Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pemberian Hukuman Terhadap Anak Dalam Perspektif Pendidikan (3)

Pemberian Hukuman Terhadap Anak Dalam Perspektif Pendidikan 3

Persoalan selanjutnya adalah, hukuman pukulan seolah-olah dianggap sebagai satu-satunya solusi sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah saw dalam sabdanya yang artinya: “Suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh (7) tahun dan Pukullah jika tidak mau shalat di usia sepuluh tahun (10), serta pisahkan tempat tidur mereka.” Jelas itu merupakan suatu hal yang keliru, jika kita mencoba memahami kembali nilai-nilai edukatif yang terdapat dalam Ḥadits tersebut, kata “pukullah” bukanlah hal yang diutamakan dalam pendidikan. Hal yang terlebih dahulu diutamakan dalam Ḥadits tersebut adalah tahapan mengajarkan, mendidik, membimbing dan membina anak. Hal itu dilakukan oleh setiap orang tua mulai semenjak anak masih bayi sampai usia 7 tahun, dari usia 7 tahun sampai 10 tahun,[1] dan pada usia 10 tahun anak baru boleh dipukul.

Sedangkan bagi pendidik, jarak usia 7 tahun sampai 10 tahun adalah 3 tahun, menurut penulis, jika pendidik telah mengajarkan, mendidik, membimbing dan membina anak selama 3 tahun (365x3=1095 hari), maka pendidik baru dibolehkan memberi hukuman pukulan terhadap anak didiknya. Jika kita melihat jenjang pendidikan kita di Indonesia khususnya tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), maka hanya dilewati selama 3 tahun oleh anak didik, maka kapan pendidik berkesempatan menjatuhkan hukuman pukulan terhadap anak didiknya? Oleh karena itu, menurut penulis, pendidik tidak boleh memberikan hukuman pukulan terhadap anak didiknya sebelum mendidik, mengajarkan, membina dan membimbing mereka selama 3 tahun dan pendidik tidak boleh menghukum anak didik yang berumur di bawah 10 tahun.

Ḥadits di atas juga bukan untuk dijadikan landasan oleh orang tua atau pendidik untuk menjatuhkan hukuman pukulan terhadap anak pada setiap kesalahannya. Hukuman fisik seumpama pukulan terhadap anak, menurut penulis hanya bisa diberikan hanya ketika anak melakukan hal-hal yang mendekati perbuatan dosa seperti halnya (mencuri, menyakiti orang lain, berbohong, berzina, dsb), atau hal yang menjadi aturan prinsip dalam Islam seperti halnya shalat.[2] Bagi orang tua, penerapan kebiasaan shalat terhadap anak, haruslah dilakukan 5 kali sehari, jika 5 dikalikan dengan 365 hari dan dikalikan lagi dengan 3 tahun, maka akan berjumlah 5475 atau (5x365x3=5475). Dengan demikian, orang tua maupun pendidik baru boleh menjatuhkan hukuman fisik (pukulan) terhadap anak atau anak didik mereka apabila orang tua dan pendidik telah mengajarkan, memberi teladan, membimbing, mengayomi dan membina anak shalat, serta telah memerintahkan anak melaksanakannya sebanyak 5475 kali.

Jika untuk masalah yang paling prinsipil saja seumpama shalat, anak baru boleh diberikan hukuman pukulan apabila telah diajarkan selama 3 tahun dan diperintahkan sebanyak 5475 kali, maka bagaimana boleh untuk kesalahan lain yang tidak begitu prinsipil, orang tua atau pendidik langsung menjatuhkan hukuman pukulan terhadap anak atau anak didiknya tanpa melewati tahapan, syarat, etika, cara yang benar dan jangka waktu yang tepat terlebih dahulu.

Hal yang terjadi di lapangan hari ini adalah praktek pemberian hukuman di lembaga-lembaga pendidikan memang kita akui terkadang melampaui batas dasar hakikat pemberian hukuman itu sendiri, akan tetapi walaupun demikian bukan berarti pemberian hukuman oleh guru harus dihilangkan apalagi sampai dianggap sebagai sebuah sikap tindak kriminal (kekerasan) sebagaimana yang sering kita lihat digembar-gemborkan oleh para aktifis perlindungan anak sebenarnya juga merupakan suatu hal yang keliru, mengapa? Karena hukuman jelas tidak sama dengan kekerasan, hukuman mengandung nilai edukatif ke arah perbaikan karakter anak, sedangkan kekerasan sebagimana yang tertera dalam Undang-Undang Perlindungan Anak no 23 tahun 2002 pasal 3,[3] 4,[4] dan 13[5] adalah suatu tindakan yang memaksakan bahkan melukai psikis dan fisik anak yang bukan untuk tujuan kebaikan anak itu sendiri. Dengan kata lain, hukuman tidak selamanya harus dengan pemukulan sehingga dianggap kekerasan, dan kekerasan bukan pemberian hukuman, sehingga hanya hal tersebut yang menjadi sorotannya.

Intinya adalah jika semua pemberian hukuman seperti menasehati anak dengan lemah lembut, pelarangan, sindiran, pengabaian dan tahap terakhir baru dengan pukulan dan itupun pukulan dengan tidak meninggalkan bekas atau menyakiti si anak dianggap sebagai tindak kekerasan sehingga siapapun yang melakukan tindakan tersebut dianggap sebagai suatu tindak kriminal yang melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002, maka hal ini dengan sendirinya akan membatasi dan mengikat ruang gerak dalam proses pendidikan itu sendiri. Jika hal ini terus terjadi maka bukan tidak mungkin, untuk mewujudkan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi dan meningkatkan kecerdasan anak akan terkendala, sehingga apa yang tertera dalam UU pendidikan No 20 tahun 2003 tentang tujuan pendidikan nasional akan sulit pelaksanannya.

Hal selanjutnya menurut penulis adalah, kata pengabaian dalam UU Perlindungan Anak berbeda dengan pengabaian dalam Pendidikan Islam. Dalam UU Perlindungan Anak, pengabaian[6] yang dimaksud adalah pengabaian orang tua terhadap tugas dan tangung jawabnya terhadap anak dengan tidak memperdulikan kebutuhan-kebutuhan anak baik dari segi sandang, pangan, kasih sayang, cinta, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Sedangkan pengabaikan dalam Pendidikan Islam adalah bentuk hukuman pendidik terhadap anak didik yang melakukan kesalahan agar anak didik merasa telah kehilangan perhatian dari gurunya karena sikapnya yang salah tersebut sehingga timbul keinginannya untuk memperbaiki sikapnya dan minta maaf atas kesalahnya dengan maksud agar ia mendapatkan kembali perhatian dari gurunya tersebut.

Hal lain yang membuat tidak bisa disamakannya antara hukuman dan kekerasan adalah, jika hukuman bertujuan untuk meluruskan perilaku anak yang menyimpang seperti: tidak menghormati orang tua,[7] tidak disiplin, mencuri, egois,[8] merokok, berzina, bebas berkehendak, suka berkelahi dan sebagainya, maka sesungguhnya hukuman adalah suatu usaha para orang tua atau guru untuk meminimalisir tindak kekerasan itu sendiri dalam diri anak terhadap dirinya dan orang lain, bukan sebaliknya hukuman malah dianggap sebagai suatu tindakan kekerasan.

Terakhir yang ingin penulis pertegas kembali bahwa, dalam pendidikan, sikap dan perilaku salah anak harus tetap ditegur dan segera diluruskan dengan cara yang baik dan tepat, bukan dengan cara yang salah. Hukuman dalam pendidikan Islam bukanlah hukuman sebagaimana yang terkadung dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, dan jika terjadi tindakan pemberian hukuman terhadap anak yang berlebihan di lembaga pendidikan, maka hal tersebut baru bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dengan tetap kembali pada konsep pemberian hukuman dalam pendidikan Islam yang disesuaikan dengan tujuan Undang-Undang Sisdiknas.

Undang-Undang Perlindungan Anak menurut penulis adalah benar dalam melindungi hak-hak anak, walaupun tidak seluruhnya benar, pendidikan Islam juga benar dalam membuat konsep hukuman terhadap anak, akan tetapi konsep tersebut belum tersampaikan dengan baik sehingga belum teraplikasikan dengan benar di lapangan pendidikan. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam hal ini yang perlu kita lakukan menurut penulis adalah proses pensosialisasian Undang-Undang Perlindungan Anak di dalam keluarga, lembaga-lembaga pendidikan dan di dalam masyarakat haruslah dibarengi atau diseimbangkan dengan pemahaman yang benar tentang pemberian hukuman terhadap anak yang sesuai dengan konsep pendidikan Islam, sehingga tujuan perlindungan anak yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Perlindungan Anak dan tujuan hukuman yang dimaksudkan oleh pendidikan Islam dapat terlaksana dengan baik tanpa saling menyalahkan, karena hukuman tidak bermaksud untuk tidak melindungi anak dan perlindungan anak bukan berarti harus meghilangkan metode hukuman dari dunia pendidikan dalam proses mendidik mereka.

[1]Pada usia 10 tahun, anak-anak mulai memasuki “kesempurnaan” akal. Pada masa baliq (pubertas), perkembangan fisik, mental, dan koqnitif anak mencapai kelengkapan dan kesempurnaan fungsi. Pada usia pubertas pula, pembentukan kepribadian dimatangkan. Lihat Ihsan Baihaqi Ibnu Buchori, Sebelum Meminta Anak Shalih, Yuk Jadi Orang Tua Shalih, (Bandung: Mizania, 2010), h.160.

[2]Bagi umat Islam, shalat adalah ibadah yang sangat prinsipil. Shalat membedakan muslim dengan umat lainnya. Di akhirat, kita percaya, ibadah inilah yang paling awal ditanyakan. Konsekuensi pelanggaran aturan ini sangat berat. Itu sebabnya Rasulullah saw menekankan penegakan aturan ini. Lihat Ihsan Baihaqi Ibnu Buchori, Sebelum Meminta Anak ṣaliḥ, Yuk Jadi Orang Tua ṣaliḥ, (Bandung: Mizania, 2010), h. 160-161.

[3]“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.” Lihat Departemen Sosial Republik Indonesia,Undang-Undang..., h. 16.

[4]“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Lihat Departemen Sosial Republik Indonesia,Undang-Undang..., h. 16.

[5]“Anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.” Lihat Departemen Sosial Republik Indonesia,Undang-Undang..., h. 18.

[6]Perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya. Lihat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia..., h. 58.

[7]Tidak adanya rasa hormat dan taat kepada pendidik, orang tua atau guru, sebab rasa hormat muncul setelah adanya ketaatan, dan ketaatan ada bila rasa takut menjadi salah satu rukunnya. Kemudian muncul sikap tidak peduli terhadap perintah dan larangan pendidik, ini lumrah terjadi, sebab “siapapun yang merasa aman dari hukuman, niscaya akan berbuat semaunya.” Lihat ‘Abdul Lathif al-Ajlan, Rambu-Rambu Pemukulan Dalam Pendidikan Anak, terj. Abdul Aziz, (Bogor: Pustaka Ulil Albab, 2006), h. 53.

[8]Timbul kebiasaan keinginan mengutamakan keinginan diri sendiri, walaupun merugikan orang lain. Lihat ‘Abdul Lathif al-Ajlan, Rambu-Rambu Pemukulan Dalam..., h. 53.