Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Memahami Ayat Secara Utuh Perspektif Tafsir Tematik

Memahami Ayat Secara Utuh Perspektif Tafsir Tematik

Buku ini juga telah memenuhi prosedur tahap ke 7 Tafsir Maudhu’i Model Al-Farmawi, sebagaimana uraian pengkaji pada langkah-langkah sebelumnya dari tahap 1 sampai 6. Keseluruhan pembahasan di dalam buku menunjukkan bahwa penulis memahami dengan baik kandungan setiap ayat serta menghimpun setiap ayat secara umum terkait materi bahasan dan mengkompromikan antar ayat tersebut dengan terperinci; baik secara deduktif maupun induktif dengan fokus uraian yang tegas, sehingga tidak terjebak dengan hal-hal lain yang tidak terkait dengan teori-teori pendidikan yang berlandaskan kepada Al-Quran.

Salah satu contoh pemenuhan standar ini, tatkala penulis mengemukakan pandangannya tentang fitrah manusia dan proses kependidikan. Fitrah dipandang memiliki makna yang sama dengan agama (din). Manusia lahir dengan segala potensi yang baik sesuai tuntunan agamanya, namun lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhinya. Teori praktek pendidikan sangat bergantung pada cara pandang seorang pendidik terhadap sifat dasar manusia (fitrah) dan kecenderungan-kecenderungan biologisnya. Kecenderungan biologis tersebut harus disesuaikan dengan fitrah manusia. Disisi lain manusia harus memenuhi kebutuhan biologisnya dalam hal makan dan minum, namun di sisi lain manusia harus menekan kecenderungan biologis yang melampaui batas hakikat fitrahnya.

Sehubungan dengan kelanjutan pembahasan ini, penulis terkesan mengutip dua ayat yang bertentangan dalam analisisnya, yaitu: QS. Al-Rum: 30 dan Al-Nisa’:119. tentang larangan merubah ciptaan Allah.

Jika dilihat sekilas tanpa pemahaman yang mumpuni, kedua ayat tersebut akan tampak bertentangan. Namun pada dasarnya, QS. Al-Rum: 30 dalam pandangan penulis mengandung pengertian manusia tidak boleh menuruti kencederungan-kecenderungan yang mengingkari fitrahnya (agama). Hal ini sebagaimana dinyatakan penulis, sebagai berikut:

“Ayat di atas (QS. Al-Rum: 30) merupakan bukti, apa yang ada pada diri manusia itu tidak boleh berubah, yang secara implisit menyatakan bahwa kecenderungan-kecenderungan yang ada pada manusia tidak dapat mengingkari fitrahnya. Orang yang mencoba merubah sifat dasar manusia, akan berarti merusak kecenderungan seksual atau merusak kecenderungan-kecenderungan lain yang sesuai dengan ajaran Islam”.

Selanjutnya penulis menyatakan bahwa perbuatan yang melampaui batas itu merupakan perbuatan syaithan dan memperkuat penafsirannya dengan menggunakan QS. Al-Nisa’: 1119 yang secara lahir keduanya tampak bertentangan, namun hakikatnya saling menguatkan dan penulis mengkompromikan keduanya dengan baik dan jelas dalam pernyataan penulis berikut:  “Menurut sebagian ahli tafsir, mengubah sifat dasar yang ditunjukkan ayat di atas (QS. Al-Nisa’: 1119) dikaitkan dengan kencenderungan-kecenderungan seksual. Ayat ini memerintahkan manusia agar tidak melaksanakan perbuatan maksulasi seksual, pengebirian seksual atau membujang”. 

Islam tidak hanya menolak penghancuran kecenderungan-kencenderungan biologis yang dibawa manusia sejak lahir, namun juga menolak berbagai perbuatan yang mengarah kepada perubahan perangai manusia. Dengan kata lain, pengkaji mencoba menjembati kaitan kedua ayat tersebut. Di satu sisi manusia dilahirkan dengan segala fitrah disertai segala kecenderungan biologis yang dimilikinya dan tidak dibenarkan merubah fitrah dasar dengan menyalahi tuntunan agama. Di sisi lain dinyatakan manusia diminta untuk merubah fitrah dasar itu; suatu pengkhususan pada konteks seksual, dengan harapan agar manusia tidak melakukan perbuatan maksulasi seksual, pengebirian seksual atau membujang. Namun demikian, dalam hal seks ini manusia juga dituntut agar senantiasa berada pada koridor agama yang benar dan tidak melampaui batas. Pemenuhan kencenderungan-kencenderungan biologis dan fitrah manusia yang baik atau sebaliknya akan berpengaruh pada proses pendidikan dan pelaksanaan perannya sebagai khalifah di muka bumi.