Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bahaya Lisan Yang Tak Terjaga

Bahaya Lisan Yang Tak Terjaga
SESUNGGUHNYA lisan adalah penerjemah resmi organ-organ tubuh, kalimat-kalimat yang mengungkap niat. Orang-orang beriman senantiasa berhati-hati dengan penggunaan lafazh dan kata-kata yang akan diucapkan lisannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

[ يائها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا [ الأحزاب : ۷۰
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. " ( Al-Ahzab: 70 )

Orang-orang yang beriman memiliki kata-kata yang mereka pergunakan pada waktu yang dihajatkan. Jika terjadi musibah dan datang bencana, mereka mengatakan, " Inna Lillahi wa Inna llaihi Raji'un. " Jika mereka ditakut-takuti dengan sesuatu yang menakutkan dan diganggu dengan gangguan sebuah kabar mereka akan berucap, " Hasbunallahi wa Ni'mal Wakil. " Jika mereka tidak mampu membawa beban berat dan tidak mampu melakukan sesuatu, maka akan keluar ucapan, " Laa Hawla wala Quwwata Illa Billahi Al-' Ali Al-' Azhim. "

Sementara manusia yang sering meragukan dan orang-orang munafik, mereka juga memiliki kalimat-kalimat yang lemah selemah jiwa mereka yang berantakan seperti berantakannya prinsip-prinsip mereka. Di antaranya adalah perkataan mereka yang diabadikan dalam Al-Qur'an:

" Kalau mereka tetap bersama-sama kami mereka tidak akan mati atau terbunuh. " (Ali Imran: 156 ).

Juga perkataan mereka,

" Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh. " (Ali Imran: 168)

Dalam ayat lain, disebutkan ucapan mereka,

" Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya. " (Al-Ahzab: 12).

Dan ungkapan-ungkapan lainnya yang menunjukkan kemerosotan mental dan kesesatan mereka Ketepatan ucapan adalah gambaran ketepatan pendapat. Indahnya lafazh merupakan gambaran kesempurnaan akal dan pemilihan kata yang tepat berasal dari cahaya akal budi.

Tatkala anak-anak Nabi Ya'qub meminta padanya unjuk mengijinkan mereka membawa Yusuf, Ya'qub mengkhawatirkan mereka melakukan sesuatu yang tidak baik kepada anaknya Yusuf. Padahal yang paling tepat kala itu adalah tawakal kepada Allah, dan sebaik-baik tempat bersandar adalah pada-Nya. Dan ini ada pada Ya'qub. Namun kecintaan pada anaknya yang membuatnya melontarkan kata, " Aku khawatir kalau kalau dia dimakan serigala ( Yusuf : 13 ).

Ungkapan ini telah membuka celah alasan bagi mereka dan mereka pun merekayasanya. Maka mereka pun datang pada Ya'qub setelah membuang Yusuf ke dalam sumur, " Lalu dia dimakan serigala. " (Yusuf : 17). Demikian juga dengan Yusuf. Tatkala dia diajak melakukan kemungkaran terlontar darinya ucapan sebagaiman disebutkan dalam Al Qur'an, " Yusuf berkata, " Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. " ( Yusuf : 33 ).

Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa sebenarnya ampunan dan afiat lebih baik daripada penjara. Akibat ucapan itu, Yusuf pun dipenjara. Dan di dalam gelapnya penjara, kepedihan kurungan, dia berkata kepada temannya yang akan dikeluarkan dari penjara, " Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu. " ( Yusuf : 42 ), yakni pada rajamu. Padahal Allah adalah Dzat yang paling dekat untuk disebut. Maka jawaban dari ucapan ini adalah, " Karena itu tetaplah dia ( Yusuf ) dalam penjara beberapa tahun lamanya. " ( Yusuf : 42 ). Sementara itu Fir'aun sang durjana berseru, " Dan ( bukankah ) sunga sungai itu mengalir di bawahku " ( Az-Zukhruf : 51 ). Akibat ucapannya ini maka ganjaran yang dia dapatkan adalah Allah mengalirkan air di atas kepalanya kala dia tenggelam dengan sangat menggenaskan.

Salah seorang munafik yang murtad, sifat nifaknya menyingkap kata katanya. Maka Allah berfirman, " Mereka rela berada bersama-sama orang orang yang tidak ikut berperang, dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui ( kebahagiaan beriman dan berjihad ). " ( At Taubah : 87 ). Maka datanglah ijin, namun dengan ancaman, " Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah " ( At-Taubah : 49 ).

Dengan demikian bencana itu terlahir dari ucapan. Hati-hati dalam mengucapkan kata itu adalah wajib sebagaimana wajibnya berhati-hati dalam melakukan perbuatan, Memperhatikan omongan itu wajib sebagaimana wajibnya memperhatikan amal perbuatan. Sebab hati itu adalah bejana dimana lisan mendidihkan isinya.

Dalam buku Bazarjamher disebutkan bahwa seorang pemburu sedang mencari merpati di sebuah hutan. Tatkala dia sudah dilanda putus asa, dia bermaksud untuk kembali ke rumahnya. Namun tiba-tiba merpati itu berteriak, " Di sana tak ada merpati !! " Maka akibat ucapannya itu merpati tersebut tertangkap.

Banyak kepala yang terpaksa harus menggelinding dan lepas dari badan karena kalimat-kalimat. Betapa banyak otak yang harus terburai karena pemiliknya mengucapkan kata yang tidak berarti apa-apa. Betapa banyak leher diputus karena lisan pemiliknya salah dalam mengucapkan perkataan keji yang tidak dibenar oleh Al-Khalil ataupun Sibawaih ( keduanya ahli gramatika bahasa Arab, pen ).

Tidakkah manusia juga ditenggelamkan ke dalam neraka karena keteledoran lidahnya ? Ingatlah firman Allah, " Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. " ( Qaaf : 18 ). Lisan itu zhalim dan dia berhak untuk dipenjarakan sebelum melakukan dosa-dosa.



Sumber:

Kutipan dari Buku "Hadaa'iq Dzatu Bahjah" yang di tulis oleh 'Aidh Abdullah Al-Qarni