Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Keistimewaan Penulis Kitab Musnad Dari Andalusia

Keistimewaan Penulis Kitab Musnad Dari Andalusia

Kitab Musnad Baqiy bin Makhlad merupakan kitab kompilasi hadits terbesar yang dahulu dikumpulkan dengan pengorbanan yang sangat besar penulisnya. Jika jumlah hadits dalam Musnad Imam Ahmad mencapai 27 ribuan buah, bisa jadi Musnad Baqi bin Makhlad mencapai 30 ribuan hadits. Pertanyaannya, di manakah kini naskah musnad itu berada?

Kali ini mari kita simak senandung kisah menakjubkan tentang pemuda asal Cordoba bernama Baqiy bin Makhlad Al-Qurtubi (201-276 H). Salah seorang Ulama esensial yang mendedikasikan umurnya untuk merawat Sunnah Nabi SAW, demi menyuguhkan warisan berharga bagi kita generasi umat Islam setelahnya.

Ibnu Makhlad mengawali pendidikan di tanah kelahiran nun jauh di Andalusia sana. Berguru pada Imam Yahya bin Yahya Al-Laitsi, murid Imam Malik dan periwayat Al-Muwwattha yang saat ini versinya paling muktamad. Setelah belajar dari guru-guru lokal, Ibnu Makhlad lanjut berkelana menuju banyak negeri, salah satunya menuju negeri 1001 malam.

Jika kita membaca istilah geografis dalam turats, penduduk daerah Maroko ke barat kerap di sebut Ahlul Maghrib. Sedangkan penduduk Irak ke timur disebut Ahlul Masyriq. Jauhnya bentangan jarak antara wilayah itu bagaikan kutub timur dan barat. Tak heran rumpun keilmuan, metode dan produk pemikirannya memiliki ekslusifitas tersendiri. Siapalah yang rela memforsir tenaga memecah bentangan jarak itu?

Tidak dengan Ibnu Makhlad. Jiwa eksploring ilmahnya tersulut untuk berangkat menuju Bagdad guna menjumpai Imam Ahmad bin Hanbal. Aral melintang yang terbayang akan ia temui tidak membuatnya gentar demi menemui imam sunnah terbesar di masa itu. Lebih hebatnya, menurut cerita terpercaya, Ibnu Makhlad berjalan dari Andalus menuju Bagdad berjalan kaki.

Beratnya kesulitan yang dialami sepanjang perjalanan. Dengan kesabarannya, sedikit demi sedikit ia terus mendekati garis finish. Mana kala gerbang kota Bagdad sudah ada di depan matanya, saat sepantasnya ia menyemburatkan senyum sumringah,

Tetapi ia mendapat kabar ironis. Telah terjadi musibah besar pada Imam Ahmad.

Saat peristiwa mihnah yang digencarkan oleh penguasa Mu’tazilah saat itu, Imam Ahmad dihukum karena kelantangannya menentang doktrin “bahwa Alquran adalah makhluk, bukan kalamullah”. Semua aktifitas Imam Ahmad dilarang, ia menjadi tahanan. Pun siapa yang datang belajar kepadanya akan ditangkap.

Remuk hati Ibnu Makhlad mendengar asa yang jauh-jauh ia kejar dari Andalus kini di ambang pupus. Ia menatap ke belakang merenungi ribuan jejak yang telah ia tapaki. Menatap ke depan lagi, kedatangannya disambut oleh derai air mata keprihatinan atas musibah besar yang dihadapi sang imam besar. Apakah sia-sia semua langkah ini?

Dengan pasrah ia memasuki Baghdad, menyewa penginapan, memutar otak menerka-nerkah apa yang akan ia lakukan. Esok harinya ia menuju masjid besar. Ia menjumpai ramai orang menghadiri majelis. Ternyata itu adalah majelis Imam Yahya bin Ma’in, salah satu partner terbaik Imam Ahmad. Salah satu tokoh utama dalam bidang al-Jarh wa al-Ta’dil.

“Wahai Abu Zakaria. Saya adalah orang asing yang jauh dari kampung halaman. Perkenanlah saya untuk bertanya beberapa hal!” Ibnu Makhlad meminta izin dan Ibnu Ma’in mempersilahkan.

Pertanyaan Ibnu Makhlad berkisar seputar ketsiqahan beberapa ulama, sesuai dengan kepakarannya. Sebagian dipuji dan sebagian diungkap sisi kelemahannya oleh Ibnu Ma’in. Ia terus bertanya banyak hal sampai akhirnya mendapat teguran dari murid-murid Ibnu Ma’in, “Cukupkan lah pertanyaan Anda. Orang-orang lain juga ingin bertanya.”

“Baik, satu pertanyaan terakhir. Bolehkah?” Pinta Ibnu Makhlad.

Ia diperkenankan.

“Bagaimana pendapat Anda tentang Ahmad bin Hanbal?”

Mendengar pertanyaan itu, Ibnu Ma’in refleks menatap tajam dan berkata, “Orang seperti kita ini? Orang seperti kita ini mau menilai orang sekelas Ibnu Hanbal? Dia adalah imam umat Islam yang terbaik dan terutama saat ini.”

Pernyataan Imam Ibnu Ma’in itu kian menambah cinta dan memantapkan niatnya untuk menemui sosok yang ia cari. Tidak peduli apapun yang menghalangi jalannya. Dari masjid ia minta untuk diarahkan letak tahanan Imam Ahmad.

Ibnu Makhlad mengetuk, Imam Ahmad menyahutinya dari balik tahanan.

“Wahai Imam, aku ini adalah perantau asing, yang teramat jauh dari kampung asal. Aku tidak tau kota ini. Aku adalah pelajar hadits dan penulis sunnah. Tujuanku kemari tidak lain, untuk menemuimu.” Ungkapnya memelas.

“Baiklah. Masuklah pelan-pelan lewat lorong belakang. Jangan sampai ada mata yang mengintaimu.” Imam Ahmad mempersilahkan.

Setelah bertemu, Imam Ahmad bertanya, “Dari mana asalmu?”

“Dari Magrib paling ujung.”

“Afrika?”

“Lebih jauh dari Afrika. Negeriku adalah Andalusia.”

“Ya Allah. Negerimu jauh sekali,” Imam Ahmad iba, “Sesungguhnya tiada yang lebih aku sukai selain melayani pelajar yang ingin belajar sepertimu. Akan tetapi kondisiku saat ini sedang dalam masa tahanan yang barangkali kamu sudah tau.”

“Aku sebenarnya sudah tau. Tetapi aku punya ide.

Ini adalah pertama kali aku datang ke Baghdad, tiada penduduk setempat yang mengenaliku. Dengan demikian aku bisa datang kepadamu setiap hari dengan penampilan pengemis. Di pintu aku akan memanggilmu dengan seruan meminta-minta, lalu engkau keluar ke sini dan meriwayatkan kepadaku satu hadits. Kalau engkau hanya bisa memberikan satu hadits perhari, itu saja cukup.”

“Baik. Tapi dengan syarat, kamu jangan memunculkan diri di masyarakat, tidak pula kepada sesama muhaddits di sini agar maksudmu tidak sampai teridentifikasi.”

“Aku terima syaratnya.”

Ibnu Makhladpun merubah total penampilannya. Ia lilit kepalanya dengan sobekan serban lusuh. Mengenakan pakaian yang koyak-koyak. Membuat sebuah tongkat sendiri untuk memantapkan penampilannya sebagai orang faqir. Ia mendatangi tahanan Imam Ahmad, “Minta uang! Semoga Allah memberikanmu rezeki.”

Setiap kode permintaan itu didengar, Imam Ahmad keluar dan menyedekahkannya dengan dua sampai tiga buah hadits. Begitulah skema seterusnya tiap hari. Hingga tibalah masanya perdana Menteri (Ibnu Abi Du’ad) yang menjadi biang kerok peristiwa Mihnah, tirani Muktazilah hilang tajinya. Kembali ke tangan pemerintah berideologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Imam Ahmad dibebaskan dari tahanan. Menemukan kembali momentumnya untuk menebar manfaat. Kian mentereng sebagai guru sejuta umat. Orang-orang mendatanginya dari berbagai penjuru. Tetapi beliau tidak lupa akan kesabaran Ibnu Makhlad. Setiap Ibnu Makhlad datang ke majelisnya, ia meminta orang-orang untuk menyediakan tempat duduk khusus, dan menceritakan kisah inspiratif dan kesabaran itu kepada murid-muridnya yang lain.

Ibnu Makhlad pun bisa semakin intens bertemu. Melengkapi hadits yang belum didengarkan. Catatan-catatannya kembali dirapikan dan dikoreksi di hadapan guru besarnya.

Singkat cerita ia kembali ke negerinya. Di sana ia menggarap dua mega proyek ilmiah yang luar biasa.

Satunya Musnad, salah satu varian penyusunan kitab sunnah dengan format pengurutan berdasarkan nama sahabat perawi teratas. Satunya lagi kitab Tafsir Alquran, yang menurut penilaian ulama yang menganalisanya, merupakan salah satu tafsir terbaik.

Pertanyaannya, di mana naskah musnad yang telah dikumpulkan dengan penuh pengorbanan itu dapat kita temukan sekarang?

Sayang sekali... Jawabannya mengiris hati. Ternyata tidak ada satupun manuskripnya yang masih tersimpan di perpustakaan atau museum penyimpanan manuskrip milik umat Islam dari timur hingga ke barat.

Satu-satunya naskah tulisan tangan Musnad Baqi bin Makhlad yang tersisa ternyata ada di salah satu perpustakaan di Berlin, Jerman. Sebagaimana hasil penelusuran pemerhati turats, di antaranya Dr. Akram Dhiya Al-Umari, mengutip Al-Muhaddits Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfuri di mukaddimah kitabnya Tuhaftul Ahwadzi.

Perpustakaan di beberapa negara Eropa memang memberikan perhatian besar pada turats Islam. Prancis misalnya. Berdasarkan data yang diperoleh oleh para filolog, terdapat lebih dari 8,500 buah manuskrip peninggalan ulama Islam. Sementara Jerman diperkirakan menyimpan sekitar 40.000 buah manuskrip, sekaligus memiliki atensi besar dengan sistem kepustakaan yang mapan dalam memelihara, merapikan, mengindeksasikan, memback-up dan mempublikasikan.

Di antara faktor yang ditengarai menjadi penyebabnya adalah, dahulu ketika ada krisis, beberapa orang muslim sering menggadai kitab yang mereka miliki kepada pendatang dari Eropa, atau untuk sebagai hadiah. Lalu mereka menjaganya dengan sangat baik.

Di sini kita bertanya, mengapa mereka memiliki perhatian besar dalam menjaga turats, sebaliknya kita mengabaikan pusaka peninggalan nenek moyang sendiri.