Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Musim Paceklik dan sikap Qana'ah

Kisah Musim Paceklik dan sikap Qana'ah

Akibat musim kemarau yang kelewat panjang. Madi nah ditimpa paceklik. Harga bahan pangan pun mem bubung naik. Banyak penduduk hartawan, lantaran takut dihantui kelaparan, beramai-ramai menimbun gan dum yang makin lama kian menipis persediaannya di pasar-pasar. Tidak demikian dengan rakyat kecil. Mereka terpaksa berbelanja hanya untuk mencukupi ke butuhan sehari saja. Besoknya belum tentu bagaimana nasibnya.


Jakfar Sadiq, cucu Ali bin Abi Thalib, termasuk sa lah seorang di antara warga Madinah yang hidupnya berkecukupan. Kepada Maktab, pengurus keluarganya. Jakfar bertanya, "Masih adakah persediaan pangan ki ta ? "Maktab menjawab, "Masih banyak sekali. Tuan, gandum kelas satu yang paling lezat rasanya, dan di pasar hampir tidak dijual lagi karena yang tersisa di tempat umum hanya jewawut." "Kalau begitu, semua gandum yang berada di gu dang bawalah ke pasar dan juallah seluruhnya" "Madinah sedang dilanda kekurangan pangan. Tuan, Kalau gandum kita jual semuanya sekarang, belum tentu bisa membeli kembali besok pagi gandum tersebut."

Jakfar bersikeras, "Bawa ke pasar dan jual seluruh- nya. Kita harus berbelanja seperti rakyat kebanyakan. Kalau mereka berbelanja hanya untuk mencukupi ke- butuhan sehari, kita juga harus begitu. Kalau mereka nidak mendapat makanan, apakah layak kta makan ke- nyang sendirian?"

Maktab menggeleng-geleng, memikirkan sifat tuan- ya yang begitu nekat. Belum habis kebingungannya, Jakfar kembali berkata, "Dan mulai besok, kita beli jewawut saja. Bila rakyat kecil masih kuat beribadah ha- nya dengan makan jewawut, mengapa kita tidak bisa?"

Lain pula yang dilakukan seorang petani hartawan di tempat yang berbeda. Biasanya, hasil ladangnya dibagi tiga. Sebagian untuk keperluannya sendiri, sebagian lainnya untuk sedekah bagi fakir miskin dan anak-anak yatim, sedangkan yang sepertiga sisanya adalah untuk bibit pada musim tanam berikutnya. Tetapi pada musim paceklik itu, hasil ladangnya jauh berkurang. Sesudah dihitung-hitung, kalau dibagi tiga seperti biasanya, akan terjadi ketimpangan. Taruhlah sepertiga diberikannya untuk sedekah, yang sepertiga lagi untuk bibit, maka sisanya tidak akan cukup untuk kebutuhannya beserta seluruh keluarganya sampal musim panen selanjutnya. la bingung. Bagian manakah yang harus dikurangl? Andaikata diambilnya dari sebagian yang seharusnya untuk benih, jelas tidak mungkin. Kalau diambilnya dari baglan yang mesti disedekahkan, berarti la merampok hak Allah kan untuk fakir miskin dan anak-anak yatim, Jika dikurangti dari bagian yang biasa disimpan untuk makan satu tahun, berarti hanya tiga bulan saja la dan keluarganya terjamin.

Sesudah itu, belum pasti bagaimana nasib mereka Maka la pun pergi kepada seorang ulama sufi yang tekun beribadah. Kepada ulama tersebut si hartawan mengadu dan meminta sarannya. Sang sufi menjawab, "Di ujung kampung Ini ada seorang janda dengan tujuh orang anak yatim yang ma- sih kecil-kecil. Datangilah rumahnya, dan berikan kepadanya sedekah yang blasa kaubagi-bagikan."

Petani kaya Itu menurut. la mengetuk pintu rumah reyot kepunyaan janda itu selepas isya sambil membawa tepung gandum untuk sedekah. Setelah dibukakan pintu dan keluarlah janda itu, la berkata, "Betulkah engkau seorang janda yang mempunyai tujuh orang anak yatim?" Perempuan itu mengangguk, "Betul. Ada urusan apa?" "Saya datang hendak menyerahkan bahan makanan buat engkau dan anak-anak engkau. "Alhamdulillah," sahut si Janda. "Tapi anak-anak saya semuanya sudah tidur lelap." "Kalau begitu, engkau bisa memasaknya besok dan memberikannya kepada mereka," ujar petani yang hartawan tersebut. "Terima kasih," ucap si wanita. "Namun, apakah Tuan berani menjamin bahwa besok, pagi mereka masih hidup?" "Insya Allah, mudah-mudahan masih hidup," jawab si petani dengan keheranan atas ucapan yang ganjil itu.

Andaikata benar mereka masih hidup. Tuhanlah yang punya kuasa memberi hidup kepada mereka, bukan Tuan. Sebab nyatanya Tuan tidak dapat memastikannya. Dan karena Tuhan yang memberi hidup ke pada mereka, saya yakin Tuhan pula yang akan memberi rezeki bagi mereka. Bukan Tuan. Maaf, saya tidak bersedia menerima sedekah dari Tuan.

Peteni itu masih juga memaksanya, "Begini maksud saya Biarlah bahan pangan ini kau simpan untuk persediaan di hari-hari paceklik yang tengah kita alami sekarang "Astagfirullah," ujar wanita itu dengan murung. "Alangkah besarnya dosa saya jika saya bersedia menerimanya. Tuan menyuruh saya menyimpan bahan pangan itu. dan gandum itu untuk persediaan di hari-hari mendatang, sementara di tempat lain mungkin masih banyak fakir miskin. Mereka sangat membutuhkannya untuk hari ini.

Layakkah saya berbuat serendah Itu?" Petani Itu pulang. la sudah memperoleh jawaban yang telak dari janda beranak tujuh itu. Dalam hatinya la berpikir, perempuan yang anaknya tujuh saja tidak kuatir terhadap rahmat Allah yang senantiasa melimpahkan rezeki bagi hamba-hamba-Nya, mengapa saya takut menghadapi hari-hari yang akan datang, padahal jelas lebih kuat dari janda itu? Maka dibagi-bagikannya sepertiga hasil yang biasa disedekahkan untuk yang membutuhkan, dan disisipkannya pula sepertiga bagian untuk bibit tanaman berikutnya. Biarlah persediaan makannya sendiri yang berkurang. Bukankah Tuhan maha pemurah lagi penyayang?