Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Jual Beli Buah Yang Belum Matang

Kisah Jual Beli Buah Yang Belum Matang

Setelah meninggalkan Abu Syauqi Pada kisah Sebelumnya, Syaikh dan muridnya kemudian berkeliling pasar untuk mengamati transaksi lain dari berbagai transaksi kaum muslimin. Ketika mereka berdua sedang berkeliling, tiba-tiba keduanya bertemu dengan dua orang lelaki yang sedang berselisih d pintu masuk pasar. Salah satu dari keduanya berkata dengan suara yang keras:”Takutlah kamu kepada Allah, haram bagimu, aku telah sepakar denganmu sejak empat bulan yang lalu untuk membeli gandummu, dan aku akan memberikan harganya secara penuh.”


Lelaki yang lain berkata:”Kamu menzalimi dalam harganya. Seandainya aku tidak terdesak dan butuh, aku tidak akan menjual kepa damu. Ini eksploitasi dan kezaliman.”

“As-Salamu'alaikum warahmatullah,”ungkap Syaikh kepada mereka.

”Wa'alaikum salam warahmatullah,”jawab mereka.

”Tenangkanlah tensimu. Segala sesuatunya akan dapat diselesaikan dengan izin Allah. Siapa namamu ?”tanyanya.

”Abu Fahd,”jawab salah seorang dari kedua lelaki itu.

”Abu Ali,”jawab yang lainnya.

”Selamat datang untuk kalian berdua. Tapi, apa yang terjadi wahai Abu Fahd ?”

Abu Fahd menjawab,”Ya Syaikh, satu bulan setelah menanam gandum, sedang gandum itu pun masih hijau di tanah, aku mengalami kesulitan ekonomi yang luar biasa. Anakku sakit dan harus dioperasi Saat itu aku tidak punya uang. Maka, aku pun pergi ke rumah Abu Ak dan aku berkata padanya:”Belilah hasil gandumku pada tahun ini dengan seribu pound.”Lalu Abu Ali pun setuju dan memberikan seribu pound kepadaku. Gandum itu masih hijau, buahnya belum keras dan tidak layak untuk dipanen.

Ketika kami telah memanen gandum, ternyata hasilnya banyak dan harganya mencapai dua ribu pound. Maka, aku berkata kepada Abu Ali,”Ambilah jumlah yang kamu berikan sebagai bayaran gandum dan jangan kamu menginginkan seluruh hasil panen tahun ini, sehingga akan mengeksploitasi kondisiku. Namun ia enggan dan bersikeras untuk mengambil hasil panen secara penuh”.

Abu Ali berkata,”la menjual seluruh hasil panen itu dengan kerela annya dan semuanya berakhir. Ia tidak menarik transaksi itu dan aku pun tidak memaksanya untuk menjual gandum. Aku mendengar ia memiliki kebebasan dalam jual beli sebelum berpisah, namun ia tidak kembali dan penjualan pun selesai sejak empat bulan yang lalu.”

Syaikh berkata,”Semoga Allah melindungi kalian berdua sebelum terjadi silang pendapat tentang harga ataupun yang lainnya. Apakah bentuk penjualan yang kalian berdua lakukan itu sah atau tidak ?”

Sampai di sini Abu Fahd dan Abu Ali diam kebingungan. Mereka saling berpandangan dengan tatapan yang asing. Mereka berdua kemudian berkata serempak:”Sah ! Apa yang Anda maksud ya Syaikh ?”

Syaikh berkata,”Maksudku, di sana ada bentuk penjualan yang tidak sah. Penjualan dengan bentuk seperti itu adalah fasid. Akibatnya si penjual tidak dapat memiliki harga dan si pembeli pun tidak dapat me miliki barang. Penjualan yang mereka berdua lakukan itu batil ( tidak sah ).”

“Batil ? Bentuk yang kami sebutkan tadi itu sah atau tidak ya Syaikh ?”tanya keduanya.

”Pertama, kita harus mengenal apa nama jenis penjualan ini ?”

“Apa namanya ya Syaikh ?”

“Wahai Abu Fahd, jenis penjualan ini adalah apa yang disebut dengan menjual buah sebelum tampak kelayakannya '. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan apakah buah itu berupa buah-buahan ataupun biji bijian. Jenis ini tidak boleh dijual sebelum tampak kelayakannya, yakni sebelum tampak tanda-tanda kematangannya.”

“Semua petani menjual dengan cara seperti ini,”ungkap mereka.”Bagaimana tanda-tanda kelayakan itu dapat diketahui ya Syaikh ?”

Syaikh berkata,”Kelayakan itu tampak dengan terbentuknya buah pada sifat yang pada umumnya dalam kondisi itu telah dicari. Hal itu terlihat dengan enaknya buah itu untuk dimakan, muncul kematangan, biji yang baik, dan tanaman yang keras.”Jadi, penjualan buah-buahan dengan hanya buahnya saja, sebelum muncul kelayakannya, adalah batil dan tidak sah.”

Abu Ali berkata,”Batil dan tidak sah ?”Abu Ali marah dan suaranya meninggi. Ia berkata,”Mengapa penjualan itu haram dan siapa yang mengharamkannya ? Berikanlah satu dalil untukku yang mengharam kannya. Kami ingin mengetahui hukumnya dari syara ' dan bukan pendapat orang-orang”.

Abu Fahd berkata,”Sabar saudaraku, sampai kami tahu apa yang tidak kami ketahui sebelumnya. Kami ingin tahu mengapa penjualan itu batal. Silakan ya Syaikh !”

Syaikh berkata,”Penjualan buah-buah sebelum tampak kelayakannya adalah haram dan tidak sah karena buah tersebut tidak dapat diketahui. Kadang tumbuhan itu tidak menghasilkan buah apa pun sehingga dengan begitu menjadi penipuan dan memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Dalil atas hal itu adalah dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah melarang dari menjual buah sampai bersinar. Ditanyakan olch para sahabat: Apakah bersinar itu ?”Rasulullah bersabda: Sampai memerah. Rasulullah bersabda: Bagaimana pendapatmu jika Allah menghalang buah ( itu ), dengan apa salah seorang dari kamu meminta kebalalan barta saudaranya. Rasulullah melarang menjual buah yang belum tampak kelayakannya.

Rasulullah melarang penjual dan pembeli untuk melakukan hal itu.”Rasulullah melarang menjual kurma sampai bersinar dan menjual buah sampai memutih dan kerusakan ( nya ) diamankan.”

Berdasarkan Nash-Nash hadis Nabi tersebut, maka tidak boleh mela kukan apa yang dilakukan oleh para petani itu, berupa tindakan sebagian dari mereka yang pergi kepada sebagian lainnya, lalu berkata kepadanya:”Belilah hasil gandum atau padiku pada tahun ini, misalnya dengan seribu pound. Padahal gandum itu masih hijau dan belum mengeras tangkainya, dan kerusakannya tidak dapat diamankannya. Sebab, kadang kerusakan dapat mengenai gandum sehingga karenanya gandum itu tidak menghasilkan apa pun. Ini adalah haram dan tidak diperbolehkan sebagai mana telah aku jelaskan.”

Abu Ali berkata,”Lalu, apabila kamu ingin menjual atau membeli, apa yang harus kami lakukan ya Syaikh ?”

Syaikh menjawab,”Tunggulah sampai bulirnya memutih dan menge ras, kerusakannya dapat diamankan dan kelayakannya tampak.”

“Tapi, apakah dengan cara ini tidak boleh sama sekali ya Syaikh ?”Abu Ali bertanya.

”Ya, tidak boleh sebagaimana telah aku jelaskan,”jawab Syaikh.

”Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan ya Syaikh. Anda telah menerangi dan mengingatkan kami tentang sesuatu yang kami lakukan,”ungkap Abu Ali, berterima kasih.

”Tapi ya Syaikh, bagaimana hukum seribu pound yang aku ambil dari Abu Ali, sebab ia masih berada di tanganku ?”tanya Abu Fahd.

”Bisa jadi kamu mengembalikan uang itu kepadanya -jika uang itu sekarang masih bersamamu- atau menjadi utangmu terhadapnya, dan ia harus menunggu sampai kamu mendapat kelapangan.”

Abu Ali berkata,”Tidak demi Allah. Uang itu tetap berada pada saudaraku Abu Fahd sebagai utang. Aku akan menunggunya sampai ia mendapat kela-pangan. Ketika kamu mendapat kelapangan, wahai Abu Fahd, kembalikanlah uang itu kepadaku dan tidak mengapa.”

Abu Fahd berkata,”Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai Abu Ali.”

“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan ya Syaikh. Kami ber janji kepadamu bahwa selamanya kami tidak akan menjual dengan cara seperti ini lagi. Kami akan mengingatkan setiap orang yang kami lihat melakukan hal tersebut, insya Allah,”ungkap Abu Fahd, berjanji kepada Syaikh.

Syaikh berkata,”Semoga Allah memberkati kalian berdua dalam jual beli. Aku berterima kasih karena kalian tanggap dalam melaksanakan kebenaran.”Syaikh kemudian meninggalkan Abu Fahd dan Abu Ali seraya mengucapkan salam,”As-Salâmu'alaikum warahmatullahi wabara katuh.”

Abu Fahd menjawab,”Fi ri'ayatilláh ( semoga berada dalam lindungan Allah ).”

Syaikh bersyukur kepada Allah karena respons orang-orang yang cepat terhadap kebenaran. Ia berkata kepada Ammar,”Ketahuilah wahai Ammar bahwa pada manusia itu terdapat kebaikan yang banyak. Namun mereka menginginkan seseorang yang meraih tangan mereka ke jalan Allah dengan lembut.”

“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan semoga Allah memberkatimu, ya Syaikh,”jawab Ammar.

Kedua orang itu kemudian berkeliling pasar untuk mengamati tran saksi yang baru.


Kutipan Dari Buku Uang Haram yang ditulis oleh Ibrahim bin Fathi bin Abdul Al-Muqtadir