Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teori Belajar yang Mendukung Model Pembelajaran Problem Solving

Teori Belajar yang Mendukung Model Pembelajaran Problem Solving

Pembelajaran Problem Solving adalah suatu proses pembelajaran dalam mengajar dengan menyelesaikan masalah suatu persoalan berupa materi dalam bentuk wacana dan selanjutnya wacana tersebut dituntut untuk dipecahkan secara bersama. Hal ini sesuai dengan teori belajar yang mendukung pembelajaran Problem Solving, yaitu sebagai berikut:

1. Teori Jean Piaget

Jean Piaget merupakan pakar Psikologi dari Swiss mengajukan bahwa teori perkembangan kognitif yang hingga saat ini sangat berpengaruh dalam Psikologi pendidikan. Teorinya banyak berpengaruh pada seorang anak yang dapat memahami dan berkembang aspek kognitifnya.

Mengetahui perkembangan kognitif pada anak dan juga guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar lebih baik. Menurut Piaget proses berfikir seseorang berkembang secara drastis, meskipun berkembang secara perlahan-lahan, dari saat dilahirkan hingga dewasa. Sepanjang kehidupannya, seorang manusia akan secara konstan berusaha memahami bagaimana dunia yang ada disekitarnya.

Baca juga: Hakikat Pembelajaran Problem Solving

Piaget dalam perkembangan kognitifnya mengidentifikasi 4 faktor yang sangat berpengaruh, yaitu: (1) kematangan biologis; (2) aktivitas fisik; (3) pengalaman-pengalaman sosial; (4) penyeimbangan (ekuilibrasi). Kesemua faktor ini saling berinteraksi dan mempengaruhi perkembangan kognitif dengan mengubah proses-proses berpikir.

Faktor keempat menurut Piaget yang sangat berpengaruh pada perkembangan kognitif disebut sebagai ekuilibrasi (penyeimbangan). Penyeimbangan terjadi ketika seseorang secara terus-menerus harus memproses informasi baru yang didapatnya lalu mengeceknya dengan informasi atau pengetahuan yang telah dimilikinya sebelumnya. Ketika suatu informasi baru berbeda dengan informasi lama, maka orang tersebut harus menyeimbangkannya untuk menentukan informasi yang tepat. Dengan demikian struktur pengetahuan (kognitif) seseorang terus-menerus dapat diubah dan disesuaikan dengan informasi baru yang diperolehnya.

2. Teori Vygotsky

Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari lingkungan (Taylor 1993), pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi (Taylor 1993).

Baca juga: Pentingnya Pembeajaran Resiprocal Teaching

Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan yang menurut beliau, bahwa interaksi sosial yaitu interaksi individu tersebut dengan orang lain merupakan faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara evisien dan efektif apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu, guru atau orang dewasa.

Dengan hadirnya teori konstruktivisme Vygotsky ini, banyak pemerhati pendidikan yang megembangkan model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran peer interaction, model pembelajaran kelompok, dan model pembelajaran problem solving.

Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan intrapsikologi (intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu).

Berdasarkan uraian di atas, maka implikasi utama dari teori Vygotsky terhadap pembelajaran adalah kemampuan untuk mewujudkan tatanan pembelajaran kooperatif dengan dibentuk kelompok-kelompok belajar yang mempunyai tingkat kemampuan berbeda dan penekanan perancahan dalam pembelajaran supayasiswa mempunyai tanggung jawab terhadap belajar.

Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua faktor:
  1. perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan sejarah pengalaman siswa
  2. Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang. Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu seseorang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, system tulisan, dan sistem perhitungan.
Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi mereka mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman. Dengan cara ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran peserta didik.

Perbedaan kedua teori Piaget dan Vygotsky yaitu Piaget lebih menekankan pada aspek biologis dari perkembangan seorang anak. Sedangkan Vygotsky memandang bahwa perkembangan dan pembelajaran terjadi di dalam konteks sosial, yakni di dunia yang penuh dengan orang yang berinteraksi dengan anak sejak anak itu lahir. Vigotsky lebih berkonsentrasi pada kebudayaan. memandang pentingnya bahasa dan orang lain dalam dunia anak-anak.

Vygotsky lebih banyak menekankan bahasa dalam perkembangan kognitif dari pada Piaget. Bagi Piaget, bahasa baru tampil ketika anak sudah mencapai tahap perkembangan yang cukup maju. Pengalaman berbahasa anak tergantung pada tahap perkembangan kognitif saat itu. Namun, bagi Vygotsky, bahasa berkembang dari interaksi sosial dengan orang lain. Awalnya, satu-satunya fungsi bahasa adalah komunikasi. Bahasa dan pemikiran berkembang sendiri, tetapi selanjutnya anak mendalami bahasa dan belajar menggunakannya sebagai alat untuk membantu memecahkan masalah.

Persamaan kedua teori tersebut yaitu, Piaget dan Vygotsky merupakan dua tokoh utama konstruktivisme. Kedua tokoh ini memandang bahwa peningkatan pengetahuan merupakan hasil konstruksi pembelajaran dari pembelajar, bukan sesuatu yang “disuapkan” dari orang lain. Kedua tokoh ini juga berpendapat bahwa belajar bukan semata pengaruh dari luar, tetapi ada juga kekuatan atau potensi dari dalam individu yang belajar.

Dalam telaahnya Vygotsky atas tahun-tahun pertama masa kanak-kanak, beliau membahas “pikiran non-linguistik”. Hal ini hampir sama dengan Piaget yang menyatakan tentang “aktivitas sensomotorik” juga terjadi pada masa kanak-kanak.