Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Asal Mula Fisika Dalam Peradaban Klasik

Asal Mula Fisika Dalam Peradaban Klasik

Manusia mengenal berbagai sisi ilmiah dari fisika hingga ketika masih hidup secara natural, dengan berupaya memanfaatkan berbagai sumber daya alam dan mengendalikannya demi memenuhi keinginan dan kepentingannya.

Manusia telah mendapatkan petunjuk dengan menyalakan api untuk memasak, menghangatkan tubuh, dan menerangi gua-gua yang digunakannya sebagai tempat tinggal. Manusia berinteraksi dengan bebatuan besar dengan menggerakkan dan memindahkannya dari satu tempat ke tempat lainnya untuk dijadikan sebgai peralatan makan dan minumnya atau digunakannya untuk memotong, membelah dan melubangi, serta membuat persenjataan sederhana.

Ketika manusia mengalami kemajuan hingga mencapai dasar pengetahuan yang sesungguhnya dan memasuki periode sejarah, maka manusia mulai mencari faktor yang mendukung kemajuan peradaban, seperti di Mesir, India, Cina dan Mesopotamia hingga memiliki beberapa pengetahuan dan persepsi mengenai fenomena alam yang berkaitan dfengan hidupnya dan kebutuhannya. Mereka mendapatkan pengetahuan ilmiah dan membuat berbagai peralatan yang memudahkan untuk memanfaatkan fenomena alam tersebut. Mereka juga saling bertukar pengalaman ini dan mentranspormasikannya dari bangsa yang satu dengan bangsa lainnya melalui petualangan dan ekspedisi untuk berniaga maupun berperang.

Ketika bangsa Mesir kuno menggunakan katrol dengan berbagai bentuknya seperti dayung, shadoof, dan water pas. Atau juga ketika bangsa Babilonia menggosok barang-barang mineral, dan melapisi bejana yang terbuat dari tembaga dengan menggunakan lempengan logam untuk mencegah karatan, atau ketika bangsa Yahudi mencampurkan tembaga dengan lempengan logam untuk menghasilkan lembaga yang berwarna kuning . maka pada dasarnya mereka itu melakukan aktifitas yang berkaitan dengan ILMU FISIKA. Bersamaan dengan berjalannya waktu , maka fisika mengalami perkembangan yang sangat pesat dan berpacu dengan perkembangan pemikiran manusia hingga pengertiannya mengkristal untuk pertama kalinya pada masa peradaban GREECE atau Yunani Kuno yang menjadi saksi terlahirnya ilmu dan filsafat dari segi pembentukan teorinya yang bertumpu pada metode logika murni, sebab materi eksperimen ilmiah tidak terbentuk sebelumnya dalam peradaban timur.

Kami perlu menjelaskan seperti itu karena khawatir jika kata “terlahir” difahami bahwa ilmu Yunani merupakan cikal bakal ilmu kontemporer dan titik tolak perkembangannya. Hal ini sebagaimana pendapat yang banyak diungkapkan para pakar sejarah yang tertipu dnegan semua itu.

Akan tetapi peneliti yang objektif tidak mungkin melupakan atau mengabaikan kemajuan peradaban bangsa kuno sebelum periode Greece (Yunani Kuno) dan telah lebih awal dibandingkan dengan nya dalam kesejarahan, seperti bangsa Babilonia, Asyuria, dan Mesir Kuno. Terlebih lagi dapat dipastikan dalam sejarah bahwa Miltus yang merupakan tempat kelahiran tokoh Filsafat Yunani, merupakan pusat perniagaan bangsa Lonia . sedangkan Lonia sendiri ketika itu banyak berinteraksi dengan Bangsa Mesir Kuno dan Daerah Mesopotamia.

Pada abad keenam sebelum Masehi, muncul tokoh-tokoh filsafat terkemuka seprti Tales, Anaximender, dan Anaximenes sebagai tokoh filsafat pertama di Miltos. Hingga kemudian mereka dikenal dengan nama Miltiyyin atau Ath-Thabi’yyin. Mereka pun mendirikan sekolah gaya Plato dan Aristoteles yang merupakan generasi sesudahnya, serta menggunakan metode kemajuan rasionalitas akal untuk mengungkap prinsip-prinsip yang berkaitan erat dengan berbagai fenomena alam yang senantiasa berubah.

Para pakar sejarah mencatat bahwa hampit tidak ada filosof Lonia yang mendalami beberapa teori geometri dan mendengar bahwa fenomena langit akan melakukan perputaran kembali dari awal kecuali, ia mempersiapkan diri ntuk meneliti tentang hukum yang melatarbelakanginya di setiap tempat dalam alam ini. Ia akan senantiasa berusaha membangun sebuah aliran pemikiran yang bertujuan mengetahui sistem yang berlaku pada alam raya ini.

Berdasarkan kenyetaan ini, maka tidak mengherankan jika dalam kurun waktu dua hingga tiga abad, mereka mampu menemukan teori tentang gerhana , bulat bumi, dan hakikat perputaran layaknya planet-planet yang bergerak lainnya di sekitar orbitnya. Kecerdasan para filosof Greece ini secara alamiah nampak nyata dalam persepsi mereka yang jelas terhadap berbagai permasalahan yang menjadi perhatian mereka untuk menyelesaikan dan mencari kebenarannya, yang tersirat dibalik segala eksistensi.

Di samping kemajuan yang ditorehkan oleh bangsa Greece dalam pemikiran teoritis dan merumuskan hukum-hukum alam yang mampu membangkitkan akal dan mengingatkannya tentang fenomena alam sekitarnya, maka warisan budaya bangsa Greece penuh dengan berbagai teori penting dan karya ilmiah yang benar dalam bidang ilmu-ilmu fisika.

Aristoteles menemukan ide tentang katrol ketika mengatakan: “Jika kekuatan yang kecil itu dipergunakan untuk mengangkatbenda yang lebih jauh dari pengungkit, maka akan lebih mampu menggerakkan beban yang lebih besar ke sisi lain dengan mudah dibandingkan dengan kekuatan yang lebih dekat dengan pengungkit. Sdebab titik yang jauh dari pengungkit akan membentuk basis lingkaran atau kekuatan lebih besar di sekitarnya dibandingkan yang dibentuk titik yang dekat”.

Archimedes memberika kontribusi dalam menemukan hukum katrol atau derek dengan ketiga posisinya:

Ketika tuas atau pengungkit berada di tengah, sedangkan beban dan gaya berada di kedua ujungnya.
Ketika pengungkit tersebut berada di salah satu dari kedua ujungnya sedangkan beban berada di tengah.
Ketika pengungkit itu berada di salah satu dari dua ujungnya, sedangkan beban berada di ujung yang lain.Dalam semua posisi, maka jika gaya atau kekuatan yang dibutuhkan untuk mengangkat beban lebih dekat dengan tuas, maka akan terasa lebih berat. Begitu juga sebaliknya.

Archimedes berkontribusi dalam menemukan prinsip berat massa dan merumuskan hukum pengambangan yang dikenal dengan namanya.

Para ilmuwan Yunani secara umum melakukan pengamatan acak terhadap beberapa fenomena alam seperti yang diperkenalkan Tales. Thales yang mengatakan bahwa batu amper akan menarik benda-benda yang ringan jika digosok secara terus menerus .

Begitu juga dengan pernyataan Euclides dan Ptolomeus mengenai cahaya. Meskipun keduanya mengkritik teori radiasi Plato. Yaitu teori yang menyebutkan bahwa jauhnya bayangan dibalik cermin datar sama dengan jauhnya seseorang di depan cermin tersebut. Gambar dalam cermin terlihat terbalik dari satu sisi. Dan cermin cekung dan lensa yang memantulkan cahaya jika diarahkan pada sesuatu, maka berpotensi terbakar atau membakarnya.

Sumber:

Buku Sumbangan keilmuan Islam Pada Dunia oleh: Prof. Dr. Ahmad fuad Basya