Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Solusi Untuk Konflik Papua

Solusi Untuk Konplik Papua

Kenapa dalam rentang waktu dari tahun 1999 sampai 2005 banyak terjadi pengusiran etnis Jawa dan lain-lain dari Negeri Serambi Mekkah?

Ada banyak versi jawabannya. Mulai dari yang mengatakan bahwa pengusiran dilakukan Karena provokasi sekelompok oknum bersenjata yang memang memiliki tujuan politik tertentu sampai yang melaknat dan memvonis rasisnya rakyat Aceh.

Saya tertarik melihat cara pandang rakyat Indonesia secara umum (dan suku Jawa secara khusus) yang tidak berada di wilayah konflik terhadap apa yang terjadi di Aceh (dan daerah konflik lain di Indonesia). Banyak orang luar mengira bahwa pasukan GAM hanyalah para pemberontak yang hidupnya di gunung-gunung dan minim interaksi dengan rakyat Aceh dan tidak didukung oleh mayoritas rakyat Aceh. Padahal mereka lahir dari masyarakat dan hidup bersama masyarakat. Banyak orang diluar wilayah yang bergejolak yang kaget dan tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh aparatur negara berupa pelanggaran-pelanggaran HAM di daerah konflik.

Mereka yang dilabeli 'Pemberontak' oleh negara sebenarnya adalah 'PAHLAWAN' bagi rakyat setempat di hampir semua wilayah yang bergejolak. Baik di Aceh, Timor Leste, Papua dan daerah-daerah lain di luar negeri seperti di Mindanao, Kashmir, Kurdi dll. Karenanya, jika negara menyetujui referendum di sebuah wilayah konflik itu sama saja dengan mengikhlaskan wilayah-wilayah tersebut untuk berpisah dan merdeka dari negara induknya. Timor Leste dan Sudan Selatan adalah kasus paling jelas dalam hal ini. Dan karenanya, Republik ini tidak menyetujui referendum di Aceh tahun 1999. Banyak orang lupa atau pura-pura lupa bahwa setiap teriakan "Referendum atau "Merdeka" dari demonstrasi massa adalah vonis bahwa negara adalah Penjajah.

Sebagian orang mengira bahwa otonomi khusus sudah cukup menjadi solusi di wilayah-wilayah konflik seraya berujar: "Kurang baik apalagi Negara terhadap Aceh dan Papua?". Lalu pemerintah daerah dikambing hitamkan dengan korupsinya. Mereka ini tanpa sadar telah ikut menumbuhkan kemarahan dan kebencian penduduk asli terhadap negara dan para pendatang.

Kesenjangan sosial, pelanggaran HAM, rasisme dan masalah-masalah lain yang tidak diselesaikan dengan baik menjadikan kebencian tumbuh subur terhadap aparatur negara dan bahkan republik ini lalu dilampiaskan terhadap para pendatang. Naif sekali jika ada orang yang berpikir nasionalisme orang Aceh dan Papua terhadap Republik ini sama dengan mereka yang berada di pulau Jawa.

Jika transmigran dari Jawa di Aceh (yang sama-sama beragama Islam dan berkulit sawo matang) pernah diusir, dibakar rumahnya dan bahkan dibunuh, maka perbedaan warna kulit, agama dan kesenjangan sosial menjadi alasan-alasan penting tumbuh suburnya kebencian dan lakunya provokasi di Papua, maka para pendatang di Papua tentu saja lebih rentan untuk diusir dan dibunuh.

**

Lalu apa yang harus dilakukan?
Seorang liberalis sejati mungkin akan mengutuk pelanggaran HAM Papua dan berpendapat bahwa rakyat Papua sudah selayaknya diberikan pilihan untuk menentukan sikap, merdeka atau tetap dalam bingkai NKRI.

Seorang Muslim yg ta'at atau setidaknya masih tersisa rasa ukhuwahnya tentu akan miris dan mendidih darahnya melihat saudaranya seiman dibunuh oleh mereka yang berbeda keyakinan, aparat seharusnya bersikap tegas terhadap para pemberontak atau biarkan seruan Jihad menggema.

Di tempat lain, seorang nasionalis buta mungkin sibuk membela aparatur negara dan sikap negara. Baginya yang salah adalah separatisme dan rakyat Papua sendiri. Mereka yang bermasalah dengan mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang adalah masuk dalam kelompok ini. Kelompok yang merasa menjadi pembela NKRI tapi tidak mengerti psikologi dan cara pandang Papua terhadap Republik ini. Merekalah yang justeru menyulut api.

**

Terlepas apakah konflik di Papua ada karena campur tangan dari pihak luar ataupun tidak, seharusnya negara hadir lebih jauh menjaga agar tak ada lagi darah-darah yang tertumpah baik itu pendatang atau bukan. Seharusnya negara menangani masalah Papua dengan Cinta, seperti ungkapan Pak Mardani Ali Sera. Dan saling memaafkan sebagaimana kata Pak Jokowi. Senjata dan Kekerasan hanya akan melahirkan dendam dan darah. Sesaat mungkin ia meredup dan padam. Namun dendam dan darah itu suatu hari akan menyalakan lagi api konflik.

Butuh tahun-tahun yang panjang untuk mengindonesiakan Papua. Kita yakin para elit di negeri ini punya beberapa opsi (setidaknya) jangka pendek untuk menyelesaikan konflik Papua tanpa perlu kita gurui. Tinggal mereka mau menprioritaskan penyelesaiannya atau justeru lebih peduli dengan kursi kekuasaan yang sedikit digoyang di Ibukota.

Kenapa kita menuntut kepada negara? Bukankah negara telah berusaha? bukankah patriot bangsa juga telah berguguran di tanah Papua?