Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits Tentang Haramnya Berpakaian Isbal, Benarkah..??

Hadits Tentang Haramnya Berpakaian Isbal, Benarkah..??


UNTUK memahami as-Sunnah dengan benar, Hadits-hadits hendaknya dikumpulkan dalam satu objek, di mana yang bersifat mutasyabihat dikembalikan kepada yang bersifat muhkam. Yang mutlak dibawa kepada yang terikat, dan yang bersifat umum ditafsirkan oleh yang bersifat khusus. Dengan demikian pengertian hadits yang dimaksud akan jelas dan tidak akan tumpang tindih.

Telah menjadi ketetapan bahwa as-Sunnah memberi tafsiran terhadap Al-Qur’an dan menjelaskannya. Dengan pengertian bahwa as-Sunnah merinci ayat-ayat yang bersifat global, menafsirkan yang tidak jelas, mengkhususkan yang umum dan mengikat yang mutlak. Maka yang lebih utama hal itu diperhatikan dalam as-Sunnah antara yang satu dengan yang lain.

Baca juga: Hadits Bayi Perempuan Yang dikuburHidup-Hidup Masuk Neraka, Adakah..??

Sebagai contoh adalah hadits yang menjelaskan tentang memanjangan kain dengan ancaman yang keras. Hadits-Hadits tersebut telah dijadikan sandaran oleh banyak pemuda yang begitu semangat dalam menyangkal orang-orang yang tidak memendekkan kainnya hingga di atas kedua mata kaki. Mereka sangat berlebih-lebihan dalam hal itu sehingga mereka hampir menjadikan pemendekan kain ini sebagai salah satu syi’ar islam atau kewajibannya yang besar. Apabila mereka melihat seorang ustad atau kiyai atau para da’i yang tidak memendekkan kainnya di atas mata kaki sebagaimana yang mereka lakukan, mereka sampai menuduhnya sebagai orang yang kurang agamanya atau tidak sempurna agamanya ataupu mereka bertentangan dengan sunnah Nabi Muhammad.

Padahal mereka itu kembali kesejumah hadits yang berhubungan dengan masalah yang telah disebutkan di atas. Yaitu mengembalikan hadits tersebut kepada yang lainnya dengan menggabungkannya dengan pandangan yang universal terhadap hikmah diturunkannya syariat islam dari orang-orang yang mendapatkan beban ajarannya dalam urusan kehidupan yang biasa. Dengan pandangan yang demikian niscaya mereka akan mengetahui maksud dari hadits tersebut daam kedudukannya seperti itu. Mereka tidak akan lagi bersikap ekstrem seperti itu dan tidak akan lagi mempersempit sesuatu hal yang Allah sendiri telah melapangkannya untuk manusia.

Baca juga: Tidak Ada zakat Pada Sayur-Mayur, Benarkah..??

Adapun hadits yang berhubungan dengan masalah ini adalah sebagai berikut:

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ: فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَ مِرَارًا. قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih. Rasulullah menyebutkan tiga golongan tersebut berulang-ulang sebanyak tiga kali, Abu Dzar berkata : “Merugilah mereka! Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab : “Orang yang suka memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” [Hadits Riwayat Muslim 106, Abu Dawud 4087, Nasa’i 4455, Darimi 2608. Lihat Irwa’: 900]

Lalu apakah yang dimaksud dengan orang yang memenjangkan pakaiannya di sini..?? Apakah orang yang memanjangkan kainnya, walaupun dalam bentuk kebiasaan bangsanya tanpa ada maksud untuk menyombongkan diri dan takabur itu masuk dalam katagori hadits tersebut.?

Barangkali hadits tersebut dipertegas lagi oleh hadits yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan juga riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah yang berbunyi:

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَهُوَفِى النَّارِ

“Apa saja yang di bawah kedua mata kaki akan masuk neraka.” (Hadits Riwayat Bukhari, Ibnu Majah).

Imam An-Nasa’i juga meriwayatkan dengan redaksi:

مَا تَحْتَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ
Artinya kaki orang yang memanjangkan kainnya sampai kebawah mata kakinya akan masuk neraka. Ini sebagai hukuman terhadap perbuatannya. Kain yang disebutkan dalam hadits adalah sebagai kiasan terhadap tubuh orang yang mengenakannya.

Baca juga: Hadits Setiap zaman Akan Lebih Buruk Dari Sebelumnya

Akan tetapi orang yang membaca sejumlah hadits yang membicarakan tentang masalah ini akan mengetahui dengan jelas pendapat yang dianggap paling kuat oleh Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajar dan lainnya bahwa kemutlakan hadits tersebut dikaitkan dengan ikatan sombong yaitu yang terkena ancaman tersebut sebagaimana yang disepakati oleh para ulama.

Ada hadits-hadits shahih lainnya yang membicarakan tentang masalah ini:

Yang pertama adalah hadits riwayat Imam Al-Bukhari dalam bab orang yang menyeret kainnya bukan karena sombong, hadits dari Abdullah bin Umar, Dari Nabi, Beliau bersabda:

عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة قال أبو بكر: يا رسول الله، إن أحد شقي إزاري يسترخي، إلا أن أتعاهد ذلك منه؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: لست ممن يصنعه خيلاء.

“Rasulullah bersabda: Barangsiapa menjulurkan sarungnya sampai menyentuh atau hampir menyentuh tanah karena kesombongan, maka Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat, Abu Bakar berkata kepadanya: Ya Rasulullah, salah satu sisi sarungku selalu terjulur ke bawah, kecuali bila aku sering membetulkan letaknya. Rasulullah berkata kepadanya: engkau tidak termasuk orang-orang yang melakukannya karena kesombongan”. (HR. Al-Bukhari).

Masih dalam bab yang sama, diriwayatkan dari hadits Abu Bakrah berkata: “Telah terjadi gerhana matahari ketika kami berada bersama Rasulullah, Beliau berdiri menyeret kainnya dengan tergesa-gesa sampai tiba di Masjid....”.

Dan diriwayatkan dalam bab orang yang menyeret kain karena sombong dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Bersabda:

لايظر الله إلى من جرإزاره بطرا
“Allah tidak akan melihat orang yang menyeret kainnya karena sombong”.

Juga dari Abu Hurairah, Beliau berkata: “Nabi Muhammad atau Abul Qasim bersabda:

سمعت أبا هريرة يقول: قال النبي صلى الله عليه وسلم أو قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلم: «بينما رجل يمشي في حلة، تعجبه نفسه، مرجل جمته، إذ خسف الله به، فهو يتجلجل إلى يوم القيامة»
“Dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda: Seorang lelaki yang sedang berjalan dengan berpakaian sangat mewah yang membuat dirinya sendiri merasa kagum, dan rambutnya tersisir rapi. Tiba-tiba ia ditelan oleh longsoran tanah maka ia pun terus menerus berteriak ketakutan sampai hari kiamat". (HR. Al-Bukhari).

Muslim telah meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ini dan sebelumnya, dan meriwayatkan hadits Ibnu Umar dari sejumlah jalan. Di antaranya: “saya mendengar Rasululullah bersabda:

من جر إزاره لا يريد بذلك إلا المخيلة، فإن الله لا ينظر إليه يوم القيامة.
“Ibn Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang menjulurkan sarungnya tidak ada suatu tujuan kecuali untuk kesombongan, maka Allah SWT tidak akan melihatnya pada hari kiamat”. (HR. Muslim).

Dalam riwayat inidisebutkan adanya syarat sombong dengan cara pembatasan yang jelas yaitu لا يريد بذلك إلا المخيلة (dengan maksud hanya menyombongkan diri), sehingga tidak ada lagi peluang untuk penta’wilan.

Al-Imam An-Nawawi dalam mensyarah hadits orang yang memanjangkan kainnya dan ia adaah orang yang dikenal sangat teliti bahkan cenderung kepada ekstra hati-hati dalam mengambil hadits sebagaimana yang diketahuipara peneliti, ia berkata: “Sabda Rasulullah “Orang yang memanjangkan kainnya”, pengertiannya adalah membiarkan ujung kainnya menyeret tanah dengan tujuan menyombongkan diri, sebagaimana disebutkan oleh hadits yang lainnya yang memberikan penafsiran: “Allah tidak akan melihat orang menyeret kainnya karena menyombongkan diri”. Persyaratan dengan niat sombong ini mengkhususkan keumuman memanjangkan kain dan menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ancaman tersebut adalah yang memanjangkan dengan adanya niat menyombongkan dirinya . Nabi Muhammad telah memberikan keringanan dalam hal ini terhadap Abu Bakar Ash-Siddiq dengan sabdanya: “engkau tidak termasuk mereka”. Ini karena Abu Bakar memanjangkan kainnya sampai kepada dua mata kakinya bukan dengan maksud menyombongkan dirinya.

Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam mensyarah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari tentang ancaman bagi orang yang memanjangkan dan menyeret kain karena panjangnya dengan ucapan Beliau: “Hadits-Hadits ini menunjukkan bahwa memanjangkan kain karena kesombongan adalah termasuk salah satu dosa besar. Adapun Memanjangkan bukan untuk kesombongan ,dhahir hadits menunjukkan keharamannya, tetapi adanya syarat kesombongan dalam hadits tersebut, hal ini menunjukkan bahwa kemutlakan ancaman tersebut dibatasi oleh pengertian yang bersyarat tersebut sehingga memanjangkan kain tidaah haram bila tidak disertai dengan niat menyombongkan dirinya”.

Ibnu Abdil Barr seorang penghafal Hadits dan pakar fiqh mengatakan: “pengertiannya adalah bahwa memanjangkan kain tanpa disertai niat menyombongkan diri tidak terkena ancaman tersebut. Hanya saja memanjangkan kain dan pakaian lainnya memang tercela, bagaimana keadaannya”.

Baca juga: Konsekwensi Meriwayatkan Hadits Lemah

Memanjangkan kain yang mendapat ancaman dengan syarat adanya niat sombong tersebut diperkuat dengan konteks hadits tersebut bahwa ancaman yang disebutkan dalam hadits adalah ancaman yang sangat keras sehingga orang yang memanjangkan kain termasuk salah satu dari tiga golongan yang tidak akan dihiraukan oleh Allah pada hari kiamat, Allah tidak akan melihatnya dan tidak akan mensucikannya dan bagi mereka adalah siksa yang sangat pedih. Rasulullah sampai mengulang ancaman sebanyak tiga kali,sehingga karena seramnya mendengar ancaman yang diulang tiga kali. Abu Dzar berkata: “sungguh menyesal dan merugi mereka.! Siapakah mereka itu wahai Rasulullah.?”. dan ini semua menunjukkan bahwa perbuatan mereka termasuk dosa besar. Dan ini hanya berkenaan dengan kemeslahatan yang sangat penting dimana syari’at datang untuk menegakkan dan memeliharanya baik tentang agama, jiwa, akal, kehormatan, keturunan ataupun harta benda, yang berhubungan dengan tujuan asasi syari’at Islam.

Sekedar memendekkan kain ataupun pakaian adalah termasuk bab bersolek yang ada kaitannya dengan adab, sopan santun dan penyempurnaan yang dapat memperindah kehidupan, meninggikan perasaan dan memperdalam budi pekerti mulia. Adapun memanjangkannya sehingga berjuntai-juntai terlepas dari niat buruk adalah lebih cenderung sebagai perbuatan tercela yang patut dihindari.

Namun yang menjadi perhatian agama di sini adalah niat dan aspek batin yang berada dibalik perbuatan lahir. Yang menjadi perhatian agama untuk menanganinya di sini adalah sifat sombong, takabur, membanggakan diri, dan penyakit hati serta malapetaka jiwa lainnya yang dapat menghalangi orang untuk masuk kedalam surga walaupun hanya sebesar biji sawi itu memiliki sifat tersebut. Ini mepertegas persyaratan ancaman yang tersebut dalam hadits dengan adanya niat menyombongkan diri sebagaimana juga ditunjukkan juga oleh hadits lainnya.

Pengertian lainnya tentang masalah pakaian adalah dalam kontek tata cara dan bentuknya tergantung kepada adat kebiasaan manusia yang terkadang berlainan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya tergantung kepada kondisi alam apakah panas ataupun dingin , kaya ataupun miskin, mampu ataupun tidak mampu, jenis pekerjaan, taraf kehidupan dan pengaruh-pengaruh lainnya. Pembuat syari’at di sini meringankan persyaratan untuk manusia dan tidak ikut campur kecuali dalam batas tertentu untuk mencegah gejala berlebihan dan kemewahan secara lahir. Dan juga agama mencegah manusia dari sifat atau tujuan membanggakan dan menyombongkan diri dalam pembahasan khusus.

Oleh karena itu Imam al-Bukhari pada permulaan kitab libaas dalam shahihnya menjelaskan bab tersebut dengan mengutip firman Allah dalam surat al-‘Araf ayat ke 32 tentang perhiasan yang Allah jadikan untuk segenap hambanya. Dan juga sabda Nabi Muhammad riwayat Imam al-Bukhari tentang perintah makan,minum, berpakaian dan bersedekahlah tetapi jangan berlebihan dan bukan untuk kesombongan عن عبد الله بن عمرو بن العاص -رضي الله عنهما- مرفوعاً: "كُلُوا، وَاشْرَبُوا، وَتَصَدَّقُوا، وَالْبَسُوا، غَيْرَ مَخِيلَة، وَلَا سَرَف".

Ibnu Abbas mengatakan : “Makanlah dan pakailah apa yang kamu suka. Yang aku salahkan dirimu dalam dua hal: berlebih-lebihan dan sombong”. Ibnu Hajar mengutip gurunya al-Hafidh al-‘Iraqi dalam syarah Imam Turmuzi mengatakan: “Pakaian yang menyentuh tanah adalah termasuk kesombongan yang keharamannya tidak diragukan. Bila dikatakan bahwa yang diharamkan adalah yang melampaui kebiasaan itu adalah pendapat yang wajar. Akan tetapi orang mengenal istilah memanjangkannya dan setiap jenis manusia mempunyai simbol yang menjadi ciri khas dengan tujuan menyombongkan diri maka tidak diragukan akan keharamannya. Dan yang didasarkan kebiasaan maka hal itu tidak diharamkan selama tidak sampai menyeret tanah karena terlalu panjang yaitu ukuran yang dilarang”.

Al-Qadhi ‘Iyadh mengutip pendapat para ulama tentang makruhnya setiap yang melebihi kebiasaan, dan pakaian yang teralu panjang dan lebar yang melebihi kebiasaan”. Dari sini adat kebiasaan mempunyai hukumnya dan sebuah istilah memberikan pengaruhnya sebagaimana yang disampaikan oleh al-Hafidh Al-‘Iraqi. Dan keluar dari kebiasaan menjadikan pelakunya cenderung mencari popularitas. Pakaian untuk tujuan mencari popularitas adalah tercela dalam agama. Maka yang baik adalah yang pertengahan.

Orang yang berpakaian tidak terlalu panjang karena menngikuti Sunnah, untuk menjauhkan diri dari kecenderungan menyombongkan diri, keluar dari perselisihan pendapat para ulama dan sebagai sikap hati-hati insya Allah akan mendapatkan pahala, dengan syarat tidak mengharuskan hal itu kepada setiap orang yang tidak berlebihan dalam menolak orang yang meninggalkannya. Yaitu orang yang puas dengan pendapat para ulama dan pensyarah sebagaimana yang telah disebutkan tadi. Setiap mujtahid ada bagiannya dan setiap orang mempunyai niatnya tersendiri.

Mencakup hal seperti ini adalah kehati-hatian bagi kita agar tidak terjebak dalam memahami hadits secara zahirnya saja tanpa melihat hadits-hadits lainnya dan seluruh nash yang berkenaan dengan permasalahan. Karena sikap tersebut dapat menjerumuskan orang kedalam kesalahan dan menjauhkannya dari kebenaran dan tujuan yang terkandung di dalam hadits dan maqashid syar’iyyah.
Wallahu a’lam