Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6 dan 7

Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6 dan 7

Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan tentang tafsir Surat Al-Fatihah mulai dari ayat pertama sampai dengan ayat yang ke lima. pada tulisan ini akan penulis jelaskan tentang tafsir dari surat Al-fatihah ayat yang ke 6 dan ayat yang 7. penjelasannya adalah sebagai berikut:


اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
(Tunjukilah kami jalan yang lurus).

Berilah hidayah (taufik) kepada kami, agar kami menempuh jalan yang lurus. Hidayah adalah petunjuk yang membawa kita kepada yang diinginkan. Adapun makna jalan yang lurus adalah jalan yang tidak membelokkan kita dari tujuan. Ada beberapa macam hidayah (petunjuk) yang diberikan Tuhan:

Ilham. Hidayah ini diberikan kepada anak kecil, sejak dilahirkan. Dengan hidayah ini si bayi merasa memerlukan makanan, lalu menangis untuk memperolehnya.
Panca indera Hidayah ini diperoleh manusia dan hewan sebagai hidayah pertama. Bahkan hewan memperolehnya lebih sempurna dibanding manusia. Begitu lahir, hewan segera mendapatkan hidayat ilham dan pancaindera (hawas) sekaligus. Sedangkan manusia memperolehnya dengan berangsur-angsur.

Akal. Hidayah ini lebih tinggi daripada pancaindera dan ilham. Manusia dijadikan oleh Allah untuk hidup bermasyarakat. Pancaindera dan ilham yang diberikan kepadanya tidak cukup untuk hidup bermasyarakat. Oleh karenanya dia perlu diberi akal yang akan meluruskan dan mengoreksi kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh pancaindera. Misalnya, sepotong kayu bulat dan lurus yang berada di dalam air, dari luar terlihat seperti bengkok. Makanan sedap, bagi orang sakit terasa pahit.

Agama dan Syariat. Hidayah ini sangat diperlukan oleh setiap orang. Dengan hidayah agama, batas-batas yang tidak boleh dilanggar dan peraturan yang harus ditaati menjadi jelas, sehingga manusia tidak melanggar batas-batas yang ditentukan. Selain itu, dalam tabiat kejadian manusia ada suatu perasaan, yaitu perasaan adanya kekuatan gaib yang menguasai alam semesta. Kepada kekuatan itulah dia menyandarkan segala apa yang tidak dia ketahui sebabnya. Dia pun merasakan bahwa sesudah hidup di dunia ini ada kehidupan kedua. Akan tetapi manusia tidak bisa mengetahui dengan akalnya, apa yang wajib bagi yang mempunyai kekuatan yang mutlak itu. Lagi pula, manusia tidak dapat berpegang kepada pikirannya untuk mengetahui apa yang menjadi dasar keba-hagiaan dalam hidup kedua itu. 

Oleh karenanya, manusia sangat memerlukan hidayah agama yang dianugerahkan dan dilimpahkan oleh Allah kepadanya. Hidayah inilah yang ditunjukkan oleh al-Qur'an dalam beberapa ayatnya.
Ada lagi suatu hidayah, yaitu menolong dan memberi bimbingan (taufiq) untuk menempuh jalan kebajikan. Inilah hidayah, di mana kita diperintahkan memohon kepada-Nya dengan ihdinash shiraathal mustaqiim.

Ihdinaa, berilah hidayah kepada kami, tunjukilah kami dengan petunjuk yang disertai pertolongan gaib yang menghindarkan kami dari terjerumus ke dalam jurang kesalahan dan kesesatan.


Hidayah yang terakhir ini hanya berada di tangan Allah, tidak ada pada siapa pun, juga tidak ada pada Nabi. "

Sedangkan hidayah yang ada pada Nabi dan pada kita adalah hidayah yang diberikan kepada masyarakat dalam bentuk menunjuki jalan yang baik dan benar, serta menjelaskan apa yang bakal diperoleh dengan menjalani petunjuk itu. Misalnya akan memperoleh kemenangan, keberuntungan, kebebasan dan sebagainya. "


Allah mengisyaratkan permohonan hidayah kepada-Nya harus dilakukan, setelah kita berupaya keras mengetahui dan melaksanakan ketentuan ketentuan syariat, agar hidayah yang kita mohon menjadi penolong dan penuntut dalam menghadapi godaan demi memperoleh kebajikan dunia dan kebahagiaan akhirat.

الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ adalah jalan yang lurus adalah sekumpulan pekerjaan (amal) yang mengantarkan kita kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, yang terdiri dari berbagai masalah tentang akidah, syariat, dan etika. Kumpulan pekerjaan itu antara lain meyakini adanya Allah, mengakui kenabian Muhammad dan keadaan-keadaan alam dan masyarakat. Dinamai jalan lurus, karena jalan inilah yang akan mengantarkan kita ke tempat yang dituju seperti yang dikehendaki oleh semua orang. Inilah jalan yang dapat dirasakan dan dipahami maknanya.


صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
(yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau limpahi nikmat).

Jalan para mukmin, para nabi, para shiddiqin, syuhada, dan shalihin dari umat-umat terdahulu. Dalam ayat ini Tuhan meringkas apa yang dijelaskan secara panjang lebar dalam ayat-ayat lain. Di sini dilukiskan orang-orang yang telah diberi nikmat, supaya kita mengambil pelajaran dengan memperhatikan permasalahan mereka.


Ayat ini juga memberi pesan kepada kita agar mempelajari sejarah umat terdahulu dengan seluas-luasnya dan memahami rahasia-rahasia kemajuan dan sebab-sebab kejatuhan mereka untuk meneladani mana yang baik dan menjauhi mana yang buruk.

Tuhan memerintah kita untuk mengikuti jalan orang-orang terdahulu karena agama Allah adalah satu. Pokok agama adalah beriman kepada Allah, Rasul Nya, hari akhir, berakhlak mulia, mengerjakan kebajikan, dan menjauhi kejahatan (kemaksiatan). Di luar itu ada cabang-cabangnya, termasuk hukum (fiqh) yang bisa berubah-ubah menurut perubahan zaman dan tempat.


غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
(Bukan jalannya orang orang yang dimurkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat).

Berilah kami petunjuk menuju jalan orang-orang yang Engkau ridhai, yang selamat dari kesesatan dan kemurkaan-Mu. Jelasnya, janganlah Engkau memberikan kepada kami jalan-jalan yang ditempuh oleh para pendusta dan jahil.

المَغضُوبِ عَلَيهِمْ orang-orang yang dimurkai, yakni mereka yang diberi penjelasan tentang agama yang benar, yang disyariatkan oleh Allah, tetapi menolak dan membelakanginya. Mereka tidak mau memperhatikan dalil-dalil yang dikemukakan karena tetap mengikuti (menaklidi) warisan (agama) nenek moyangnya. Mereka ini kelak akan menghadapi akibat yang sangat buruk, dan dimasukkan ke dalam neraka.

الضَّالِّينَ (orang-orang yang sesat), yaitu mereka yang tidak mengetahui kebenaran atau belum mengetahuinya secara benar. Hal ini terjadi karena risalah atau seruan beragama belum sampai kepada mereka atau sudah sampai, tetapi samar-samar.


Mereka menjadi sesat karena belum memperoleh petunjuk untuk mencapai tujuan. Golongan ini, jika tidak sesat dalam urusan-urusan keduniaan, mereka sesat dalam urusan-urusan keakhiratan. Orang-orang yang belum menerima seruan atau dakwah agama, kehidupannya dalam semua aspek akan kacau-balau.

Menurut pendapat jumhur ulama, orang-orang yang belum menerima dakwah agama belum terbebani kewajiban menjalankan syariat. Akan tetapi ada pula ulama yang berpendapat bahwa mereka tetap terbebani kewajiban menjalankan syariat (taklif). Karena itu, mereka yang tidak menjalaninya akan dikenai azab, sebab akalnya cukup untuk menjadi dasar bagi kewajiban terbebaninya syariat.


Dengan mempergunakan akal, manusia wajib memperhatikan jagad raya dan bumi: bagaimana asal kejadiannya, siapa penciptanya, dan apa yang wajib dilakukan kepada Penciptanya, walaupun hanya sebatas kemampuan akal dan ijtihad (usaha) -nya. Jika manusia mau menggunakan akal untuk mengetahui hal hal tersebut, dia akan terbebas dari azab neraka. Jika tidak, pasti akan menerima azabnya.

Demikianlah Faatihatul Kitab, yang dasar asasinya menghimpun segala hukum yang paling pokok, dan segala makna serta penjelasan al-Qur'an kembali kepadanya.

KESIMPULAN:

Dalam ayat-ayat ini Allah memberi tahu manusia bahwa mereka harus mengenal Tuhan dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya berperilaku mencontoh sifat-sifat-Nya dan beramal saleh untuk masyarakat. Manusia harus meyakini bahwa masih ada kehidupan lagi setelah kehidupan dunia sekarang ini. yaitu kehidupan akhirat. Di sanalah kelak amalnya dihitung dan ditimbang, serta diberi pembalasan yang sangat sempurna. " Isi kandungan surat al-Faatihah mencakup hal-hal sebagai berikut:

Menggerakkan manusia untuk memuji Allah dan mengakui keagungan-Nya.
Melukiskan keadaan hari akhir. Baca S.4: an-Nisaa ', 163,

Menunjuki kita tentang tugas memohon dan merendahkan diri (tadharru) kepada Allah serta melepaskan diri dari tipuan-tipuan.

Mengesakan Allah, tauhid, dan mengkhususkan ibadat hanya kepada-Nya.
 
Memohon hidayah-Nya berupa jalan yang lurus, supaya menghantarkan kita sampai ke surga, menyertai para anbiya ' (nabi), shiddiqin (orang-orang benar) dan syuhada (orang-orang yang mati syahid).
 
Mendorong untuk mengerjakan amal saleh dan membuat takut menempuh jalan salah, yang menyebabkan kita dimasukkan ke dalam golongan orang orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat.

Menurut Muhammad Abduh, al-Faatihah mencakup kesimpulan isi al Qur'an, yaitu: tauhid, wa'ad dan wa'id (janji baik dan janji buruk), ibadat, jalan-jalan menuju kebahagiaan dan kisah-kisah para rasul serta orang-orang yang menyangkal kebenaran.

Kedudukan Aamiin dalam Surat Al-Fatihah

Amiin boleh dibaca dengan memanjangkan bunyi a atau dengan tidak memanjangkannya. Kata amiin bukan dari al-Qur'an, walaupun kita dianjurkan membacanya sesudah al-Faatihah. Ia tidak dicatat dalam Mushaf.-Perkenankanlah dan kabulkanlah (doa kami), ya Allah.

Yang menyebut sunnat membacanya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, at-Turmudzi dan Wail, yang menyatakan: " Saya mendengar Nabi membaca waladh dhaalliin, lalu beliau membaca dengan suara keras: amiin. "

Ali menjelaskan bahwa sabda Nabi tentang kata amiin itu merupakan cap (stempel) Tuhan semesta alam.

Tuhan menyetempel doa hamba-Nya dengan amiin. Sebagaimana lazimnya cap, orang tidak mungkin mengubah atau menambah sesuatu yang sudah dicap. Begitu pula kata amiin, menghalangi kegagalan doa.

Beragam pendapat tentang apakah imam shalat perlu mengucapkan amiin pada akhir pembacaan al-Faatihah. Al-Hasan al-Bisri berpendapat, imam tidak perlu membaca amiin, karena imamlah yang berdoa (sebagian ayat al-Faatihah yang dibacanya berisi doa).

Abu Hanifah menyatakan, imam membacanya dengan suara pelan, sesuai dengan riwayat Annas dari Nabi saw. Menurut pendapat ulama-ulama Syafi'iyah, imam mengeraskan suaranya (jahr) ketika mengucapkan aamiin, sebagaimana diriwayatkan oleh Wail ibn Hujr dari Nabi saw.