Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sikap Al-Ghazali Terhadap Penguasa

Sikap Al-Ghazali Terhadap Penguasa

Dimata rakyat jelata, sikap politik yang kontra dengan Pemerintah seringkali dianggap baik. Oposisi tak jarang dianggap sebagai pahlawan, revolusioner. Bagi partai oposisi, mengkritik pedas Pemerintah adalah jalan pintas mendapatkan simpati rakyat untuk kemudian menjadi penguasa baru. Bila perlu, politisi akan menangis pilu demi rakyat kecil seperti dulu para 'puan-puan' partai wong cilik tersedu saat walk out menentang kenaikan BBM sambil berteriak: Revolusi...! Lalu menjadi amnesia ketika junjungannya berkuasa dan melakukan hal sama yang mencekik rakyat jelata.
Sikap pragmatis para politisi yang asal kritis terhadap apapun kebijakan pemerintah saat mereka menjadi oposisi bisa dimaklumi. Karena bagi kebanyakan mereka, tujuan utama adalah kemaslahatan partai dan pribadi. Berbeda halnya jika seorang politisi adalah seorang Da'i yang Alim, terlebih Da'i yang Ushuly, ia akan bersikap sesuai dengan kemaslatan, ia akan menimbang kemaslahatan pribadi, partai dan masyarakat umum, menimbang antara kemaslahatan itu sendiri dan kemudharatannya untuk kemudian memilih mana yang harus diprioritaskan. Bukan sekedar jadi oposisi.
Bicara tentang sikap politik antara kapan harus menjadi oposisi yang mengkritik penguasa, kapan sebaiknya membela penguasa dan bersama mereka, ada baiknya kita mengambil pelajaran dari sejarah klasik kita. Dari sikap politik seorang Alim Ushuly terhadap penguasa di zamannya, dari Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali.

***
Memahami fatwa dan sikap seorang tokoh besar tanpa melihat keadaan sosial dan politik di zaman ia hidup seringkali berujung kepada kurangnya objektifitas sebuah penelitian. Setidaknya, ada 4 hal penting yang nantinya mempengaruhi sikap dan fatwa-fatwa Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali.
1. Lemahnya kekuasaan khalifah Al-Mustazhir yang memerintah dari tahun 487-512 H, atau 17 tahun dari fase terakhir dari kehidupan Al-Ghazali (wafat 505 H). Para ahli sejarah menyebutkan bahwa khalifah saat itu hanya sekedar nama yang yang didoakan dalam khutbah-khutbah, karena yang berkuasa secara de-facto adalah kesultanan Seljuk.
2. Perpecahan dan perebutan kekuasaan didalam kesultanan Seljuk sendiri setelah meninggalnya Sultan Malik Shah I tahun 485 H.
3. Teror dan 'assasination' yang dilakukan sekte Syi'ah Bathiniyah terhadap para raja, tokoh negara dan ulama yang bersebrangan dengan mereka.
4. Perang Salib dan jatuhnya Baitul Maqdis ke tangan pasukan salib tahun 492 H.

***
Sikap oposisi dan kritik keras Al-Ghazali terhadap para penguasa zalim dizamannya bisa dilacak di magnum opusnya; Ihya Ulumuddin. Dimana Al-Ghazali menyeru untuk 'memboikot' para penguasa dizamannya. Beliau membagi 'interaksi' dengan penguasa menjadi 3 kondisi:
1. Yang paling buruk adalah dengan mendatangi dan bertemu dengan mereka. Al-Ghazali menjelaskan bagaimana mereka yang mendatangi para penguasa zalim jatuh dalam kemaksiatan kepada Allah Swt baik melalui perbuatannya, sikap diamnya terhadap kemungkaran penguasa yang ia lihat, perkataannya dengan mendoakan penguasa zalim dimana beliau mengutip hadis "Barangsiapa yang mendoakan kelanggengan (penguasa) zhalim maka sesungguhnya ia telah menyukai agar Allah Swt didurhakai di atas bumi-Nya" dan hadis "Sesungguhnya Allah murka ketika (penguasa) fasik dipuji".
2. Mereka (penguasa) yang datang menemui dan terjadilah interaksi. Kondisi ini lebih ringan dari yang pertama.
3. yang paling selamat adalah dengan menjauhi dan memboikot para penguasa sehingga tidak memungkinkan terjadinya interaksi dengan mereka.
Selanjutnya Al-Ghazali menjelaskan bagaimana hukumnya berinteraksi dengan harta para penguasa dimana beliau mengharamkan jika kebanyakan harta mereka berasal dari yang haram, membolehkan mengambil pemberian mereka jika diyakini dengan pasti harta tersebut berasal dari sumber yang halal.
Al-Ghazali juga mengharamkan berjualan dipasar yang dibangun oleh penguasa dari harta haram bahkan lebih jauh beliau mewanti-wanti untuk berhati-hati memasuki tempat-tempat majelis ilmu, mesjid dan sebagainya yang dibangun penguasa zalim.

***
Sikap kritis Al-Ghazali dan seruannya untuk memboikot penguasa zalim sebagaimana beliau sebutkan dalam Ihya Ulumuddin akan terlihat kontradiksi jika kita membandingkan dengan sikapnya terhadap khalifah Al-Mustazhir Al-Abbasi ketika memintanya untuk mengarang sebuah kitab yang menjelaskan kerancuan sekte Bathiniyah dan konsep Imamah mereka serta legalnya kekhalifahan Al-Mustazhir.
Dalam muqaddimah 'Fadhaih Al-Bathiniyah Wa Fadhail Al-Mustazhiriah' Al-Ghazali mengungkapkan kesiapannya untuk melayani permintaan 'Amirul Mukminin' karena hal tersebut merupakan sebuah kemuliaan dan pengabdian kepada agama dan Tuhan semesta alam(2). Tak hanya itu, Al-Ghazali bersikap sangat toleran terhadap syarat-syarat seorang khalifah yang pada kenyataannya tidak lengkap dan sempurna pada Khalifah Al-Mustazhir Al-Abbasi seperti minim dan lemahnya kekuatan militer khalifah, kurangnya kapasitas khalifah dalam menjalankan roda pemerintahan serta tidak sampainya khalifah pada derajat Mujtahid yang sebenarnya disyaratkan oleh para ulama dan Al-Ghazali sendiri.
Siapa yang mempelajari kondisi sosial politik di era Al-Ghazali dan melihat Al-Ghazali sebagai seorang 'politikus ushuli' yang selalu menimbang fatwa dan sikapnya dengan batasan-batasan kemaslahatan, maka jelas tidak ada yang aneh apalagi kontradiksi dari sikapnya. Sikap keras Al-Ghazali terhadap penguasa zamannya terutama terhadap para sultan Seljuk yang zalim dan bertikai sesamanya setelah meninggalnya Malik Shah I adalah sikap syar'i seorang Faqih. Pertikaian keluarga Bani Seljuk, pajak dan harta haram serta pungli yang dilakukan oleh para prajurit terhadap harta masyarakat telah sedemikianrupa menyengsarakan umat islam waktu itu.
Adapun sikap politiknya yang tetap mendukung Khalifah Al-Mustazhir maka dalam hal ini jelas Al-Ghazali melihat maslahat dalam menjaga kesatuan umat serta menjaganya dari rongrongan teror sekte Bathiniyah. Al-Ghazali berpendapat jika Imamah tidak sah maka pengangkatan para hakim juga tidak sah. Dan jika pengangkatan para hakim tidak sah itu akan berimplikasi pada tidak sahnya akad perkawinan dan lain-lain yang dilakukan para hakim. Artinya adalah kekacauan.
Sekalipun Imam Al-Ghazali bersikap tegas dalam amar ma'ruf dan nahi mungkar terhadap penguasa, beliau melarang celaan terhadap penguasa dalam rangka nahi mungkar jika itu menjadi sebab timbulnya fitnah(4). Beliau memilih untuk menasehati dengan bahasa yang baik terhadap Khalifah Al-Mustazhir sebagaimana yang beliau jelaskan dalam bab ke 10 dari kitab 'Fadhaih Al-Bathiniyahnya atau seperti nasehatnya terhadap penguasa Bani Seljuk di Khurasan; Ahmad Sanjar sebagaimana yang ia tuliskan dalam sebuah surat berbahasa Persia.
Dan, meskipun Al-Ghazali membolehkan (bahkan mewajibkan) diturunkannya penguasa yang 'under capacity', ia mensyaratkan bahwa hal itu dilakukan dengan musyawarah dan tanpa peperangan. Adapun jika pemakzulan seorang pemimpin menyebabkan kekacauan yang lebih parah, sesuai dengan prinsip maslahah Al-Ghazali melarangnya.

***
Sejarah seringkali mengulang dirinya dari satu masa ke masa yang lain. Adalah tugas kita untuk mengambil pelajaran darinya dan dari sikap para tokoh dan ulama mumpuni dalam menghadapi peristiwa-peristiwa besar tersebut. Kritik yang kita lakukan pada penguasa di suatu hari tak harus menjadi penghalang bagi kita untuk membelanya di waktu lain jika memang disana ada kemaslahatan yang lebih besar. Maka semoga menjadi oposisi bukanlah tentang untuk gagah-gagahan dan selalu bersitegang dengan penguasa.