Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bagaimana Memahami Al-Qur'an Dan Hadits..??

Bagaimana Memahami Al-Qur'an Dan Hadits..??

Sering kita mendengar dari beberapa guru/ustaz bahwa kalau kita kembali kepada nash-nash al-Quran atau hadits secara langsung bisa membuat orang awam kebingungan.

Yang saya pahami dari pernyataan tersebut adalah orang awam tidak boleh langsung membaca al-Quran atau hadits kemudian langsung menyimpulkan sebuah hukum dari masalah yang sedang dibacanya. Bisa-bisa dia malah tersesat, karena menyimpulkan hukum suatu permasalahan tidak bisa dilakukan semua orang, ia hanya dapat dilakukan oleh para ulama yang sangat menguasai bahasa Arab, mengerti Ijma, mengerti di mana letak ayat al-Quran atau hadits-hadits yang sedang menjadi titik pembahasan, mengerti Nasikh-Mansukh dan banyak lagi persyaratan yang harus terpenuhi.

Kenapa ayat al-Quran atau hadits bisa membuat orang awam (tanpa bimbingan ulama) tersesat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya kita perhatikan contoh-contoh berikut:

Yang pertama: masalah wanita hamil yang mengeluarkan darah, apakah darah tersebut haid atau bukan? Bagi yang mengatakan itu darah haid, maka akan mengatakan dia tidak boleh sholat, sedangkan jika darah tersebut dianggap darah mustahadhoh (darah penyakit), maka akan mengatakan bahwa sholat wajib atasnya.
Dalam Sunan ad-Darimi, salah satu bab adalah tentang pembahasan mengenai "Ketika Perempuan Hamil Melihat Darah".
Pada sebuah hadits diceritakan:
"Az-Zuhri ditanya: "bagaimana kalau wanita hamil melihat darah?" ia menjawab: "dia tidak perlu sholat".
Dalam Hadits yang lain, 'Atho mengomentari wanita hamil yang melihat darah: "dia harus berwudhu dan sholat".
Dari dua riwayat tersebut, yang satu mengatakan tak perlu sholat, sedangkan satunya mengatakan wajib sholat. Jadi, mau pilih yang mana?
Jika ada yang berkata: pilih riwayat yang shahih (valid), kemudian kerjakan sesuai pernyataan riwayat yang shahih itu.
Saya katakan: "kedua riwayat tersebut dinilai shahih sanadnya oleh ulama".
Dan kedua orang yang berfatwa sama-sama dari satu generasi, masing-masing dari mereka berdua adalah Tabi'i (orang yang bertemu Shahabat Nabi shallallahu'alaihi wasallam).
Orang awam (seperti saya) mau pilih yang mana? Dan apa alasannya?

Yang kedua: masalah batasan mengusap kepala saat berwudhu.
Dalam suatu ayat al-Quran yang menjelaskan tata cara berwudhu, salah satu hal yang dilakukan ketika berwudhu adalah mengusap kepala. Pada ayat tersebut tidak dijelaskan batasan yang diusap, tidak dikatakan seluruh kepala atau sebagian kepala.
Jika dikatakan: "lihat saja praktek Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam".
Baik, kita lihat hadits yang berkaitan dengan pembahasan ini:
Hadits pertama: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengusap kepalanya dengan kedua tangannya dari kepala bagian depan sampai bagian belakang, lalu mengembalikan kedua tangannya ke tempat semula (kepala bagian depan)".
Hadits ini menunjukkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengusap seluruh kepalanya.
Hadits kedua: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengusap ubun-ubunnya (ketika berwudhu) dan 'imamahnya".
Hadits ini menunjukkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam hanya mengusap sebagian kepalanya saja.
Dua-duanya shahih. Jika kita mau memilih salah satu, apa pertimbangannya? Kalau kita mau mempraktikkan keduanya, bagaimana caranya?

Yang ketiga: masalah menyentuh kemaluan, apakah membatalkan wudhu?
Hadits pertama: Busroh menceritakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "siapa yang menyentuh kemaluannya hendaklah berwudhu". Al-Bukhari berkata: "ini adalah hadits paling bagus dalam masalah ini".
Hadits kedua: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya tentang laki-laki yang menyentuh kemaluannya, apakah dia harus berwudhu? Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "tidak, dia (kemaluan) hanya sepotong anggota tubuhmu".
Maksudnya adalah kemaluan dan anggota badan lainnya itu sama, yaitu sama-sama tidak membatalkan wudhu ketika disentuh. Seperti orang yang menyentuh hidung atau telinga. Ibnul Madini berkata: hadits ini lebih bagus dari hadits Busroh (hadits pertama tadi).
Al-Bukhari adalah seorang Imam dalam bidang hadits yang sangat terkenal, tidak diragukan lagi keilmuannya dalam bidang hadits, bahkan kitab Shahihnya dikatakan kitab paling shahih setelah al-Quran.
Jika dikatakan: "kalau begitu, ikut saja al-Bukhari".
Baik, bagaimana dengan Ibnul Madini? Beliau juga sangat pakar dalam bidang hadits. Beliau adalah gurunya al-Bukhari, bahkan al-Bukhari pernah berkata: "saya tidak merasa kecil di hadapan seorang pun kecuali ketika berada di samping Ibnul Madini".
Kita mau memilih pendapat siapa kalau begini?

Yang keempat: masalah membaca bismillah ketika sholat.
Hadits pertama: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar mengawali sholatnya dengan membaca alhamdulillahi robbil 'aalamiin dan tidak membaca bismillah. Hadits ini shahih.
Hadits kedua: Nu'aim bercerita: "saya pernah sholat di belakang (makmum kepada) Abu Hurairah, beliau membaca bismillah, lalu membaca al-Fatihah sampai tuntas. Setelah selesai salam, beliau berkata: Demi Allah, sungguh saya ini adalah orang yang sholatnya paling mirip dengan sholatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam". Hadits ini juga dinilai shahih.
Mau mengatakan Abu Hurairah berbohong dalam masalah ini? nastaghfirullah. Tidak mungkin.
Jadi, orang awam (seperti saya ini) kalau hanya melihat teks hadits atau al-Quran seperti di atas bisa apa? Mau nekat pilih salah satu, alasannya apa?

Dan kenyataanya, hadits yang (keliatannya) bertolak belakang seperti di atas jumlahnya bukan sepuluh-dua puluh tapi, ratusan bahkan mungkin ribuan. Kita bisa melihat hal tersebut di kitab-kitab hadits atau kitab-kitab perbandingan madzhab.

Dari keempat contoh ini saja, kita (terutama saya) jadi mengerti, ternyata orang awam harus melihat dan mendengar tuntunan ulama. Tidak boleh langsung melihat hadits lalu menyimpulkan suatu hukum.