Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Fiqih Abad Pertengahan Versus Modernisasi Fiqih

Fiqih Abad Pertengahan Versus Modernisasi Fiqih


Awal tahun 2019, saat peresmian Gereja Koptik dan Mesjid yang dibangun berdekatan dan hampir bersamaan, Syeikhul Azhar Dr. Ahmad Thayyib mengatakan (kurang lebih) bahwa: fatwa abad pertengahan (saat perang salib sedang berlangsung) tentang haramnya membangun gereja di negeri islam tidaklah tepat untuk dipaksakan dizaman modern karena konteks dan keadaan telah berubah.

Fatwa Syeikh Ahmad Thayyib ini jelas berbeda dengan fatwa Syeikhul Azhar masa lalu seperti fatwa Syeikh Ahmad Damanhuri (Pengarang kitab Idhahul Mubham Syarah Sullam Al-Munawwaraq yang dipakai oleh banyak pesantren di Indonesia) dalam kitabnya; Iqamah Al-Hujjah Al-Bahirah Fi Hadmi Kana_is Misr Wa Al-Qahirah.

Hukum mengucapkan selamat natal yang diharamkan oleh banyak ulama besar Mazhab dizaman dahulu juga 'dimodernisasi' oleh banyak ulama kontemporer. Begitu juga dengan hukum mengambil bunga bank yang difatwakan haram dan ditentang keras bahkan oleh ulama Al-Azhar kontemporer seperti Syeikh Wahbah Zuhaili, Syeikh Al-Buthi, Syeikh Al-Qaradhawi dll kemudian juga dibolehkan oleh Syeikh Ali Jum'ah dan Daarul Ifta Mesir.

Jihad ofensif yang disunnahkan oleh para ulama klasik dan tercatat dalam turats fiqhpun kemudian mengalami 'tajdid', Syeikh Abu Zahrah setau saya adalah salah satu dari mereka yang menegasikannya di era kontemporer.

Tentunya bukan kapasitas kita untuk mengkritik tajdid fiqh yang dilakukan ulama kontemporer.

**
Tapi sekali lagi, apakah fiqih perlu ditajdid? Ada sekelompok ulama yang akan menentangnya dan mereka bersikeras berpegang dengan teks-teks fiqih abad pertengahan tanpa sedikitpun mau menoleh kepada fiqih kontemporer sebagaimana yang telah dimodifikasi oleh semisal Syeikh Musthafa Zarqa, Syeikh Al-Qaradhawi dll. Bahkan mereka mengkritik model fiqh sunnahnya Said Sabiq sebagai sebuah bid'ah dalam fiqh.

Narasi Fiqih Islam dalam bentuk klasiknya kini sulit dipahami bahkan oleh orang Arab sendiri. Karenanya Syeikh Ahmad Raisuni berpendapat bahwa fiqih harus ditulis dengan bahasa kontemporer yang bisa dipahami oleh manusia zaman modern. Apalagi jika fiqih islami ingin diaplikasikan dan dijadikan dalam bentuk Undang-Undang modern.

Ketika melihat banyak orang berfatwa nyeleneh atas nama Maslahah, Syeikh Al-Buthi telah melakukan tugasnya dengan baik ketika mempersembahkan kitabnya 'Dhawabit Al-Maslahah' untuk fiqh modern sehingga orang tidak lagi gegabah berfatwa atas nama Maslahah.

Dan sepertinya, kita juga butuh 'Dhawabit' dalam fatwa-fatwa kontemporer agar tak ada lagi fatwa nyeleneh atau dipahami dengan nyeleneh atas nama maslahat, toleransi, cinta, nasionalisme dan lain-lain.