Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ahlul Ra'yi Menolak Hadits dalam Ijthad, Benarkah..???

Ahlul Ra'yi Menolak Hadits dalam Ijthad, Benarkah..???

As-sunnah adalah sumber kedua fikih dan kodifikasi setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu pembahasan tentang as-Sunnah dipandang sebagai pokok dan dalil hukum syari’ah adalah pembahasan yang luas dalam semua buku ushul fiqih dan dalam semua mazhab. Sampai Imam A-Auzai’i (wafat tahun 157 H) berkata: “ Kebutuhan Al-Qur’an terhadap As-Sunnah adalah lebih besar ketimbang kebutuhan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an.[1]

Hal itu adalah karena As-Sunnah adalah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an. As-Sunnah adalah yang merincikan Al-Qur’an yang bersifat gobal, mengikat yang mutlak dan mengkhususkan yang bersifat umum. Inilah yang membuat sebagian orang mengatakan As-Sunnah dapat menasakh Al-Qur’an. Maksudnya adalah As-Sunnah menjelaskan apa yang dimaksud oleh Al-qur’an.

Akan tetapi Imam Ahmad tidak sependapat dengan ungkapan tersebut. Beliau mengatakan: “ Saya tidak berani untuk mengatakan demikian, akan tetapi saya katakan: “As-Sunnah menjelaskan Al-Qur’an. Dan ini tampaknya penjelasan yang tidak berlebihan . dari satu sisi As-Sunnah menjeaskan Al-Qur’an, dan dari sisi yang lain As-Sunnah berkisar dalam cakrawala Al-qur’an dan tidak keluar dari padanya. Dan yang tidak perlu diperdebatkan adalah bahwa As-Sunnah berfungsi sebagaisumber kodifikasi maslah ibadah dan muamalah untuk individu, keluarga,masyaraat dan negara.


Al-Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa As-Sunnah terbukti sebagai argumentasi dan bersifat indipenden untuk mengkodifikasikan hukum yang merupakan hal yang penting dalam beragama dan tidak dapat dibantah. Siapa saja yang membaca buku fiqh dalam mazhab apapun, maka ia akan mendapatkannya banyakmenggunakan dalil dari As-Sunnah baik secara ucapan, perbuatan ataupun persetujuan dari Nabi Muhammad.

Dalam hal itu sama saja antara mereka yang mengetahui sejarah fiqh dengan nama madrasah Hadits dan ada juga dinamai dengan madrasah Ar-ra’yi. Pada prinsipnya itu diterima oleh kedua belah pihak. Perselisihan pendapat hanya terjadi dalam masalah rinci dan implementasi, sebagai akibat dari perselisihan pendapat mereka dalammenentukan syarat-syarat diterimanya hadits dan implementasinya.

Siapa saja yang membaca buku dari mazhab Hanafi yang mewakili madrasah ar-ra’yi,maka ia akan mendapatkannya penuh dengan hadits-hadits yang dipakai sebagai argumentasi dalam menjelaskan hukum. Kalau kita kaji dengan teliti Hadits yang tercantum dalam buku Al-Ikhtiyar Syahrul Mukhtar karangan Ibnu Maududi Al-Hanafi Al-Maushuli (wafat tahun 683 H) yang menjadi buku pegangan wajib di madrasah tingkat SLTA di perguruan Al-Azhar Mesir bagi peajar yang bermazhab Hanafi atau buku seperti Al-Hidayah karangan Al-Marghinani, buku pegangan mahasiswa yang bermazhab Hanafi di fakultas syari’ah Universitas A-Azhar Mesir dan lainnya adalah cukup memperkuat realita tersebut bahwa Ahlul Ra’yi besandar kepada As-Sunnah sebagaimana halnya Ahlul Atsar.

Pada masa sekarang iniada orang yang mengatakan hadits yang shahih menurut Mazhab Hanafi tidak lebih dari 17 Hadits. Perkataan tersebut tidaklah dapat diterima oeh akal orang yang mengetahui karakteristikmadrasah ilmiyah pada masa tersebut dan proses pembentukan ulama di dalamnya. Abu Hanifah adalah alumni dari Madrasah Ilmiyah Kufah yang mengajarkan fikih dan hadits sekaligus, sejak didirikan oleh shahabat terpandang Abdullah bin Mas’ud. Madrasah tersebut bertambah keilmuan dan keutamannya dengan datangnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang mengatakan: “Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada putra Ummi Abd (yaitu Ibnu Mas’ud) yang telah memenuhi negeri dengan ilmu pengetahuan”.

Anehnya, sebagian dari mereka dalam menuturkan riwayat yang bersumber dari Abu Hanifah bersandar kepada Ibnu Khaldun. Ini adalah kesalahan sebagian ucapan yang menimpa kita yang dilakukan oeh banyak orang tanpa mengetahui tentang segaa yang dikatakan dalam objek pembicaraan itu sendiri.

Bila kita kembali kepada Ibnu Khaldun kita akan mendapatkannya bahwa beliau menyebutkan hal itu dalam bentuk perawatan orang sakit dan ia tidak mengadopsinya bahwa setelah menyebutkan perkataan yang membantahnya tersebut. Berikut ini adalah kutipan yang diambil dari pasal Ulumul Hadits dalam bukunya Muqaddimah:

Ketahui juga bahwa para imam mujtahid berbeda antara yang satu dengan lainnya dalam banyak hal menyangkut tentang Abu Hanifah. Ada yang mengatakan bahwa Abu Hanifah hanya meriwayatkan 17 Hadits atau sekitar itu (sampai lima puluh). Dan yang dianggap shahih oleh Malik dalam bukunya Al-Muwattha’ada sekitar 17 Hadits. Ahmad bin hambal dalam Musnatnya meriwayatkan 30.000,- hadits.masing-masing berijtihad sendiri dalammeriwayatkan Hadits yang dianggap shahih tersebut.

Sebagian orang fanatik yang sewenang-wenang mengatakan, sebahagian Imam hanya memiliki sedikit Hadits,karenanya sedikit meriwayatkannya. Tidakada jalan kepada keyakinan ini tentang para Imam terkemuka, karena syari’ah semata-mata bersumber pada Al-qur’an dan As-Sunnah. Dan orang yang sedikit perbendaharaan haditsnya, ia harus mencari dan meriwayatkannya yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh, agar ia mengambil agama dari pokoknya yang benar, dan memperoleh hukum dari sumbernya yang mendapatkannya langsung dari Allah. Yang paling sedikit perbendaharaan haditsnya adalah yang paling sedikit meriwayatkannya. Karena mendapatkan cela dan cacat pada sanadnya, terlebih masalah cacatnya sanad menjadi masalah prioritas bagi kebanyakan orang. Hasil ijtihad, menyebabkan hadits-hadits dan sanad seperti ini tidak boleh dijadikan pegangan. Yang seperti itu banyak jumlahnya. Sehingga sedikit riwayatnya karena lemahnya jalan yang meriwayatkannya. Padahal penduduk Hijaz lebih banyak meriwayatkan hadits dari pada penduduk Hiraq. Karena kota Madinah adalah merupakan Negeri Hijaz dan tempat kediaman para sahabat. Mereka yang pindah ke Iraq lebih banyak disibukkan oleh urusan Jihad. Abu Hanifah sedikit dalammeriwayatkan Hadits setelah memperketat syarata meriwayatkannya dan Beliau menganggap lemah Hadits yang bertentangan dengan rasio yang pasti. Sehingga hal itu menyulitkan diri sendiri. Makanya beliausedikit meriwayatkannya dan jumah haditsnya pun sedikit. Bukan karena beliau meninggalkan riwayat dengan sengaja. Hal itu tidak mungkin terjadi padanya. Yang menunjukkan bahwa beliau adalah mujtahid terkemuka dalam masalah ilmu hadits adalah mazhabnya dijadikan sandaran dan diangggap sebagai bantahan dan penerimaan. Ahli Hadits lainnya lainnya yang merupakan mayoritas, tidak begitu ketat menetapkan syarat sehingga banyak perbendaharraan Haditsnya. Danmasing-masing memiliki ijtihad tersendiri. Dan para shahabatnya setelahnya juga memperonggar syarat dan riwayatnyapun banyak. Contohnya adalah Ath-Thahawi yang banyak meriwayatkan dan menulis Musnadnya. Beliau adalah orang yang terpandang .hanya saja beliau tidak mempersamakan kedua hadits shahih karena syarat yang menjadi sandaran Al-Bukhari dan Muslim dalam kedua bukunya disepakati umat sebagaimana mereka katakan, sementara Ath-thahawi tidak disepakati sebagaiman riwayat dari Al-Matur al-hal dan lainnya.”


Demikianlah yang ditulis oeh cendikianwan Islam Ibnu Khaldun pada saat beliau menyebutkan tentang Abu Hanifah dan mazhabnya, yaitu pendapat seorang sejarawan yang berpengalaman dan juur dalam penjelasannya.



[1] Irsyadul Fudhul,karangan Asy-Syaukani,halam 33 cetakan Mustafa Al-Halabi


Note:
Kutipan dari Buku: Metode Memahami Sunnah dengan Benar karangan Yusuf Al-Qardhawi