Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pentingnya Kitab Al-Fiyyah bagi Ulama

Pentingnya Kitab Al-Fiyyah bagi Ulama

Makna dasar dari istilah ulama itu adalah ilmuwan di satu atau lebih bidang keilmuan. Jika konteksnya ilmu keagamaan, maka ulama berarti ilmuwan di satu atau lebih bidang ilmu keagamaan, seperti: Fikih, Tafsir, Akidah, Bahasa/Sastra Arab, dan semacamnya. Pakar di bidang Nahwu, ya disebut ulama Nahwu. Ahli di bidang Fikih, disebut ulama Fikih. Ahli di bidang Tafsir, disebut ulama Tafsir. Pakar di bidang Hadis, disebut ulama Hadis. Begitu seterusnya.
Jadi, untuk disebut ulama, ya tidak mesti menguasai semua bidang ilmu keagamaan, kecuali ilmu utama dan ilmu perangkat dasar di sebuah bidang yang dikuasainya. Namun jika ada yang mampu menguasai berbagai ilmu bidang keagamaan secara mendalam, maka dia disebut sebagai ulama di berbagai bidang. Dan tentunya yang kedua ini adalah ulama level tinggi, bila dibandingkan yang pertama.
Maka, yang pakar di bidang Tafsir saja misalkan, disebut ulama Tafsir, tapi bukan ulama di bidang Fikih dan Hadis. Demikian juga, yang tidak pakar di bidang Nahwu tapi ahli di bidang Hadis, disebut ulama di bidang Hadis namun bukan ulama di bidang Nahwu. Wa Hakadza!

Yang jadi persoalan, kita terkadang mengira ulama itu adalah orang yang menguasai banyak bidang ilmu keagamaan, mulai dari semua ilmu perangkat sampai pada ilmu-ilmu utama di berbagai bidang. Efeknya, kalau cuma ahli di bidang Tafsir, ya bukan ulama. Hanya pakar di bidang Hadis, ya berarti bukan ulama. Trus apa? Ya pakar bidang itu saja. Bukan ulama namanya, titik.

Persoalan lainnya, kita terkadang memahami ulama itu adalah orang yang ahli di bidang ilmu hukum syariat, sehingga ulama identik dengan ijtihad dan fatwa di bidang Fikih dan Ushul Fikih. Jika sudah paham kitab Fathul Wahhab dan ikut forum semisal Bahtsul Masail, maka barulah disebut ulama. Tapi kalau cuma menguasai bidang ilmu Hadis, maka bukan ulama.

Atau, kita memahami bahwa agar bisa disebut sebagai ulama Hadis, Tafsir dan Fikih misalnya, disyaratkan harus hafal Alfiyyah. Jika tidak, maka bukan ulama namanya, sekalipun faktanya dia sudah belajar dan memahami berbagai kitab Nahwu selain Alfiyyah.
Yang jadi musibah adalah, apabila orang yang cuma punya modal pandai orasi, hapal beberapa ayat-hadis, kelebihan dalam beramal, langsung dianggap ulama dengan pengertian yang disebutkan di atas.
Wallahua`lam