Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Premanisme Berkedok Agama

 

Premanisme Berkedok Agama

Premanisme berasal dari bahasa Belanda vrijman berarti orang bebas, merdeka dan isme berarti aliran yang dasarnya digunakan untuk sebutan peyoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain. Seseorang atau sekelompok orang juga bisa diberi label preman ketika ia melakukan kejahatan (politik, ekonomi, sosial) tanpa beban. Maka premanisme di sini merupakan tendensi untuk merebut hak orang lain bahkan hak publik sambil mempertontonkan kegagahan yang menakutkan. Istilah yang lebih mendekati untuk “preman” dalam islam adalah Al-Muntahib. Perbuatannya disebut Nahab atau Intihab. Dalam Ensiklopedi Fikih diartikan dengan mengambil harta secara paksa dengan menindas (korban) secara terang-terangan. Preman juga dapat diartikan sebagai orang yang menggunakan kekuatan dan penindasan untuk mengambil harta orang lain dengan cara merampas. Secara umum istilah preman penekanannya adalah pada perilaku seseorang yang membuat resah, tidak aman dan merugikan lingkungan masyarakat ataupun orang lain .

Fenomena preman di Indonesia mulai berkembang pada saat ekonomi semakin sulit dan angka pengangguran semakin tinggi. Akibatnya kelompok masyarakat usia kerja mulai mencari cara untuk mendapatkan penghasilan, biasanya melalui pemerasan dalam bentuk penyediaan jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Preman sangat identik dengan dunia kriminal dan kekerasan seperti pungutan liar dari sopir-sopir, yang bila ditolak akan berpengaruh terhadap keselamatan sopir dan kendaraannya yang melewati terminal. pungutan liar dari lapak-lapak kaki lima, yang bila ditolak akan berpengaruh terhadap dirusaknya lapak yang bersangkutan dan hal lainnya yang menyangkut dengan pemerasan dan pemaksaan kehendak kepada orang atau kelompok lainnya.

Evolusi premanisme yang sekarang mematahkan definisi asal dari premanisme sebelumnya. Jika premanisme sebelumnya masih berkutat di wilayah pasar, terminal dan tempat umum lainnya seperti yang dijelaskan dalam berbagai definisi yang lama. Namun untuk saat ini, premanisme menjangkau ke jajaran pemerintahan Negara ini. Kini premanisme menjadi lebih komplek. Perkembangannya hampir meliputi berbagai bidang. Mulai dari birokrasi, hukum, hingga dalam persoalan keagamaan banyak sekali tindakan-tindakan premanisme.

Kalau kita kaji lebih lanjut, Setidaknya tiga jenis kelompok yang memegang ideologi premanisme. Pertama, murni preman kriminal. Mereka berkumpul untuk memeras, memalak, menagih, bahkan tak segan mencuri paksa secara terbuka. Untuk yang jenis ini, pelanggaran hukumnya menjadi rahasia umum, sekalipun demikian masih bisa berkeliaran bebas. Pos-posnya tersebar tanpa diganggu gugat oleh aparat penegak hukum. Kedua, preman yang berkedok ormas atau kelompok pemuda. Yang ketiga, Mereka yang mengusung ideologi premanisme berasaskan kepentingan. Bila kepentingannya terusik, kelompok tersebut berani melakukan apapun demi untuk mengokohkan kepentingnnya dengan berkedok agama. Inilah yang terjadi baru baru ini di Aceh seperti kerusuhan di masjid Al-Fitra di Desa Ketapang II Banda Aceh. Yang mana sekelompok warga membubarkan secara paksa pengajian Ustad Firanda Andirja. Tidak hanya sekedar berdebat sambil berteriak, Ada di antara peserta yang hadir juga terlihat sempat terlibat bentrok fisik dan saling dorong. Sementara jama'ah perempuan berlarian ke luar pekarangan masjid seraya berteriak histeris menjauh dari kericuhan. Kondisi semakin tidak terkendali, bahkan beberapa personil polisi yang berjaga-jaga di luar masjid tidak mampu menghalau gelombang warga yang semakin ramai. Masyarakat masih terus berupaya masuk ke dalam masjid untuk membubarkan kajian yang dapat kita liaahat di video yang beredar di medsos. Ini adalah bagian dari bentuk premanisme yang berazaskan kepentingan yang berkedok agama yang tidak semestinya terjadi di Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam.

Kejadian ini terjadi karena ada kelompok yang mengusung ideologi premanisme yang berazaskan kepentingan kelompok dan golongan yang berkedok agama baik dari pihak penyelenggara yang mendatangkan ustad Firanda Adirja maupun dari pihak yang membubarkan kajian mereka. Bentuk premanisme yang dilakukan oleh pihak penyelenggara adalah tidak mengindahkan amaran dari MPU Kota Banda Aceh yang menolak Dr. Firanda Adirja untuk mengisi kegiatan Daurah di Banda Aceh bahkan sudah diingatkan oleh Kapolresta Kota Banda Aceh agar acara tersebut tidak diselenggarakan. Padahal dari pihak penyelenggara yang beraliran salafi dalam setiap kajian selalu menyampaikan untuk taat kepada Ulil amri (pemerintah, baik eksekutif, legeslatif, yudikatif dan seluruh jajarannya) walau mereka berbuat dhalim. Tetapi ketika bertentangan dengan kepentingan kelompok mereka, maka amaran MPU dan Kapolresta Banda Aceh tidak diindahkan sehingga terjadi kericuan didalam Masjid. Begitu juga dari pihak yang menolak acara tersebut juga dengan berani membuat kericuhan didalam mesjid dengan melakukan aksi lempar sandal, merusak beberapa fasilitas masjid bahkan melakukan pemukulan didalam masjid. Dikedua pihak tersebut adalah bentuk praktek premanisme yang berkedok agama, yang hakikatnya hanya memperjuangkan kepentingan masing-masing dari mereka dengan mengatas namakan agama. Padahal perbedaan yang terjadi diantara dua kubu tersebut adalah bagian furuiyah agama (baik dibidang akidah maupun fikih) yang itu semuanya bisa diselesaikan dengan dialog dan saling berlapang dada terhadap perbedaan tersebut dan tidak pastas diselaikan dengan gaya preman apalagi di Aceh sebagai negeri syariat.