Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Studi Kritis Memahami Hadits Da'if

Studi Kritis Memahami Hadits Da'if

PENYEBAB larisnya Hadits lemah, munkar dan palsu adalah karena dikalangan mayoritas khatib dan penceramah ada mengeneralisasi pandangan mayoritas para ulama yang memperolehkan meriwayatkan Hadits lemah tentang keutamaan amal, masaah zuhud, anuran, peringatan, penuturan kisah dan masalah lainnya yang tidak ada hubungannya dengan kelima hukumsyari’at: haal, haram, makruh, wajib dan sunnah.

Tentang hal tersebut, Imam al-Munziri dalam muqaddimah bukunya At-Targhib Wat Tarhiib mengatakan: “para ulama memperbolehkan tidak teralu teliti dalam meriwayatkan Hadits-Hadits yang berkenaan dengan anjuran, memberi peringatan, sehingga banyak dari mereka yang meriwayatkan Hadits pasu tanpa menjellaskan kedudukannya".

Perkataan yang senada diucapkan oleh Al-hakim dalam Mustadraknya. Pada permulaan bab do’a beliau menyebutkan: “Saya dengan izin Allah menuturkan Hadits-Hadits yang gugur dalam pandangan Asy-Syaikhani (Al-bukhari dan Muslim) dalam kitab Ad-Da'awaat menurut mazhab Abu Sa’id, Abdurrahman bin Mahdi dalammasalah penerimaannya”. Kemudia ia menuturkan perkataannya dengan sanadnya: “Bila meriwayatkan Hadits dari Rasulullah tentang, halal, haram, dan hukum lainnya, kami ketat daam masalah sanadnya dan kamilakukan kritikan terhadap orang yang meriwayatkannya. Akan tetapi apabila kami meriwayatkan Hadits-Hadits tentang keutamaan amal, tentang pahala, siksa, hal-ha yang diperbolehkan dalam masalah do’a maka kami tidak terlalu ketatdalammasalah sanad-sanadnya.

Al-Khatib dalam Al-Kifaayah dengan sanadnya meriwayatkan dari Ahmad Bahwa beliau berkata: “ Bila kami meriwayatkan Hadits dari Rasulullah tentang halal, haram, sunnah dan ukum-hukum lainnya maka kami ketat dalam masalah sanadnya. Dan bila kami meriwayatkan Hadits dari Nabi Muhammad tentang keutamaan perbuatan dan yang tidak menentukansuatu ukum dan tidak dihubungkan dengan beliau,kami tidak terlalu ketat dalam masalah sanadnya”. Katanya lagi: “Hadits tentang penghambaan oleh jadi diriwayatkan dengan tidak memperhatikan sanad-sanadnya sampai terdapat yang berkaitan dengan masalah hukum”.

Dari Abu zakaria al-Anbari mengatakan: “Bila ada Hadits yang tidak mengharamkan yang halal, tidak menghalalan yang haram, tidak mewajibkan suatu hukum , berhubungan dengan anjuran dan peringatan atau peringanan, maka kita harus menutup mata dari padanya dan tidak terlalu ketat dalam meriwayatkannya”. Tetapi sampai sejauh mana kita harus menutup mata dan bersikap longgar terhadap sanad-sanad ini..?

Sebagian orang memahami dari perkataan tersebut diperbolehkannya menerima Hadits yang berkenaan anjuran dan peringatan apapun kesalahan isinya yang jelas-jelas sulit diterima dan tertuduh sebagai hadts palsu. Bahkan sebagian kaum sufi yang bodoh berpendapat bahwa diperbolehkannya meriwayatkan Hadits palsu yang jelas-jelas ciptaan manusia, selama Hadits tersebut menganjurkan kebaikan dan memberi peringatan dari kejahatan. Bahkan sebagian dari mereka memperbolehkan untuk menciptakan Hadits-Hadits tentang keutamaan beberapa surat Al-Qur’an dan sebagian perbuatan baik dengan tujuan kebaikan. Ketika dibacakan kepada mereka Hadits Mutawatir yang terkenal:

Dari Al Mughirah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).

Mereka dengan segala kedunguannya mengatakan: “Kami berdusta bukan untuk merugikannya melainkan untuk menguntungkannya".

Ini adalah alasan yang lebih busuk ketimbang dosa, karena dengan ucapannya itu berarti mereka menuduh bahwa agama yang dibawa Rasulullah kurang dan mereka melengkapinya, sementara Allah berfirman:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ . . . .. . . .

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu”. (Surat al-Maidah ayat 3)

Bertitik tolak dari sini, maka para peneliti menjelaskan maksud sebenarnya dari bersikap longgar dan tidak terlalu ketat dalam masalah sanad dengan ungkapan yang jelas.

Al-‘Allamah Ibnu Rajab al-Hanbali dalam bukunya Syarhu ‘ilalit Turmuzi ketika menerangkan maksud ucapannya: “Setiap yang meriwayatkan Hadits dari beliau yang bersumber dariorang yang mendapat tuduhan, lemah karena kelalainnya,karena mereka banyak melakukan dan Hadits tersebut tidak diketahui kecuali dari Haditsnya, maka Hadits tersebut tidak boleh dijadikan argumentasi” ia berkata: “Apa yang disebutkan at-Turmuzi,maksudnya adalah bahwa Hadits tersebut tidak boleh dijadikan argumentasi dalam kaitannya dengan hukum-hukum syari’at dan masalah-masalah praktis, walaupun Hadits sebagian mereka yang berhubungan dengan penghambaan, anjuran dan peringatan terkadang diriwayatkan,karena banyak ulama memberikan keringanan dalam meriwayatkan Hadits-Hadits seperti itu dari orang-orang lemah di antaranya: Ibnu Mahdi dan Ahmad bin Hanbal.

Ruwad bin al-Jarah berkata: “Saya mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata: jangan kalian mengambil ilmu ini dalam masalah halal dan haram kecuali dari orang yang terkenal Ahli dalam ilmu tersebut, mereka yang mengetahui kelebihan dan kekurangan, dan diluar masalah itu, tidak apa-apa kalian mengambilnya dari guru-guru lainnya”.

Ibnu Abi Hatim berkata: “Ayahku menceritakan kepada kami,bersumber dari Abdah berkata: “dikatakan kepada Ibnu Mubarak dania meriwayatkan Hadits dari seseorang,lalu dikatakan: “ini adalah orang lemah .! Ia berkata: “boleh jadi diriwayatkan dari padanya sejumlah Hadits seperti itu”. Aku berkata kepada Abdah: “Yang pernah diriwayatkannya seperti apa ?”. ia berkata: “tentang adab, nasehat dan zuhud”.

Ibnu Mu’in berkata tentang Musa bin Ubaidah ar-Rabazi, yaitu seorang Abid yang terkenal, lemah dalam meriwayatkan Hadits: “Hadits-Haditsnya berkenaan dengan penghambaan dikutip orang”. Ibnu Uyainah berkata:”Janganlah kalian dengan Baqiyyah-yaitu Baqiyyah bin Walid- riwayatnya tentang sunnah. Dan dengarkanlah riwayatnya tentang pahala dan lainnya”.

Ahmad berkata tentang Ibnu Ishaq, yang dimaksud adalah Ibnu Ishaq penulis Sirah yang terkenal itu: “Riwayat-riwayatnya tentang peperangan dan yang serupa boleh dikutip”.

Ibnu Mu’in berkata tentang ziyad Al-Buka’i: “tidak apa-apa dengan riwayatnya tentang peperangan. Adapun tentang yang lainnya,maka janganlah kalian anggap”. Ibnu Rajab berkata:”yang boeh diriwayatkan dalammasalah anjuran,peringatan zuhud dan adab adalah Hadits-Hadits orang yang lalai yang tidak dituduh sebagai pendusta, bila mereka mendapat tuduhan seperti itu, maka Hadits mereka harus dibuang jauh-jauh”. Ucapan yang senada dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim dan lainnya.

Dari beberapa pendapat di atas jelaslah bagi kita bahwa salah seorang ulama Hadits tidak menerima periwayatan Hadits anjuran dan peringatan dari sembarang perawi. Walaupun mereka tidak dikenal atau mendapat tuduhan atau terlalu sering melakukan kesalahan. Mereka hanya memperbolehkan riwayat sebagian perawi yang daya hafalnyasedikit lemah walaupun mereka bukan orang yang terkenal ahli dalam ilmu tersebut. Mereka yang mengetahui kelebihan dan kekurangan sebagaimana yang dikatakan Al-Imam Ats-Tsauri.

Mereka tidak diragukan tentang kejujuran dan keadilannya. Yang diragukan hanya tentang daya hafal, kejelian dan ketelitiannya. Oleh karena itu al-Hafidh Ibnu Hajar untuk menerima Hadits lemah dalam masalah keutamaan dan anjuran menyebutkan tiga syarat yang dikutip oleh al-Hafidh As-suyuthi dalam bukunya Tadriibur Raawii:
  1. Disepakati bersama, yaitu tidak terlalu lemah,sehingga orang-orang pendusta dan dituduh dusta dan terlalu banyak melakukan kesalahan dianggap tidak memenuhi syarat ini.
  2. Hendaknya dibawah pokok yang umum, sehingga Hadits rekaan yang tidak ada as-usulnya dianggap tidak memenuhi syarat ini.
  3. Ketika mengimplementasikannya tidakmeyakini bahwa Hadits tersebut teah terbukti kebenarannya, agar tidak dihubungkan kepad Nabi Muhammad sementara Beliau tidak pernah mengatakannya. Yang harus diyakini adalah jaga-jaga kalau Hadits tersebut ternyata berasal dari beliau.
Imam al-Hafidh As-suyuthi mengatakan: “kedua syarat terakhir berasal dari Ibnu Abdissalam, dan dari shahabatnya Ibnu Daqiqil ‘id dan yang pertama dikutib dari Al-‘Ala’i.



Note:
Kutipan dari Buku: Metode Memahami Sunnah dengan Benar karangan Yusuf Al-Qardhawi