Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menikah Dapat Menghilangkan Penyimpangan Dalam Kehidupan

Menikah Dapat Menghilangkan Penyimpangan Dalam Kehidupan

Tiga orang pembesar berkunjung ke rumah istri-istri Nabi dengan maksud menanyakan perihal ibadah yang dilakukan oleh beliau. Tatkala diterangkan perihal ibadah beliau, mereka seakan-akan mengagungkannya seraya berkata,”Bagaimana dengan kita jika dibandingkan dengan Rasulallah, sedangkan Allah telah mengampuni segala dosanya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang !”Salah seorang di antara mereka pun berkata,”Jika demikian halnya, maka aku akan senantiasa mengerjakan shalat malam.”Berkata pula yang lain,”Aku akan berpuasa selama satu tahun, tanpa berbuka.”Kemudian yang lain juga berkata,”Aku akan menjauhi wanita dan selamanya tidak akan menikah.”

Baca juga: Perhiasan Terindah Adalah Wanita Shalihah

Mendengar ungkapan mereka itu, maka Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam pun mendatangi mereka seraya bersabda:

أنتم الذين قلتم كذا وكذا أما والله إني لأخشاكم للـه وأتقاكم له لكني أصوم وأفطر وأصلي وأرقد وأتزوج النسـاء فـمـن رغـب عـن سنتي فليس مني.

”Kaliankah yang mengatakan ini dan itu ! Demi Allah, sungguh aku adalah hamba yang sangat takut dan sangat bertakwa kepada Allah jika dibandingkan dengan kalian. Akan tetapi manakala berpuasa, aku berbuka. Setelah dari melaksanakan shalat, aku pun pergi tidur. Di samping itu, aku pun mempunyai istri (menikah). Maka barangsiapa yang membenci (tidak mengikuti) Sunnahku, sesungguhnya ia bukan termasuk golonganku.”(HR. Bukhari)

Dari sesuatu yang dikhawatirkan itu, kesemuanya merupakan nasihat dari Al Qur'an dan Hadits tentang imbauan untuk segera berumah tangga. Seperti kita ketahui, bahwa ada kalangan ahli sufi yang tidak memperdulikan bahkan mereka mengajak manusia untuk meninggalkan perkawinan. Imbauan ini merupakan kebodohan atau anjuran yang membinasakan kaum muslimin dan mencampakkan mereka ke perbuatan keji. Imam Ibnu Jauzi membantah pendapat mereka dan menjelaskan tentang kesesatan mereka di dalam kitabnya yang berjudul”Talbis Iblis”.

Ketahuilah, pemuda-pemuda dari kaum sufi yang tidak melakukan pernikahan, mereka terbagi menjadi tiga kelompok:

Pertama, menderita sakit akibat tertahannya sperma. Sebab apabila sperma seseorang terlalu banyak, maka akan mengalir ke otak. Abu Bakar bin Zakaria Ar-Razi berkata,”Aku pernah melihat sekolompok kaum yang mana mereka mempunyai jumlah sperma yang banyak sekali. Pada saat mereka menahan diri dengan tidak (sama sekali) berhubungan intim, maka tubuh mereka menjadi dingin, gerakan tubuh mereka menjadi sulit dan mereka mengalami kesedihan tanpa sebab.”Abu Bakar pun berkata kembali,”Aku pernah melihat seorang laki-laki menjauhi hubungan seks dan berakibat nafsu makan menjadi hilang. Sekalipun ia mencoba sedikit untuk makan, akan tetapi tidak dapat menyembuhkan dan menguatkan. Setelah ia kembali melakukan hubungan seks, maka gejala tersebut menjadi hilang seketika.”

Kedua, mengerjakan hal-hal yang dilarang. Sebab pada saat mereka bertahan untuk tidak melakukan hubungan intim, sel sperma yang terdapat pada tubuh mereka menjadi berkumpul. Akibatnya, timbul perasaan gelisah yang menyelimuti jiwanya. Karena kegelisahan itulah mereka berlari (melampiaskan) kepada sesuatu yang mereka tinggalkan, sehingga mereka melupakan dan tenggelam ke dalam hawa nafsu duniawi secara berlebihan.

Ketiga, senang kepada anak di bawah umur dan melakukan praktik hubungan seks menyimpang.

Kebodohan telah mengarahkan suatu kaum ke jalan yang tidak pantas-seperti memotong alat kelamin-dengan keyakinan, bahwa perbuatan itu merupakan ungkapan rasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, padahal semua itu adalah kebodohan yang tak ternilai. Sebab, sesungguhnya dengan”alat”tersebut Allah memuliakan kaum laki-laki terhadap perempuan sebagai”sebab”adanya keturunan. Kaum tersebut berpendapat,”Kebenaran bukanlah seperti itu.”Kemudian mereka memotong alat kelamin mereka sendiri untuk menghilangkan keinginan melaksanakan pernikahan. Adapun maksud tersebut tidak akan pernah berhasil.

Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam pernah menyatukan antara Salman dengan Abu Darda. Suatu hari Salman mengunjungi Abu Darda, yang pada saat itu Ummu Darda sedang berpakaian kusut. Maka Salman bertanya,”Ada apa gerangan wahai Ummu Darda ?”Ummu Darda menjawab,”Saudaraku Abu Darda, jikalau malam ia shalat, siang ia berpuasa, sepertinya ia tidak membutuhkan sesuatu dari dunia ini ! Abu Darda pun datang menyambut Salman lalu menyuguhkan makanan kepadanya. Maka Salman pun berkata kepada Abu Darda,”Makanlah !”Abu Darda menjawab,”Aku sedang berpuasa. Salman berkata,”Aku berikan kepadamu agar kamu berbuka, dan aku tidak akan makan sehingga kamu ikut makan besertaku.”Maka, Abu Darda pun makan bersama Salman. Kemudian Salman menginap di rumahnya. Pada saat malam tiba, Abu Darda bermaksud untuk melakukan shalat malam. Salman mencegahnya seraya berkata,”Wahai Abu Darda, sesungguhnya badan kamu mempunyai hak terhadap dirimu. Begitu pula dengan keluargamu yang mempunyai hak atas dirimu. Silakan engkau melaksanakan puasa, akan tetapi berbukalah. Silakan mengerjakan shalat, akan tetapi datangilah pula keluargamu (istrimu) ! Berikan semua yang mempunyai hak akan hak-haknya !”Ketika waktu Subuh hampir tiba, Salman berkata,”Jika engkau mau, maka bangunlah sekarang !”Abu Darda pun beranjak bangun dan kemudian mereka berdua mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat. Tak lama kemudian, Abu Darda mengadu kepada Rasulullah atas semua yang dilakukan oleh Salman kepadanya. Rasul pun berkata kepada Abu Darda,”Wahai Abu Darda, sesungguhnya badan kamu mempunyai hak atas dirimu-sama seperti perkataan Salman.”Dalam riwayat lain disebutkan,”Salman benar.”(HR. Bukhari dan Tirmidzi).

Sesungguhnya Islam adalah agama yang dinamis (kehidupan). Ia tidak berhenti pada keinginan dan tabiat saja, akan tetapi selalu memberikan motivasi dan membuka ruang untuk berkembang. Hal itu tidaklah mengherankan, sebab sesungguhnya semua itu merupakan irama dari keberadaan manusia dan akan menjadi suatu kebodohan kalau memeranginya. Yang benar adalah membimbing dan mengarahkan tabiat, itulah suatu keberuntungan. Islam memberikan jalan agar umatnya selalu merasa senang dan eksis dalam membina kehidupan yang berbahagia.

Manakala Islam mengharamkan perbuatan zina dan minuman keras, maksudnya tidak lain adalah agar umatnya selalu sehat dan kuat, sehingga waktu yang sangat bernilai bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih berguna. Bukan seperti anggapan sebagian orang yang tidak tahu, yaitu dengan menyatakan bahwa hal itu dimaksudkan untuk membatasi kesenangan manusia.

Telah sama-sama kita ketahui, bagaimana Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam tidak sependapat dengan tiga sahabat tadi ketika mereka mengekspresikan diri dalam beribadah dengan cara memerangi tabiat kemanusiaan mereka dan mengubah apa yang bukan selayaknya, dengan persepsi pendekatan diri kepada Allah. Dengan demikian, beliau memberitahukan kepada kita, bahwa apa yang telah mereka lakukan itu justru bisa menjauhkan mereka dari Islam dan fitrah kemanusiaan di mana mereka menyibukkan diri dengan memerangi keinginan jiwa. Oleh karena itu, membujang tidak akan selamanya terhindar dari dosa dan hanya sebagian kecil yang dapat selamat darinya (dosa).

Ibnu Abbas berkata,”Menikahlah kalian ! Karena, satu hari bersama istri lebih baik daripada ibadah seperti ini (maksudnya adalah shalat) selama satu tahun.”Ibnu Mas'ud berkata, dalam keadaan tertusuk pedang ketika perang sedang berkecamuk,”Nikahkanlah aku, sebab aku tidak senang jika bertemu Allah dalam keadaan membujang !”Diriwayatkan pula, bahwasanya Imam Ahmad bin Hambal menikah pada hari kedua dari hari wafatnya (mantan) istri beliau. Imam Ahmad berkata,”Aku tidak senang membujang.”

Kutipan dari Buku Tahfatul A'rus yang ditulis oleh Mahmud Mahdi Al-Istanbuli