Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KIsah Seorang Ulama Besar Di Rayu Wanita

KIsah Seorang Ulama Besar Di Rayu Wanita

Namanya adalah Sidi Ahmad Al-Dardir (1127-1201 H). Beliau adalah salah seorang ulama besar di Mesir abad ke-12 Hijriah yang merupakan keturunan dari Bani Adi. Bani Adi merupakan marga yang terkenal pemberani dan disegani dahulunya oleh seluruh Kabilah Quraiys Makkah. Dari sanalah Sayidina Umar bin Al-Khattab Radhiyallahu’anhu berasal. Marga “Al-Adawi” ini memiliki persebaran hingga ke Mesir dalam perjalanan mereka menyebarkan Islam. Populasi trahnya terdapat di Kampung Bani Adi, pedalaman Provinsi Asyuth. Kampung yang dalam sejarahnya banyak melahirkan ulama hebat dan pemberani menyuarakan kebenaran.

Nama Sidi Ahmad Al-Dardir pastilah tidak asing di kalangan pelajar ilmu agama. Baik melalui kitab-kitab karyanya dalam bidang Ilmu Akidah, Fikih Madzhab Maliki, Ilmu Balaghah dan Tasawuf. Karena gaya penyusunan yang sistematis, barangkali juga berkat “sir keikhlasan”, kitab-kitabnya sangat diterima menjadi modul pembelajaran (Kutub Ta’limiyyah) dari masa ke masa di dunia Islam. Al-Kharidah Al-Bahiyah misalnya, nazhoman dalam Ilmu Aqidah yang sangat masyhur, yang “Lathifatun shagiratun fil hajmi * lakinnaha kabiratun fil ilmi” (ukurannya kecil dan gampang dihafal, tetapi kandungan ilmunya amat besar).

Namanya juga terkenal berkat murid-murid didikannya yang hebat. Di antaranya Al-Allamah Al-Shawi, yang memiliki hasyiyah atas Tafsir Jalalayn, kitab yang familiar di kalangan pesantren di nusantara.

Khusus bagi pelajar Al-Azhar, sangat kenal nama Abul Barakat ini. Meskipun ada yang tidak mengenal karyanya, setidaknya mereka tau Masjid Dardir tempat pusara beliau yang ada di bilangan Darrasah, yang selain untuk pusat ibadah, masjid berkah ini juga dijadikan pusat talaqqi, tahsin-tahfiz Alquran, atau untuk singgah beristirahat, atau untuk patokan ketemuan.

Sidi Ahmad Al-Dardir pada masa mudanya berguru kepada seorang ulama besar yang satu kampung dan satu marga dengannya, yaitu Syekh Ali Al-Sha’idi Al-Adawi.

Al-kisah, pada sebuah majelis Syekh Al-Sha’idi, di tengah-tengah pembelajaran, Dardir muda minta izin menuju kamar kecil. Dalam perjalanannya ke kamar kecil yang ada di luar, Dardir mendengar panggilan seorang wanita. “Mas Dardir, Mas Dardir, sini!” seru wanita tersebut, “Minta tolong bacakan aku surat!”

Dahulu, karena kebanyakan wanita Mesir buta huruf, setiap mereka mendapatkan surat, mereka biasa meminta tolong sembarang lelaki yang bisa membaca untuk membacakannya. Karena sudah menjadi tradisi, maka dengan polosnya anak muda itu mengiyakan permintaan wanita itu dengan niat membantu. Ia dipersilakan masuk rumah. Sang nyonya menyerahkan secarik kertas dan diam-diam ia telah mengunci pintu. Nyonya itu tiba-tiba mengatakan “Aku tidak menginginkan kertas itu. Yang aku inginkan kamu, Mas Dardir.”

Dardir pun kaget. Ia sadar telah kena jebakan. Sementara sang nyonya terus merayu dan mengiming-imingi berbagai hal jika Dardir bersedia melayaninya.

Bayangkan seorang dengan darah mudanya berada dalam kondisi seperti itu jauh dari pengawasan mata! Tetapi Dardir muda berkat didikan gurunya bergeming dari godaan tersebut. Ia takut kepada Tuhannya. Apapun yang akan mereka berdua lakukan memang aman dari penglihatan siapaun, tetapi tidak luput dari pengawasan Allah. Namun apa yang harus dia lakukan untuk selamat dari jebakan ini?

Setelah kewalahan mencari jalan keluar, dia berkata kepada nyonya “Baiklah, nona. Tapi izinkan aku sebentar ke kamar kecil untuk merapikan diri.”

Di kamar kecil, Dardir membatinkan doa: “Ya Tuhan, sesungguhnya Engkau telah berfirman, dan firmanmu pasti benar:

ومن يتق الله يجعل له مخرجا
“Barangsiapa yang takut kepada Allah, Allah akan memberikan baginya jalan keluar.” (QS. Al-Thalaq ayat 2).

Sekarang takutku kepada-Mu sudah ada, Ya Allah. Lalu di mana jalan keluarnya?”

Selesai berdoa, ia tersilaukan oleh cahaya. Refleks ia mendongak dan melihat ada celah kecil di genteng. Dia memanjat ke celah itu. Tidak mengapa ia melompat dari genteng, walaupun sakit yang penting selamat dari maksiat, pikirnya. Ternyata di atas genteng sudah tersedia tangga. Dia pun memanjat ke bawah melewati tangga tersebut, lolos dari fitnah dan kembali ke majelis gurunya.

Sesampainya di majelis, sebelum ia menceritakan apapun Syekh Al-Sha’idi bertanya: “Dardir, bagaimana tadi tangganya? Bagus kan?”

Pada malam harinya, dalam tidur, Dardir bermimpi bertemu dengan Nabi Yusuf alaihissalam. Putra Nabi Ya’kub itu mengucapkan selamat atas kenajahan Dardir muda melewati ujian yang dulu juga pernah dialaminya saat digoda oleh majikannya, Zulaikha permaisuri sang raja.

Demikianlah kisah yang menjadi bekal sangat penting untuk para pemuda dan pemudi ini yang saya dengar langsung dulu dari Maulana Syekh Toha Rayyan Rahimahullah di Masjid Al-Azhar dalam majelis syarh Shahih Imam Al-Bukhari. Kala itu beliau mensyarahkan hadits “Tujuh Golongan yang Mendapatkan Naungan Allah pada Hari Tiada Naungan Selain Naungan-Nya” salah satu dari tujuh golongan yang amat beruntung ini adalah: lelaki yang digoda oleh wanita cantik dan berpangkat, tetapi sang lelaki menolak dan mengatakan “Inni Akhafullah” (Sesungguhnya aku takut kepada Allah). Menurut beliau, walaupun redaksi haditsnya menggunakan kata Rajulun (Lelaki), ini juga berlaku pada perempuan ketika digoda oleh lelaki dan dia mengatakan “Aku Takut kepada Allah.”

Banyak orang-orang yang ingin Allah naikkan derajat-Nya, Allah uji dengan ujian serupa. baik itu ujian tentang Wanita, dalam masalah harta dan ujian dalam masalah kedudukan dan tahta. Semoga kita selamat dari fitnahnya.