Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Tawadhu' Imam Syafi'i Dalam Ilmu

Kisah Tawadhu' Imam Syafi'i Dalam Ilmu

Kitab Al-Iqnā’ Syarh Matn Abu Syujā’ terbilang relatif rumit untuk level santri. Karenanya kitab ini penting untuk ditalaqqi-kan bersama guru. Wajar, dilihat dari keterangan di muqaddimah muallif, kitab ini memang diproyeksikan oleh Al-Khatib Al-Syirbini untuk menjadi Kitab Ta’līmiy (modul ajar) dan pegangan guru, maka disusunlah dengan gaya penyusunan ringkas tetapi daqīq, sehingga membutuhkan olah pikir dan dasar yang kuat.

Al-Khatib mempersepsikan pembaca Al-Iqnā’ adalah pegiat ilmu Fiqih yang sebelumnya telah membaca kitab-kitab besar, termasuk yg telah beliau tulis sebelumnya: Mughni Al-Muhtāj Syarh Minhaj dan Syarh beliau atas Al-Tanbīh. Tak heran, Al-Iqnā’ ini kerap dipilih menjadi muqarrar di Ma’had Azhar dan di Masjid Al-Azhar dari masa ke masa.

Maka seorang guru apabila ingin mengajarkan kitab ini, dalam penyiapan materinya mesti merujuk kepada kitab-kitab Mu’tamad lainnya. Jika tidak, banyak permasalahan yang sulit terpolakan dan dideskripsikan, alih-alih terpecahkan.

Ketika belajar, setiap beliau menangkap adanya kebingungan dari muka para pelajar karena susah memahami materi, Maulana Syekh Abdullah Izzuddin bertanya, “Kalian Paham?”… “Serius?”… “Apa perlu saya ulangi lagi penjelasannya?”

Lalu beliau menceritakan sebuah kisah penting. . .

“Kalian tau Imam Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi?”

Al-Muradi adalah satu dari murid ter-brilian dan perawi kitab-kitab Imam Al-Syafi’i yang paling tsiqah. Bahkan beberapa muhaqqiq madzhab berpandangan, jika terjadi perbedaan antara riwayat Al-Muradi dengan Al-Muzani, maka yang diunggulkan adalah riwayat Al-Muradi. Tak heran, ilmunya bagaikan magnet yang menarik para pelajar dari berbagai belahan dunia datang berguru kepadanya. Oleh Sultan Ahmad bin Thulun, penguasa Mesir kala itu, Al-Muradi diangkat sebagai Grand Syekh di masjid kenegaraan yang dibangunnya (Masjid Ibnu Thulun yang terkenal).

Syekh Abdullah melanjutkan,

“Semasa menjadi santri, Rabi’ Al-Muradi sulit memahami satu masalah. Diapun berterus terang kepada gurunya, Imam Al-Syafi’i. Maka sang guru mengulangi penjelasan. Tetapi Al-Muradi tidak kunjung paham akan penjelasan gurunya, hingga 40 kali pengulangan ia tetap belum paham.

Bayangkan! 40 kali!

Karena sudah 40 kali dan ia tidak mau merepotkan gurunya lebih dari itu, malam pun sudah larut dan ia merasa kasihan kepada gurunya yang telah letih dari pagi mengajar, terpaksa Al-Muradi mengaku sudah memahami masalah yang ia tanyakan, padahal sesungguhnya ia masih bingung.

Al-Muradi pun pulang dengan perasaan kecewa pada diri sendiri. Sampai di rumah ia menangis, ‘Betapa bebalnya diriku.’

Di tengah kesedihannya itu, tetiba dia mendengar suara ketukan pintu.

‘Siapa?’

‘Muhammad bin Idris’

Badanku segera berhamburan menuju pintu, tak percaya Sang Imam datang ke rumahku. Setelah membukakannya, Al-Syafi’i mengatakan ‘Mari kita duduk kembali melanjutkan persoalan tadi, aku tidak akan pulang ke rumahku sampai aku yakin kamu telah benar-benar memahami permasalahan ini.”

Lihatlah bagaimana seorang Imam besar sekelas Al-Syafi’i tidak pernah gengsi untuk mendatangi rumah muridnya dan tidak pernah lelah menunaikan amanah ilmiahnya. Inilah rahasia kehebatan beliau mengkader murid-murid hebat.

Kecintaan dan akhlak mulia Imam Syafi’i sebagai pendidik kepada muridnya tidak hanya dirasakan oleh Rabi’ Al-Muradi, tetapi oleh hampir seluruh muridnya. Tak terkecuali murid-murid yang terkadang berbeda pendapat dengannya.

Adalah Yunus bin Abdil A’la Al-Shadafi pada sebuah majelis dars Imam Syafi’i yang digelar di masjid, terjadi perbedaan pandangan antara ia dengan gurunya. Yunus yang keukeuh mempertahankan pendapatnya pergi meninggalkan majelis Al-Syafi’i dengan perasaan jengkel.

Di malam harinya, Yunus mendengarkan suara ketukan pintu, “Siapa di pintu?”

“Muhammad bin Idris”

Yunus membatin, “Apakah ada di daerah ini yang bernama Muhammad bin Idris selain Al-Syafi’i?”

Setelah Yunus membuka pintu dan melihat siapa yang ada di sana, ternyata betul itu adalah gurunya, yang saat ini terjadi persilangan pendapat antara ia dengannya.

Sang guru dengan bijak dan halus mengatakan sebuah nasehat yang di kemudian hari tertuliskan dengan tinta emas,

“Wahai Yunus, kita sepakat dalam ratusan masalah, maka janganlah perselisihan dalam satu masalah saja membuat kita saling membenci.

Wahai Yunus, janganlah kau selalu berusaha untuk memenangkan pendapatmu dalam setiap masalah. Terkadang, menjaga hati lawan bicaramu itu lebih penting daripada menjaga pendirianmu.

Wahai Yunus, janganlah merobohkan jembatan-jembatan yang telah susah payah kau bangun hanya karena kau telah selesai menyeberanginya, karena bisa jadi pada suatu hari nanti kau akan membutuhkannya untuk kembali.

Wahai Yunus, bencilah kesalahan, tetapi jangan pernah membenci personal orang yang bersalah. Bencilah kepada kemaksiatan, tetapi lapangkanlah dadamu dan beri pintu maaf terhadap orang-orang yang bermaksiat.

Wahai Yunus, kritiklah pendapat, bukan personal pemilik pendapat.

Sesungguhnya tugas dokter itu adalah mematikan penyakit, bukan mematikan orang yang sakit.”

Semoga Allah meridhai Imam Al-Syafi’i dan murid-murid terhebat beliau, dan kita dapat meniru akhlak dan ilmu beliau, sehingga dikumpulkan bersama di surga nanti bersama Baginda Nabi Muhammad ﷺ.