Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berjuang Sebagai Oposisi Ibrah dari Gerakan Islam

Berjuang Sebagai Oposisi Ibrah dari Gerakan Islam

Setelah hampir satu abad berjuang berdarah-darah untuk mencapai tujuannya, tak ada salahnya jika kita membuka kembali sejarah perjuangan para 'Muasssis' dan 'As-sabiqunal Awwalun' gerakan islam untuk kemudian kita mengambil pelajaran dan i'tibar dari sikap-sikap politik mereka, baik itu ketika menjadi oposisi (sebagaimana biasanya) ataupun ketika terpaksa menjadi koalisi dan membersamai penguasa.

Minus satu dua negara, gerakan islam telah menjadi oposisi di hampir semua negara islam. Namun, sikap para tokoh gerakan islam generasi pertama yang sering kontra dengan penguasa tak menghalangi mereka untuk kadang bersikap lunak, menerima usulan dan permintaan penguasa atau bahkan mendukung penguasa zalim jika disana terdapat kemaslahatan untuk agama, negara dan dakwah itu sendiri.

***

Dan marilah kita memulainya dengan sikap Asy-Syahid Hasan Al-Banna ketika jama'ah memutuskan untuk mencalonkannya menjadi anggota parlemen dari wilayah Isma'iliyah, Mesir. Ketika itu koran-koran menyebutkan bahwa Al-Banna tentu saja akan menjadi anggota parlemen di era perdana menteri Musthafa An-Nuhas Basya. Ketika itu semua Ikhwan diliputi kegembiraan dan semua cabang-cabang Ikhwan di daerah siap totalitas bekerja.

Namun, kegembiraan itu hanya berlangsung beberapa hari. Kolonialis Inggris yang menyadari bahayanya dakwah Ikhwan kemudian menekan Musthafa Nuhas Basya untuk membatalkan pencalonan Al-Banna dalam pemilu legislatif. Hal yang kemudian ditolak oleh Al-Banna karena pencalonan dirinya adalah keputusan Jama'ah dan haknya sebagai warga negara yang diakui oleh undang-undang. Akan tetapi Nuhas Basya tetap bersikeras membujuk Al-Banna untuk mundur demi kemaslahatan negara, jama'ah dan nyawanya sendiri.

Al-Banna kemudian mengutaran permasalahan tersebut pada maktab Al-Irsyad dimana seluruh anggota maktab menolak mundurnya Al-Banna dari pencalonan pemilu legislatif. Hanya Al-Banna sendiri yang setuju mundurnya ia dari pencalonan karena ia melihat ada banyak maslahat terhadap bagi negara dan jama'ah jika ia mundur. Dengan kekuasaannya, Inggris bisa melakukan 'apa saja' yang diinginkannya untuk menekan pemerintahan Nuhas Basya.

Pada akhirnya Al-Banna memutuskan mengundurkan dirinya dari pencalonan dalam pemilu legislatif. Hal yang kemudian membuat kecewa banyak anggota jama'ah. Hingga Al-Banna harus mendatangi cabang-cabang Ikhwan di daerah untuk menjelaskan kemaslahatan terhadap dakwah dari mundurnya ia dalam pemilu legislatif.

***

Hubungan antara Ikhwan dan Gamal Abdel Nasir memburuk pada tahun 1954. Beberapa tokoh Ikhwan dipenjara bahkan dihukum mati seperti Ustad Abdul Qadir Audah dan lain-lain. Ketika Mursyid Ikhwan yang kedua dipenjara, Dr. Musthafa As-Sibai yang menjadi Muraqib IM Suriah kemudian diamanahkan untuk mengetuai Maktab Tanfidzi. Penjara, penyiksaan dan hukuman mati terus berlanjut pada tahun-tahun sesudahnya. Ikhwan Suriah melakukakan protes terhadap kekejaman Abdel Nasir atas saudara-saudara mereka di Mesir.

Pada tahun 1958, timbul usulan dari tokoh-tokoh sosialis Mesir-Suriah untuk menyatukan Mesir-Suriah. Akan tetapi Abdel Nasir mensyaratkan persatuan hanya akan terjadi jika semua partai politik di Suriah (termasuk IM) dibubarkan. Apa tanggapan Dr. As-Siba'i?

Meskipun kekejaman Abdel Nasir terhadap Ikhwan Mesir telah terkenal dan belum juga mengering darah para syuhada, Dr. As-Siba'i dan tokoh-tokoh Ikhwan Suriah menerima usulan penyatuan Mesir-Suriah termasuk pembubaran Jama'ah demi kemaslahatan yang lebih besar yaitu persatuan Arab dan upaya untuk melawan penjajahan dan hegemoni Israel di kawasan. Sebab meskipun zalim, Abdel Nasir punya kharisma besar di kawasan dan perseteruannya dengan Israel sudah jelas.

Dikemudian hari, As-Siba'i bahkan mengarang kitab 'Sosialisme Islam' yang kemudian dicetak oleh Abdel Nasir di Mesir untuk mendukung kebangkitan Arab dibawah pemerintahan sang diktator Abdel Nasir.

***

Tokoh-tokoh Ikhwan generasi awal sangat peduli dengan prinsip maslahah dalam berinteraksi dan mengambil sikap terhadap penguasa. Karena kebanyakan mereka memang punya basic keilmuan yang mumpuni. As-Siba'i misalnya, adalah lulusan Al-Azhar dengan desertasinya yang terkenal 'As-Sunnah Wa Makanatuha Fi At-Tasyri' Al-Islami'.

Atas dasar maslahat pula, Ustad Hasan Al-Hudhaibi merestui revolusi juli (kudeta tak berdarah) terhadap raja Faruq. Al-Banna sendiri semasa hidupnya lebih memilih untuk memberi nasehat dan kritik membangun untuk Raja Faruq. Hal yang hampir sama terjadi di Sudan ketika revolusi menggulingkan pemerintahan Ja'far Numeri.

Jika kita beranjak ke Suriah, kita akan menemukan seorang Alim Azhari atau dipanggil Syeikh Al-Hamawi oleh Ikhwan-ikhwan mesir yaitu Syeikh Muhammad Al-Hamid yang menjadi seorang negosiator dalam konflik antara para pemuda Hama yang militan dan pemerintahan sosialis Suriah. Syeikh Al-Buthi dalam maqalahnya (Hamaa Wa 'Alimuha Ar-Rahil) menukil bahwa Sang Murabbi kota Hama sering mengulang-ngulangi perkataan yang masyhur; "Aku tidak ingin menjadi seorang penguasa, tapi yang kuinginkan adalah menjadi penasehat bagi seorang penguasa muslim".

Salah satu tokoh Ikhwan Suriah yang juga sangat berperan aktif dalam mendamaikan Ikhwan dengan rezim Assad paska tragedi Hama adalah Ustad Amin Yakan. Ia juga mengkritik keputusan Ustad Issam Al-Attar yang memberikan izin pelatihan militer sejumlah pemuda Ikhwan di Hama. Karena Ikhwan, sejak masa As-Siba'i tidak pernah mengangkat senjata kecuali terhadap zionis Israel, kolonialisme Perancis di Suriah atau Inggris di Mesir dan Palestina.

Atas dasar maslahah pula, muraqib 'am IM Suriah Al-Allamah Al-Muhaddis Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah akhirnya menerima permintaan Assad melalui Syeikh Al-Buthi untuk kembali ke Aleppo bertemu dengan kerabat dan dalam rangka menyebarkan keilmuan sebelum kemudian dipanggil keharibaan-Nya.

***

Sejarah seringkali mengulang dirinya dari satu masa ke masa yang lain. Adalah tugas kita untuk mengambil pelajaran darinya dan dari sikap para tokoh dalam menghadapi peristiwa-peristiwa besar tersebut. Kritik yang kita lakukan pada penguasa di suatu hari tak harus menjadi penghalang bagi kita untuk membelanya di waktu lain jika memang disana ada kemaslahatan yang lebih besar. Maka semoga menjadi oposisi bukanlah tentang untuk selalu bersitegang dengan penguasa.