Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Latar Belakang Berdirinya Dinasti Mamalik di Mesir

Latar Belakang Berdirinya Dinasti Mamalik di Mesir




Pada pertengahan abad 13 Masehi, Mesir pada saat itu masih berada di bawah kekuasaan Dinasti Ayyubiah terancam bahaya besar oleh agresi Tentara Salib dengan jumlah pasukan sangat fantastis di bawah komando Raja Prancis Louis IX, seorang raja yang terkenal taat menjalankan agama dan wara’ dari kemewahan.

Pasukan dikerahkan atas nama perang suci bela agama, guna merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan kaum muslimin yang sebelumnya telah direbut oleh Umat Islam di masa Salahudin Al-Ayyubi tahun 1189 M. Mesir dipandang oleh Tentara Salib sebagai juru kunci Baitul Maqdis. Untuk merebut tanah suci itu, hal pertama yang mesti dilakukan adalah menundukkan Mesir.

Tidak dipungkiri ada motif ganda (ekonomi politik) dari agresi yang dilancarkan ini, sebab Mesir saat itu adalah pusat perdagangan Internasional dan jalur utama yang dilalui para saudagar mancanegara. Dengan kehilangan Mesir, kaum muslim akan kehilangan daerah yang kaya dan strategis, serta akan berpengaruh pada jumlah pasukan maritim yang menjaga Laut Mediterania.

Karena itu, tak heran, perebutan Mesir telah diupayakan berkali-kali sebelum Raja Louis IX. Termasuk oleh Raja Inggris Richard sang hati singa, melancarkan agresi ketiga berbahaya tahun 1189-1192 yang untungnya mampu digagalkan oleh Sultan Shalahuddin. 30 tahun sebelum Louis, pada tahun 1221 M, digencarkan kembali Agresi Salib kelima, yang juga gagal.

Baca juga: Latar Belakang Berdirinya Dinasti Ayyubiyah di Mesir

Kali ini (pada agresi ke-9), Raja Prancis ini tidak ingin lagi gagal merebut Mesir mewujudkan impian semua Tentara Salib sebelumnya merebut kembali Baitul Maqdis dan Bumi Syam. Dan mengangkat kembali wibawa Salib.

Apalagi semangatnya itu ditambah karena konon, Louis IX pernah menderita sakit yang membuatnya hampir mati. Saat itulah dia bernazar apabila Tuhan memberikannya kesembuhan, maka akan mengerahkan tantara Salib untuk merebut Baitul Maqdis. Pope Ounsent III memberikan dukungan penuh dari Gereja Eropa atas proyek Louis. Sebab ini adalah pertarungan hidup dan mati, mengingat Louis adalah permata bagi Eropa, sebagai raja filantropis yang taat dan selalu memberikan perhatian besar kepada gereja.

Tantara Salib memilih Dimyath sebagai target utama penyerangan. Realitanya serangan Louis IX ini benar-benar amat berbahaya bagi Mesir dibandingkan serangan-serangan Salib sebelumnya, sebab agresinya ini digerakkan berdasarkan persiapan yang sangat matang dan strategi terukur. Yang memimpin agresi tak lain, langsung seorang raja yang notabene menjadi raja paling besar di Eropa saat itu, taat beragama dan memiliki fanatisme tinggi terhadap Salib.

Ditambah, kondisi pemerintahan Mesir yang tengah bergelut dengan permasalahan internal yang kompleks. Di antaranya, ketika pasukan Salib menancapkan belalainya di Dimyath, penguasa Dinasti Ayyubiah saat itu Sultan Salih Najmuddin Ayyub sedang menderita sakit. Dia sedih, seharusnya pasukan melawan Tentara Salib ini mestinya dipimpin olehnya langsung menyambut tantangan Raja Prancis. Karena kondisi sakitnya betul-betul tidak memungkinkan, diapun mempercayakan menterinya Fakhrudin Yusuf sebagai panglima. Memberi intruksi sesegera mungkin berangkat ke Dimyath yang menjadi sasaran, untuk menghalangi musuh mendarat. Dia juga mengerahkan segala bentuk pertolongan yang bisa diberikan ke Kota Dimyath.

Meskipun susunan pertahanan pasukan Mesir sudah diperkuat sedemikian rupa, Tentara Salib ternyata berhasil menembus dan menapakkan kakinya di Dimyath dan menguasainya pada Juni 1249 M. Fakhruddin terpaksa menarik mundur pasukannya.

Kaum Muslimin benar-benar dikagetkan oleh kejatuhan Dimyath di tangan Salib. Insiden ini membuat Sultan Salih Ayyub amat sedih. Dia membentak tantara mamaliknya, memurkai atas ketidaktotalitasan mereka mempertahankan gerbang negara. Dia mencopot sekitar 50 jenderal dari Bani Kinanah yang dilaporkan lari meninggalkan medan pertempuran.

Di saat gentingnya situasi, sakit yang diderita Sultan Salih kian parah sampai dokter angkat tangan. Diapun meninggal November 1249.

Ajal Salih tiba di saat-saat situasi komplek. Masalahnya dia belum mempersiapkan siapa yang akan menggantikan kedudukannya, kebutuhan pemimpin sudah sangat mendesak untuk menahkodai perlawanan atas Salib.

Di saat genting itulah, permaisurinya Syajaratud Dur muncul ke permukaan. Dia telah memperkirakan sebelumnya situasi ini akan terjadi. Diapun menyembunyikan berita kematian suaminya agar tidak memicu kekagetan kaum Muslimin, melemahkan mental mereka dan menimbulkan pertikaian penerus kekuasaan sebagaimana yang lumrah terjadi pada sistem monarki. Berita kematian sang sultan juga apabila tercium oleh Tentara Salib, akan kian menambah kepercayaan diri mereka meledakkan serangan.

Di saat yang sama, Syajaratud Dur mengirim utusan untuk menjemput putra sulung Salih, bernama Turansyah yang saat itu bertugas di benteng Kifa (Suriah), agar segera ke Mesir mengganti posisi ayahnya.

Sementara menunggu ketibaan Turansyah Syajaratut Dur dengan cekatan mengamankan stabilitas dan mengelola pemerintahan, bekerjasama dengan menterinya Fakhrudin Yusuf.

Sayangnya, betapapun upaya menyembunyikan berita kematian sang sultan, pasukan Salib akhirnya mengendusnya. Merekapun tak mau menyia-nyiakan situasi itu. Dengan sigap mereka mempersiapkan pukulan telak kedua sebelum Mesir pulih dari pukulan pertama.

Mereka meninggalkan pos Dimyath dan langsung merangsek maju menuju Manshurah. Pasukan Angkatan laut Mamalik di bawah pimpinan Farisuddin Aqthay tak membiarkan hal itu dan menggerakkan pasukkanya untuk menghadang. Sayangnya, lagi-lagi Salib berhasil menundukkan pasukan Muslimin dan sukses mencengkramkan tapakan kaki di Manshurah.

Situasi semakin mencekam bagi rakyat Mesir. Untungnya Turansyah sampai di Mesir saat itu. Kematian Sultan Salih Ayyub pun secara resmi diumumkan. Kendali pemerintahan yang sempat dipegang sementara oleh Syajaratut Dur diserahkan kepada sang putra mahkota, Turansyah.

Sultan baru itu mengatur kembali strategi pasukan. Menggabungkan Mamalik Bahriah pasukan milik ayahnya, digabungnkan dengan pasukannya sendiri yang ia bawa dari Benteng Kifa. Ajaibnya di bawah kepemimpinan Turansyah, Pasukan Mamalik mampu mengakhiri Pertempuran Fraskur di Mansurah melawan pasukan Shalib dengan kemenangan. Tekanan terus-menerus yang diberikan pasukan Mamalik memaksa mereka lari mundur ke pos sebelumnya di Dimyath.

Ironis bagi kubu Salib, Sang Raja Louis IX sendiri jatuh sebagai tawanan.

Sayangnya Turansyah sebagai sultan baru bukanlah pemimpin yang ideal bagi negara yang dibutuhkan di tengah situasi saat itu. Dia terkenal dengan sosoknya yang arogan, tidak cermat mengambil kebijakan, serta tidak menguasai perpolitikan dan tata kelola pemerintahan. Sejak ketibaannya dari Benteng Kifa, dia terlalu jumawa atas kemenangan yang diraihnya dan melupakan jasa perjuangan Pasukan Mamalik milik ayahnya. Dia juga lupa, Mamalik-lah yang telah menjaga kekuasaan untuk sampai dengan aman kepada dirinya.

Turansyah melakukan perombakan besar-besar untuk jabatan Wangsa Mamalik yang selama ini dijadikan oleh ayahnya sebagai kaum elite di negara. Ia menggantikan mereka dengan Mamaliknya sendiri. Setiap ada yang berani menentang kebijakannya, ia mengancam dan mencopot jabatan mereka.

Diapun bersikap antipati kepada ibu tirinya Syajaratud Dur yang telah menjaga kerajaan untuknya. Dia menuduh ibu tirinya menyembunyikan warisan kekayaan ayahnya dan mengintimidasinya. Diapun takut akan ultimatum anak tirinya dan mengadu kepada satuan Mamalik Bahriah sebagai anak didik suaminya untuk meminta bantuan mereka.

Turansyah juga dihasut oleh Mamalik yang ia bawa dari benteng Kifa. Mereka memprovokasi sultan baru itu untuk menendang posisi Mamalik Bahriah dan Syajaratud Dur, agar ia leluasa mengatur pemerintahan.

Sebab monopolinya itu, terbentuklah kebencian Mamalik Bahriah kepadanya. Merekapun bekerjasama dengan Syajaratud Dur membuat gerakan bawah tanah untuk menghabisi Turansyah.

Dalam upacara memperingati kemenangan Perang Fraskur 1250 M dan persiapan merebut kembali Dimyath, konspirasi antara para gubernur Mamalik Bahriah itu terlaksana. Turansyah dihabisi oleh di Farisuddin Aqthay Beibers Al-Bunduqdari.

Pasca pembunuhan Turansyah, Mamalik Bahriah otomatis naik pangkat menjadi anggota majelis permusyawaratan negara. Masing-masing gubernur memiliki ambisi untuk menduduki singgasana Sultan. Di satu sisi, masih ada keluarga Ayyubiyun di luar Mesir yang merasa berhak meneruskan dinasti mereka, apalagi merasa harga diri keluarga mereka tercabik dengan dibunuhnya Turansyah dan hendak menuntut pembalasan.

Akhirnya, Mamalik mengambil langkah tanggap mengakhiri sengketa. Sepakat memilih Syajaratud Dur Ummu Khalil, istri Shalih Ayyub untuk menduduki kekosongan tahta Mengingat kecakapan yang dimiliki Syajaratud Dur dan pengalaman luasnya soal tata-kelola negara, karena kerap terlibat dalam urusan negara bersama suaminya. Selain itu, asal-muasal Syajaratud Dur adalah bekas budak ras Armenia atau Turki yang dibeli oleh Salih Ayyub yang lalu ia merdekakan dan ia nikahi. Karena itulah Mamalik yang memiliki fanatisme tinggi terhadap kaum budak menerimanya. Karena itu pula sekelompok sejarawan menyebut Ratu Syajaratud Dur ini sebagai penguasa pertama Dinasti Mamalik Bahriyah dan Turansyah sebagai penguasa terakhir Ayyubiah. Sementara kelompok sejarawan lain menyebutnya sebagai penguasa terakhir Dinasti Ayyubiah di Mesir, karena dia masih terhitung dari kalangan keluarga Ayyubiah sebagai istri raja Salih Ayyub, dan Muiz Aibey lah penguasa Mamalik pertama di Mesir.

Masa pemerintahan sang ratu yang dilantik Mei 1250 M terhitung sebagai masa transisi. Dia mampu memegang kendali pemerintahan Mesir dengan kuat. Terkenal dengan kelihaian berpolitik. Setelah tegak di kursi kekuasaan, ia menarik hati para pejabat, militer dan rakyat sipul. Ia menyenangkan para gubernur dengan memberikan tugas-tugas otonomi kehormatan dengan memperbanyak pemekaran daerah. Anggaran negara ia alokasikan secara besar untuk menaikkan gaji tantara, sehingga baik yang berpangkat atau tidak senang dengan sang ratu. Begitupun pajak ia ringangkan.

Misi pertama sang ratu anyar tak lain menemukan titik mufakat dalam perundingan yang sudah mulai didiskusikan sejak masa Turansyah bersama tantara Salib yang masih menduduki Dimyath.

Louis IX masih terbelenggu dalam status tawanan di tangan kaum muslimin di Manshurah. Tetapi Dimyath masih berada di bawah kekuasaan tantara Salib Prancis yang bisa menjadi bom waktu bagi Mesir dan Mamalik, terutama apabila Eropa mengirimkan tantara Salib tambahan. Oleh karena itu, setelah meredakan permasalahan-permasalahan internal, Sang Ratu segera mengalihkan focus negara mencari solusi dengan Kaum Salib.

Dimulailah diplomasi antara kedua kubu. Sang Ratu mengutus Gubernur Husamudin Al-Hadzbani sebagai juru bicara, mengingat kecerdasan dan kehebatannya menimbang konsekuensi setiap keputusan, serta kaya pengalaman sejak sering menjadi kepercayaan Sultan Shalih. Sedangkan kubu Louis IX mempercayakan William dan Jane Kount sebagai juru diplomatnya.

Beberapa pasal yang disepakati dari perundingan tersebut adalah:

1. Raja Louis IX mengambalikan Kota Dimyath kepada Bangsa Mesir.

2. Salib melepas semua tawanan muslimin yang berada dalam tahanan mereka.

3. Salib berjanji tidak akan lagi menyerang pesisir negara-negara Islam lagi.

4. Louis membayar sebesar 500.000 Dinar sebagai tebusan dirinya, semua tawanan Nasrani sejak Raja Adil Ayyubi, serta kompensasi atas pengrusakan-pengrusakan yang mereka buat di Dimyath.

5. Kaum muslimin berjanji akan merawat para tantara Salib yang masih sakit dan belum bisa kembali, serta menjamin logistic mereka sampai mereka siap untuk kembali.

Sebenarnya sempat terjadi kemelut internal di pihak pembesar Mesir dalam menentukan status Louis IX ini, apakah sepantasnya dilepas ataukah tetap ditahan. Pembesar ini terbagi menjadi dua kubu. Kubu pertama mendukung pembebasan Louis. Sedangkan kubu kedua yang diisi oleh sang Jubir Aqthay Husamudin Al-Hadzbani memilih tetap menahan dengan alasan sebagai berikut:

- Louis menyaksikan peristiwa pengkudetaan Turansyah oleh para gubernur. Dan ini adalah aib untuk diketahui pihak luar, apalagi pembesar musuh.

- Melihat pengaruh dan kedudukan religious Louis di Eropa yang sangat penting.

- Adapun permasalahan Dimyath sebenarnya bisa diatasi dengan mudah tanpa harus dibarter dengan Louis.

Tetapi Syajaratud Dur tetap memenangkan usulan pertama. Belakangan akan nampak bahwa kebijakan ini kesalahan fatal dan berbahaya bagi sang ratu (kalau ada kesempatan, akan kita ceritakan bentuk blunder ini).

Louis IX pun kemudian dibebaskan bersama beberapa pembesar yang tertawan setelah membayar dendanya. Ia dan pengikutnya berlayar kembali ke Aka, 8 Mei 1250, diiringi sorak-sorai gembira rakyat Mesir.

Dengan demikian berakhirlah agresi tantara Salib yang ketujuh, beriringan dengan berakhirnya Daulah Ayyubiah dan dimulainya era baru Mamalik Bahriah. Ratu Syajaratud Dur telah menorehkan prestasi mempertahankan Mesir dari bahaya yang mengancam negara di detik-detik terakhir hayat suaminya Raja Salih Najmuddin Ayyub.

Diadakan seremoni kegembiraan di setiap daerah Mesir dan semua wilayah Islam, merayakan kemenangan yang didapatkan tantara Mamalik melawan tantara Salib. Para tantara kembali ke Ibu Kota di Kairo 13 Mei 1250 M.