Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penyebab Penyakit Keropos Tulang

Penyebab Penyakit Keropos Tulang

Pada dekade terakhir ini disinyalir bahwa angka kejadian osteoporosis di Indonesia semakin bertambah jumlahnya. Hasil survei yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi & Makanan Departemen Kesehatan pada tahun 1999 s/d 2002 terhadap 17000 responden pria dan wanita umur 25 - 90 tahun mengungkapkan bahwa prevalensi osteoporosis di 14 provinsi mencapai 19,7%.

Osteoporosis lebih banyak terjadi pada orang lanjut usia (lansia), yaitu golongan umur 60 tahun ke atas; sedangkan pada wanita terjadi pada golongan pasca menopause, yaitu setelah berhentinya haid/ menstruasi. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi, perbaikan sosial-ekonomi serta kemajuan dalam pelayanan kesehatan, diperkirakan pada tahun 2000 jumlah orang lansia di Indonesia diproyeksikan sebesar 7,28% dan pada tahun 2020 sebesar 11,34%.

Dengan demikian pertambahan penduduk lansia di Indonesia akan naik menjadi lebih dari 20 juta orang (Biro Pusat Statistik, 1992). Seiring dengan bertambahnya jumlah lansia, maka diperkirakan jumlah penderita osteoporosis pun akan bertambah pula. Pada osteoporosis, kepadatan tulang sangat menurun dan menye- babkan tulang menjadi keropos dan rapuh sehingga penderita mudah mengalami patah tulang, walaupun hanya karena benturan kecil atau cedera ringan.

Bila terjadi patah tulang paha atau tulang panggul, penderita menjadi cacat dan tidak mampu hidup mandiri, sehingga ada ketergantungan pada orang lain. Oleh karena itu deteksi dini dan upaya pencegahannya menjadi sangat penting. Sebenarnya osteoporosis dapat dicegah dan ditanggulangi dengan cara hidup sehat dan beberapa upaya pencegahannya yang akan di- paparkan di bawah ini, sehingga kualitas hidup para lansia menjadi lebih baik dan lebih produktif.

Komposisi Tulang

Tulang atau disebut juga matrix tulang terdiri atas serat kolagen, protein dan garam-garam mineral, terutama kalsium (Ca) dan fosfor (P). sedangkan mineral lainnya terdapat dalam jumlah yang sangat keci yanu fluor (F), boron (Bo) dan magnesium (Mg). Struktur tulang ada dua jens yaitu korteks dan trabekula. Tulang korteks adalah bagian permukaan luar tulang, sedangkan trabekula adalah bagian dalam tulang yang mengelilingi sumsum tulang.

Sepanjang hidup, tulang mengalami pembentukan dan perombakan yang terus menerus secara dinamis. Pembentukan tulang dilakukan oleh sel osteoblas, sedangkan perombakan tulang dilakukan oleh sel teoklas. Pembentukan dan perombakan ini terjadi bersama-sama dan seimbang sehingga tulang dapat membentuk modelnya sesuai dengan pertumbuhan badan; keadaan ini disebut proses remodelling.

Pada usia remaja, proses remodelling ini berlangsung sangat cepat seiring dengan pertun buhan badan yang pesat (growth spurt). Beberapa tahun setelah pertumbuhan longitudinal tulang berhenti, massa tulang (=kepadatan tulang) terus bertambah dan akan mencapai puncaknya pada umur 30 sampai dengan 40 tahun. Setelah itu terjadi proses hilang tulang" (bone loss), yaitu massa tulang berkurang terus secara bertahap.

Dengan bertambahnya usia terdapat peningkatan hilang tulang secara linier. Hilang tulang ini lebih nyata pada wanita dibanding pria. Tingkat hilang tulang ini sekitar 0,5 - 1% per tahun dari berat tulang pada wanita pasca menopause dan pada pria umur > 80 tahun. Hilang tulang ini lebih banyak mengenai bagian trabekula dari pada bagian korteks; dari pemeriksaan histologik pada wanita dengan osteoporosis tulang punggung pasca menopause ternyata bahwa tulang trabekula hanya tinggal <14%, padahal nilai nomal pada lansia adalah 14 - 24 %. (Peck, 1989 dikutip oleh Hadi Martono). Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perombakan tulang, antara lain aktivitas jasmani, berbagai hormon, makanan, usia, rokok dan alkohol.

Apabila pembentukan tulang lebih kecil dari pada perombakannya maka akan timbul osteoporosis. Osteoporosis adalah keadaan yang ditandai dengan berkurang- nya kepadatan (density = densitas) tulang dan penipisan korteks tulang yang disebabkan karena pembentukan tulang yang menurun, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Osteoporosis dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu osteporosis primer dan sekunder (Peck, 1989; Chestnut, 1989).

Osteoporosis primer, terjadi karena bertambahnya usia, dapat dibedakan lagi menjadi:
  • Osteoporosis pasca menopause, terjadi pada wanita. Kepadatan tulang berkurang terutama bagian trabekula.
  • Osteoporosis senilis, terjadi pada pria. Kepadatan tulang berkurang terutama bagian korteks.
  • Osteoporosis idiopatik yang terjadi pada usia muda dengan penyebab yang tidak diketahui.
Osteoporosis sekunder, terjadi sebagai akibat penyakit lain misalnya karena hiper-paratiroid, gagal ginjal kronis, artritis rematoid dan bebe- rapa penyakit lain.

Penyebab osteoporosis

Osteoporosis disebabkan oleh karena beberapa faktor antara lain karena: kurang gerak, menopause, gizi kurang dan hormon steroid yang berlebihan.

1. Kurang gerak. Gerakan jasmani merupakan rangsangan bagi osteoblas untuk membentuk tulang. Bila gerakan jasmani kurang, terma- suk olahraga, maka fungsi osteoblas menurun dengan akibat pem- bentukan tulangpun menurun pula, sehingga kepadatan tulang ber- kurang dan tulang menjadi rapuh dan keropos. Pada keadaan kurang gerak, keropos tulang terjadi terutama pada tulang anggota-anggota gerak yaitu tungkai, kaki, lengan dan tangan.

2. Menopause. Setelah menopause, produksi hormon estrogen menurun secara berangsur-angsur. Hormon estrogen antara lain berperan untuk merangsang osteoblas membentuk tulang. Karena produksi estrogen menurun maka fungsi osteoblaspun berkurang dengan akibat pem- bentukan tulang menurun sehingga kepadatan tulang menurun, tulang menjadi keropos dan mudah retak. Keropos tulang pasca menopause ini terjadi di seluruh kerangka tubuh, terutama tulang punggung.

3. Gizi kurang (undernutrition). Salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan tulang adalah makanan. Bila asupan makanan kurang, maka zat-zat gizi yang diperlukan untuk membentuk tulang tidak ter- sedia dengan lengkap sehingga pembentukan tulangpun terhambat. Nutrien yang dibutuhkan untuk membentuk tulang adalah protein, mineral kalsium, fosfor, vitamin C dan beberapa mineral lainnya dalam jumlah kecil. Apabila nutrien-nutrien ini tidak tersedia dengan lengkap, maka pembentukan tulang tidak sempurna yang pada gilirannya akan mengakibatkan osteoporosis.

4. Hormon steroid. Hormon steroid merangsang perombakan (katabolisme) protein. Apabila produksi hormon steroid ini berlebihan, misalnya pada penyakit "Cushing syndrome" maka protein sebagai salah satu bahan dasar untuk membentuk tulang tidak tersedia, sehingga lama-kelamaan akan mengakibatkan osteoporosis. Demikian pula pada pengobatan dengan hormon steroid dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan osteoporosis.

5. Hormon androgen. Hormon androgen merangsang pembentukan (anabolisme) jaringan protein. Pada proses menua, produksi hormon androgen berkurang dengan akibat pembentukan protein - sebagai salah satu zat pem- bangun tulang berkurang dan menyebabkan terjadinya osteoporosis senilis. tidak cukup, sehingga kepadatan tulang juga

Gejala osteoporosis bervariasi. Di antaranya adalah
  • Sebagian penderita tidak menunjukkan gejala apapun, tidak ada rasa nyeri ataupun sakit.
  • Sebagian lain mempunyai gejala klasik berupa nyeri punggung sebagai akibat fraktur kompresi atau retak karena tekanan pada tulang punggung (tulang vertebrata)
  • Gejala lain adalah fraktur pada leher tulang femur dan / atau tulang radius. Sekitar 30% wanita dengan fraktur leher femur menderita osteoporosis, dibandingkan dengan pria yang hanya 15%. Patah tulang terjadi bukan hanya karena osteoporosis saja, melainkan juga karena kecenderungan untuk jatuh pada usia lanjut.
  • Penderita lain mempunyai gejala menurunnya tinggi badan sehingga menjadi lebih pendek.
  • Gejala lain adalah punggung menjadi bungkuk. Hal ini disebabkan karena fraktur pada vertebra torakal tengah yaitu tulang punggung bagian dada yang retak atau patah.
Pencegahan selalu lebih baik dari pada pengobatan. Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menentukan diagnosa osteo- porosis secara dini, agar bisa segera ditanggulangi sebelum terjadi patah tulang.
  • Menentukan aktivitas osteoblas untuk membentuk tulang dapat dinilai dari: Osteokalsin yaitu zat yang dihasilkan oleh osteoblas untuk mem- bantu proses mineralisasi tulang. Fosfatase alkali spesifik tulang adalah enzim yang dihasilkan oleh osteoblas dan berfungsi sebagai katalisator (pemacu) proses minerali- sasi tulang. Kadar osteokalsin atau fosfatase alkali yang tinggi menunjukkan aktivitas pembentukan tulang yang tinggi.
  • Menentukan aktivitas osteoklas untuk merombak tulang dapat dinilai dari kadar: Pyridinolin atau Deoxy Pyridinolin Crosslink. Kedua zat ini merupakan penguat mekanik tulang yang akan dilepaskan ke dalam peredaran darah dan selanjutnya dikeluarkan melalui urin, jika terjadi proses pembongkaran tulang. Jadi, kadar pyridinolin atau deoxy pyridinolin crosslink yang tinggi dalam urin, menunjukkan aktivitas perombakan tulang yang tinggi pula. Bila aktivitas perombakan tulang tinggi, sedangkan aktivitas pemben- tukan tulangnya rendah, maka kepadatan tulang berkurang, sehingga risiko akan terjadinya osteoporosis pun meningkat. Sayangnya, pemeriksaan ini cukup mahal.
  • Pemeriksaan lain adalah dengan menggunakan alat canggih untuk menentukan kepadatan tulang atau densitas tulang. Selain dapat mendiagnosis osteoporosis secara dini, alat ini dapat pula menilai hasil pengobatan secara cepat.
  • Biopsi tulang juga memberi hasil pemeriksaan yang baik, namun para penderita kurang menyukai pemeriksaan ini.




Sumber:

Buku Makanan Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Ilmu Gizi oleh Dr. Hj. Tien Ch. Tirtawinata Sp.GK