. Disejajarkan dengan jenis ini adalah”Tadlis al-Bilad”. Mi-salnya seorang Mishriy mengatakan bahwa telah meriwayatkan kepadaku Fulan di Lorong Halb, yang ia maksudkan adalah suatu tempat di Kairo. Atau seorang Baghdadiy me-ngatakan nahwa telah meri wayatkan kepadaku Fulan di Balik Sungai, yang ia maksudkan adalah Sungai Dajlah.

Hukum melakukan tadlis asy-syuyukh adalah makruh menurut ulama’ hadits, karena mengandung kerumitan bagi pendengar untuk mengecek sanadnya atau untuk mengecek guru-gurunya. Ini jelas mengakibatkan penyai-nyiaan atas diri orang yang diambil riwayat nya, di samping atas diri yang diriwayatka. Sebab ketika ia menyebut gurunya dengan se-butan yang tidak biasa dikenal, maka men gakibatkan statusnya majhul. Kadang-kadang sewaktu melakukan pengecekan, pendengar tidak mengenalnya, sehingga statusnya ma jhul yang berakibat riwayatnya tidak diperhitungkan. Kemakruhan itu berbeda-beda, tergantung faktor yang mendorong seseorang melakukannya.

Yang paling buruk adalah yang di karenakan kedha'ifan syeikhnya. Ia melakukan tadlis sehingga ri wayatnya tidak tampak berasal dari perawi-perawi dha'if. Ini jelas tidak diperbolehkan secara mutlak, karena mengandung penipuan dan pengelabuhan. Kadang-kadang dikarenakan gurunya lebih akhir meninggalnya, di maka ada beberapa perawi lain yang lebih rendah darinya mendengar riwayat dari guru itu, gurunya lebih muda usianya, hadits yang diriwayatkannya dari gurunya itu banyak sehingga ia tidak ingin menyebutkan hadits secara langsung dari guru itu, atau sebab-sebab lain. Tadlis al-Bilad juga makruh, karena ada penyembunyian perjalanan ilmiah dalam rangka menuntut hadits. Hanya saja, jika ada alasan yang mengindikasikan tidak adanya tujuan itu, maka tidak ada kemakruhan.

5) (مدیث معلل) Hadits Mu'allal.

Yaitu hadits yang tersingkap didalamnya’ illah qadihah, meski la hiriahnya tampak terbebas darinya. Dalam sub bab Ilmu Ilal al-Hadits, saya telah menjelaskan bahwa’ illatnya kadang-kadang pada sanad, kadang-kadang pada matan dan kadang-kadang pada sanad dan matan sekaligus. Saya memasukkan jenis mu'allal di sini karena umumnya’ illat ada pada sanad, seperti halnya irsal, ingitha’, al-waqt dan sejenis nya. Semua itu mempengaruhi kemuttashilan sanad dan menjadikan hadits tergolong dha'if.

Kedua, hadits-hadits dha'if karena sebab selain ketidakmuttashilan sanad. Ada enam jenis yang termasuk dalam kategori ini, yaitu:

Hadits Maulhaf Yaitu hadits yang tidak disepakati kedha'ifannya. Sebagian ahli hadits menilainya mengandung kedha'ifan, baik di dalam sanad atau dalam matannya, dan sebagian lain menilainya kuat. Akan tetapi penilaian dha'if itu lebih kuat, bukannya lebih lemah. Atau tidak ada yang lebih kuat antara penilaian dha'if dan penilaian kuat. Karena tidak ada istilah mudha’ af untuk hadits yang penilaian kuatnya lebih kuat. Dengan demikian hadits mudha'af dianggap sebagai hadits dha'if yang paling tinggi tingkatannya. Ibn al-Jauziy merupakan orang yang pertama kali melakukan pemilahan terhadap jenis ini.

Hadits Madhutharib, Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagiannya atas se bagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih. Adapun bila salah satunya bisa ditarjihkan dengan salah satu alasan tarjih, misalnya perawinya lebih hafidz atau lebih sering bergaul dengan perawi sebelumnya (gurunya), maka penilaian diberikan kepada yang rajih itu. Dan dalam kondisi seperti ini tidak lagi digunakan istilah mudhtharib, baik untuk yang rajih maupun yang marjuh.

Kadang-kadang kemudhthariban terjadi pada satu perawi, seperti pada beberapa perawi. Kadang-kadang ia terjadi pada sanad, seperti halnya pada matan.

Bahkan kadang-kadang pada keduanya seka ligus. Kemudhthariban mengakibatkan kedha'ifan suatu hadits, karena menunjukkan ketidakdhabitan. Padahal kedhabitan adalah syarat keshahihan dan kehasanan, kecuali dalam satu keadaan. Yaitu bila terjadi ikhtilaf mengenai nama seorang perawi atau nama ayahnya, ataupun nama nisbatnya. Dan perawi yang diikhtilafkan namanya itu berkualitas tsiqat. Sehingga haditsnya tetap dihukumi shahih ataupun hasan, sesuai dengan pemenuhannya terhadap syarat-syarat masing-masing. Dan kemudhthariban seperti itu tidak berpengaruh, meski tetap disebut hadits mudhtharib. Syeikhul Islam Ibn Hajar telah menyusun sebuah kitab yang berjudul”Al-Muqtarib Fi Bayan al-Mudhtharib”, yang beliau sadur dari Kitab Al-' Ilal karya ad-Daruquthniy,

Hadits Maqlub, yaitu suatu hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau suatu sanad untuk matan lainnya. Contoh pemubarbalikan pada matan adalah hadits Abu Hurairah yang terdapat di dalam Shahih Muslim, yaitu:

سبعة يظلهم الله يوم لا ظل إلا ظله.

Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari tiade naungan kecuali naungan-Nya. Di dalam lanjutan hadits itu terdapat:

رجل تصدق بصدقة أخفاها حتى لا تعلم يمينه ما تنفق شماله

Dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah, lalu ia menyembunyikannya, sampai tangan kanannya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh tangan kirinya. Redaksi inilah yang disusun secara terbalik oleh salah seorang perawi. Karena seharusnya redaksinya adalah:

حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه.

Sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh tangan kanannya, Sebagaimana yang bisa kita lihat di dalam Shahih Bukhari, Mu waththa’ Malik dan yang lainnya. Kadang-kadang keterbalikan itu terjadi pada sanad, yaitu ter baliknya nana seorang perawi. Misalnya Murrah ibn Ka'b dan Ka'b ibn Murrah.

Karena nama masing-masing merupakan nama ayah bagi lainnya. Kadang-kadang suatu hadits diriwayatkan melalui jalur perawi yang telah dikenal atau dengan sanad yang telah populer. Lalu tertukar dengan perawi (lain) pada tingkatannya atau dengan sanad (lain) yang bukan sanadnya, karena tidak sengaja. Kadang-kadang seorang perawi sengaja membalikkan dengan tujuan menunjukkan yang aneh dengan harapan orang-orang akan lebih tertarik meriwayatkan darinya. Ini jelas tidak boleh menurut kesepakatan ahli hadits.

Sama halnya ketika sebagian pemalsu hadits membalikkan sebagian hadits, dengan cara mengganti seorang perawi yang masyhur dengan perawi lain yang masih dalam tingkatan yang sama, atau menemukan sanad yang kuat dengan matan yang lemah. Sebagian ulama’ menyebut hal ini dengan sebutan”Al-Murakkab”. Semua yang memiliki unsur kesengajaan dari jenis ini tidak diperbolehkan secara mutlak. Kadang-kadang sebagian ulama’ sengaja membalikkan beberapa hadits dengan tujuan mengetes (orang lain), seperti yang mereka lakukan terhadap Imam Bukhari di Baghdad. Yang akhirnya mereka dapat mengetahui posisi dan kualitasnya.

Sebab tidak ada yang mengetahui hadits maqlub kecuali yang memiliki ilmu luas, hafalan yang kuat dan pemahaman yang mendalam. Jenis seperti ini diperbolehkan, dengan syarat untuk tujuan menguji.

Namun sebagian ulama, melarang murid-murid mereka membalikkan hadits di hadapan para guru. Oleh karena itu, mun culnya kedha'ifan hadits maqlub adalah rendahnya daya hafal perawinya. Kami bependapat bahwa keterbalikan nama perawi tsiqat karena lupa tidak mengeluarkan hadits dari kategori shahih ataupun hasan (suatu hadits yang semula berkualitas shahih ataupun hasan), di analogikan dengan apa yang ada pada hadits. Dalam hal ini, Imam az-Zarkasyiy mengatakan bahwa kadang-kadang hadits maqlub, hadits syadz dan hadits mudhtharib masuk dalam kategori hadits shahih ataupun hasan.

(حدیث شاذ) Hadits Syadz, Yang mula-mula memperkenalkan jenis ini adalah Imam asy-Syafi'iy. Yang dimaksud hadits syadz adalah bila di antara sekian perawi tsiqat ada di antara mereka yang menyimpang dari lainnya. 

Oleh karena kriteria syadz adalah tafarrud (kesendirian perawinya) dan mukhalafah (penyimpangan). Seandainya ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat karena kelebihan kualitas hafalan atau banyaknya jumlah perawi atau karena kriteria terjih lainnya, maka yang rajih disebut mahfudz”, sedang yang marjuk disebut syadz.

Di antara contoh syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidziy dari hadits Abdul Wahid ibn Ziyad dari al-A'masy dari Abu Shaleh dari Abu Hurairah secara marfu’:

إذا صلى أحـدكم ركعتي الفـجـر فـليـضـطـجـع عن يـمينه

Jika salah seorang di antara kamu telah melakukan salat dua rakaat fajar maka hendaklah ia berbaring pada lambung kanannya.

Al-Baihaqiy mengatakan bahwa Abdul Wahid berbeda dengan sejumlah perawi (lain) dalam hal ini. Orang-orang meriwyatkannya dari perbuatan Nabi SAW., bukan sabdanya. Abdul Wahid juga melakukan penyendirian di antara sekian murid Al-A'masy mengenai redaksinya.

(حديث منكر Hadits Mankar. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha'if yang berbeda dengan perawi-perawi (lain) yang tsiqat. 

Sedang yang marjuh itulah yang disebut munkar”. Dengan demikian, hadits syadz dan munkar sama-sama memiliki kriteria mukhalafah. Bedanya, pada hadits syadz, perawinya tsiqat atau shaduq, sementara pada hadits munkar, perawinya dha'if.

(مدیث متروك ومطروح) Hadits Matrak dan Mathruh. Hadits matruk yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang”muttaham bi al-kidzbi”(yang tertuduh melakukan dusta) dalam hadits nabawiy, atau sering berdusta dalam pembicaraannya, atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan maupun kata-katanya ataupun yang sering sekali salah dan lupa.

Misalnya hadits-hadits Amr ibn Syamr dari Jabir al- Ja'fiy. Yang jelas, bahwa hadits matruk merupakan tingkat hadits dha'if terendah.

Hadits Mathruh Al-Hafidz adz-Dzahabiy menjadikannya sebagai jenis tersendiri. Beliau mengambil istilah itu dari terma ulama’”Fulan Mathruh al-Hadits”(Seseorang yang terlempar haditsnya). Beliau me ngatakan la masuk dalam daftar hadits-hadits perawi dha'if lagi tertinggal haditsnya.

Sementara itu Syeikh Thahir al-Jaza'iriy berpendapat bahwa ia tidak lain adalah hadits matruk, yakni yang diriwyatkan secara menyendiri oleh perawi yang tertuduh berdusta dalam hadits, termasuk orang yang dikenal sering berbuat dusta dalam selain hadits. Beliau men gatakan bahwa dengan demikian ia termasuk jenis yang memiliki dua nama sekaligus.

Tampaknya kami sangat sependapat dengan pendapat ini. Yakni antara hadits matruk dan mathruh tidak ada perbedaan yang perlu ditonjolkan, baik secara etimologis maupun terminologis.

C. Tingkat-tingkat Hadits Dha'if dan 
pembagian hadits dhaif dan contohnya

Ketika memaparkan jenis-jenis hadits dha'if, kita bisa melihat bahwa ada hadits dha'if yang sangat dha'if, seperti hadits matruk dan mathruh dan ada yang lebih tinggi tingkatannya dari keduanya. Memang benar, tingkat kedha'ifan jenis-jenis hadits dha'if itu bertingkat sesuai dengan kadar kedha'ifan perawinya. Ada yang lemah dari yang lain, seperti halnya, yang shahih jenis-jenisnya bertingkat-tingkat. Di samping berbicara tentang Ashahhul Asanid, ulama’ juga berbicara tentang Adh'aful Asanid. 

macam-macam hadits dhaif pdf

D. Peningkatan Kualitas Hadits Dha'if Karena Jumlah Sanadnya

Sebab-sebab kedha'ifan perawi kembali kepada dua sebab pokok. Per tama, kedha'ifan karena cacatnya kualitas pribadi (' adalah) perawi, seperti berdusta atau tertuduh berdusta pada Rasul SAW., berdusta dalam menceri takan perkataan-perkataan orang lain, kefasikan, tidak diketahuinya status perawi, berbuat bid'ah yang menjatuhkannya pada kekafiran dan lain-lain. Setiap hadits yang kedha'ifannya dikarenakan salah satu sebab di atas, maka banyaknya sanad tidak akan mempengaruhinya dan tidak bisa me ngangkatnya dari derajat dha'if, karena sangat buruknya sebab-sebab itu.

contoh hadits dhaif dan sebab kedhaifannya

Adanya sanad lain tidak bisa mengangkat derajat kedha'ifannya. Namun menjadi mastur sayyi’ ul hifdzi, seperti dijelaskan oleh Ibn Hajar kadang-kadang, suatu hadits munkar karena banyaknya jalurnya meningkat Kedua, kedha'ifan karena cacatnya kapasitas intelektual, yaitu kelupaan, sering salah, buruk hafalan, kerancuan hafalan dan kekeliruan. Misalnya me maushulkan yang mursal ataupun yang munqathi’.

Semua hadits yang kedha'ifannya disebabkan tidak adanya kedhabitan perawinya yang sifat adalahnya tidak cacat-maka banyaknya jalur bisa meningkatkan kualitasnya. Kedha'ifannya bisa tersulam dengan adanya jalur lain. Karena jalur lain itu kita bisa mengetahui bahwa hafalan perawi yang pertama tidak cacat hafalannya. Dengan demikian, derajatnya naik menjadi Hasan Li Ghairihi.

contoh hadits dhaif dan macam-macam hadits dhaif pdf

Contohnya adalah yang diriwayatkan oleh Tirmidziy bahwa seorang wanita Bani Fazarah dinikahkan dengan mahar dua terompah. Lalu Rasulullah SAW. bertanya:”Relakah kamu bahwa diri dan hartamu ditukar dengan sepasang terompah ?’ la menjawab:”Ya.”Lalu Nabi SAW. meluluskannya. Tirmidziy berkata bahwa mengenai bab ini ada juga hadits dari Umar, Abu Hurairah, A'isyah dan Abu Hadrad. As Suyuthiy me-ngatakan bahwa Ashim berstatus dha'if karena keburukan hafalannya. At-Tirmidziy menilai hasan karena ada jalur-jalur lain.

Demikian pula, bila kedha'ifan suatu hadits dikarenakan irsal atau tadlis atau kemajhulan sebagian perawinya, bisa hilang kedha'ifannya karena ada jalur lain. Sehingga ia menjadi hasan li ghairihi karena ada penguat.

Dari sini jelaslah bahwa adanya jalur lain dari suatu hadits yang kedha'ifannya karena cacatnya hafalan perawinya, dapat meningkat kualitas nya. Sementara yang kedha'ifannya karena kefasikan dan sebagainya, adanya jalur lain tidak dapat meningkatkan kualitasnya. An-Nawawiy mengatakan bahwa hadits dha'if, tatkala jalurnya berbi lang bisa meningkat kepada derajat hasan, sehingga bisa diterima dan diamalkan.

Penggunaan hujjah adalah dengan gabungan dari jalur-jalurnya. Misalnya mursal yang dikuatkan dengan mursal lain, meskipun statusnya dha'if, seperti yang dikatakan oleh Asy-Syafi'iy dan mayoritas ulama’ lain.

E. Hukum Mengamalkan Hadits Dha'if

Ada tiga pendapat di kalangan ulama’ mengenai penggunaan hadits dha'if:
  1. Hadits dha'if tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadha'il maupun ahkam. Ini diceritakan oleh Ibn Sayyidinnas dari Yahya ibn Ma'in. 
  2. Hadits dha'if bisa diamalkan secara mutlak. 
  3. Hadits dha'if bisa digunakan dalam masalah fadha'il, mawa'idz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat. Ibn Hajar menyebutkan syarat-syarat itu sebagai berikut: a. Kedha'ifannya tidak terlalu. Sehingga tidak tercakup didalamnya seorang pendusta atau yang tertuduh berdusta yang melakukan penyendirian, juga orang yang terlalu sering melakukan kesalahan.. Al-Ala'iy meriwayatkan kesepakatan ulama’ mengenai syarat ini. Hadits dha'if itu masuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan. Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekadar berhati-hati.
Pendapat Penulis Mengenai Masalah ini: Tak syak lagi, bahwa pendapat pertamalah yang paling selamat. Kita memiliki hadits-hadits shahih tentang fadha'il, targhib dan tarhib yang merupakan sabda Nabi SAW. yang sangat padat dalam jumlah besar. Hal itu cukup menjadikan kita tidak perlu meriwayatkan hadits-hadits dha'if mengenai masalah fadha'il dan sejenisnya. Lebih-lebih fadha'il dan makarim al-akhlaq termasuk pilar agama. 

F. Bagaimana Meriwayatkan Hadits Dha'if

Ulama’ hadits mengingatkan agar orang yang meriwayatkan hadits dha'if tanpa sanad tidak meriwayatkannya dengan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh bahwa ia merupakan hadits. Sehingga ia tidak diperkenankan mengatakan:”Rasulullah SAW. menyabdakan begini-begini,”dan sejenisnya. Bahkan ia harus meriwayatkannya dengan redaksi yang menun jukkan keraguan akan keshahihannya. Misalnya”ruwiya”,”ja'a”,”nuqila”,”fi ma yurwa”dan sejenisnya. Dan kata-kata itu justru makruh digunakan dalam meriwayatkan hadits-hadits shahih. Sehingga dalam meriwayatkan hadits hadits shahih, seorang harus menggunakan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh akan kualitasnya.


Referensi dari Buku Ushulul Hadits oleh Muhammad Ájjaj Al-Khathib