Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Benturan Ideologi Masa Transisi di Sudan

Benturan Ideologi Masa Transisi di Sudan

Konflik antara Islamis dan kaum sekuler di Sudan adalah konflik lama sejak kemerdekaan Sudan tahun 1956. Mahmud Muhammad Taha; pendiri Partai Republik adalah salah seorang tokoh yang paling keras menentang ide-ide islamisasi di Sudan. Puncaknya adalah ketika tokoh yang difatwakan murtad oleh Majma' Al-Buhuts Al-Islamiah Al-Azhar Asy-Syarif Mesir dihukum mati pada tahun 1985 dimasa Presiden Ja'far An-Numeri.


Diantara pemikiran nyeleneh Mahmud Muhammad Taha adalah

Klaim bahwa ia adalah Rasul kedua setelah Nabi Muhammad Saw.
Pengingkaran terhadap hal-hal prinsipil dalam islam seperti sholat, zakat, jihad, hijab, kebolehan poligami dan talak.
Serta pendapatnya bahwa risalah islam tidak layak untuk diterapkan terhadap umat manusia di abad ke 20.
***

Setelah eksekusi hukuman mati terhadap Mahmud Muhammad Taha dan tokoh Republikan lain, pemikiran Mahmud Taha sempat 'punah' terutama ketika gerakan Islam yang dipimpin oleh Umar Al-Basyir dan Hasan At-Turabi menguasai Sudan tahun 1989. Lalu kemudian mulailah implementasi syariat islam dalam seluruh sistem termasuk implementasi qanun jina'i.

Sayangnya, fase negara islam yang diidam-idamkan itu mulai mengabur ketika antara sesama gerakan islam mulai timbul persaingan dan kedengkian. Puncaknya adalah konflik antara Istana (tempat tinggal Presiden Umar Basyir) dan Al-Mansyiah (tempat tinggal Hasan At-Turabi) ketika Basyir mengumumkan negara dalam kondisi darurat serta pembubaran parlemen serta penahanan At-Turabi. Setelahnya mulailah saling tuduh dan pembocoran rahasia negara.

Fase selanjutnya adalah fase 'zona nyaman' ketika Basyir menjadi pemimpin tunggal dan mulai merekrut tokoh-tokoh yang sama sekali tidak punya latar belakang gerakan islam serta dimulailah korupsi serta kehidupan hedonis sementara perang terus berkecamuk di Sudan selatan dan rakyat terus menuntut perbaikan penghidupan, kesehatan dan keamanan.

Akhirnya terjadilah sunnatullah yang tidak pernah 'berbasa-basi' terhadap siapapun yang memerintah dengan kezaliman. Pemerintahan Basyir jatuh April 2019 untuk kemudian tampillah banyak kaum sosialis komunis, liberal yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan transisi serta gerakan islampun dukambinghitamkan oleh sebagian rakyat terlepas apakah mereka dari National Congress Partynya Basyir, Popular Congress Partynya At-Turabi atau bahkan Ikhwanul Muslimin sekalipun.

***

Berakhirnya kekuasaan gerakan Islam adalah moment yang paling ditunggu oleh Partai Republik dan partai sekuler lainnya dalam pemerintahan transisi untuk menyerang tokoh dan ulama gerakan islam serta menghidupkan lagi pemikiran-pemikiran usang Mahmud Muhammad Taha.

Syeikh Abdul Hayyi Yusuf; dekan fakultas Dirasah Islamiyah di International University of Africa adalah salah satu tokoh yang dibunuh karakternya oleh Wala Al-Busyi menteri pemuda dan olahraga dari partai republik dalam pemerintahan transisi. Sheikh Abdul Hayyi Yusuf dituduh menerima dana korupsi dari pemerintahan Basyir.

Dalam khutbah jum'atnya Syeikh Abdul Hayyi Yusuf balik menyerang Wala Al-Busyi ketika Menteri Pemuda dan olahraga itu untuk pertamakalinya setelah puluhan tahun menggelar liga sepakbola perempuan yang dianggap tabu oleh masyarakat Sudan yang konservatif. Sheikh juga mengungkit senior Al-Busyi yang difatwa murtad dan kafir oleh para ulama dan kemudian dihukum mati.

Al-Busyi kemudian membuat laporan tuduhan pencemaran nama baik terhadapnya yang dilakukan oleh Syeikh Abdul Hayyi dan Syeikh Abdul Hayyi balik melapor dengan dakwa yang sama yang kemudian konfliknya dengan Al-Busyi dikenal dengan 'harb ar-riddah' atau perang melawan kemurtadan merujuk pada perang melawan orang-orang murtad di zaman Abu Bakar As-Siddid rda.

Tokoh-tokoh liberal dan Republican kemudian membuat statemen-statemen nyeleneh di publik. Diantaranya adalah seruan agar kaum Yahudi yang berasal dari Sudan agar kembali ke Sudan, statemen bahwa mazhab fiqih yang empat berisik dan mengganggu, statemen bahwa partai republik adalah firqah Najiyah adapun yang lain adalah sesat, pelatihan terhadap pendeta-pendeta Kristen dengan uang umat islam, rencana pelarangan azan dengan mikrofon karena dianggap mengganggu serta yang terakhir adalah rancangan undang-undang baru yang melarang berbicara politik dalam mesjid serta larangan melakukan 'provokasi' dengan menyalah-nyalahkan keyakinan agama lain termasuk takfir yang diancam dengan penjara 6 bulan dan denda. Hal yang kemudian ditentang keras oleh Syeikh Abdul Hayyi Yusuf dalam khutbahnya kemaren di Mesjid Majma Khatam Al-Mursalin Jabrah.

***

Kaum komunis, sekuler dan liberal memanfaatkan dengan baik kemarahan rakyat Sudan terhadap pemerintahan Basyir yang korup. Sejatinya, rakyat tidak menuntut agar undang-undang islami diganti. Yang mereka tuntut hanyalah kehidupan yang baik, berupa tersedianya roti dan bahan bakar yang karena kelangkaan keduanyalah demonstrasi meletus dipenghujung tahun 2018.

Jika banyak para ulama memilih untuk berdiam diri terhadap kemunafikan dan intrik kaum sosialis dan liberal, tidak dengan Syeikh Abdul Hayyi Yusuf. Beliau tetap mengatakan yang haq terlepas apakah publik sepakat ataupun tidak. Dan walupun jeruji besi menanti keteguhannya dalam beramarma'ruf nahi mungkar.

Hari-hari kedepan adalah hari-hari yang paling menentukan dan bersejarah bagi rakyat Sudan. Perang ideologi telah ditabuh. Rakyat punya hak untuk memilih kehidupan yang lebih layak. Tapi apakah itu dengan meninggalkan identitas keislamannya? Waktu akan menjawabnya.

Keberhasilan Gerakan Islam di Sudan dalam membangun negara yang islami di awal pemerintahannya serta kegagalan mereka dalam mensejahterkan rakyat serta menjaga persatuan dan fitnah dunia hendaklah menjadi pelajaran bagi gerakan islam di belahan dunia yang lain. Agar jangan sampai rakyat jelata membenci islam karena kesalahan aktivis Islam.