Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BAB II Epistemoogi Irfani dan Burhani dalampendidikan Islam

burhani dan irfani

BAB II
PEMBAHASAN

A. Epistemologi Bayani, ‘Irfani dan Burhani

Epistemologi ‘Irfani
Kata ‘irfan adalah bentuk masdar dari kata ‘arafa yang berarti ma’rifah (ilmu pengetahuan).[1] Kemudian ‘irfan lebih dikenal sebagai terminologi mistik yang secara khusus berarti “ma’rifah” dalam pengertian “pengetahuan tentang Tuhan”.[2] Kalau ilmu (pengetahuan eksoterik) yakni pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui istidlal, nazhar, dan burhan, maka ‘irfan (pengetahuan esoterik) yaitu pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham, i’iyan (persepsi langsung), dan isyraq.

Epistimologi ‘irfani baru berkembang setelah pengaruh nalar grosnik yang banyak diintrodusir dari tradisi Persia masuk ke dunia Islam dan diapresiasi oleh simpatisan Syi’ah dan kalangan Sufi, epistemologi irfani ini sangat mengunggulkan jenis pengetahuan kashfi yang bisa diperoleh seseorang melalui riyadhah dan mujahadah, bukan melalui kapabilitas rasionalnya.[3] Dengan sifat demikian, jenis pengetahuan ini tidak bisa begitu saja ditransmisikan lewat proses pembelajaran yang mengandalkan kemampuan eksplanasi, penalaran diskursif-inferensial, dan kritisme intelektual.

Epistemologi Burhani

Al-Jabiri menggunakan burhani[4] sebagai sebutan terhadap sistem pengetahuan yang berbeda dengan metode pemikiran tertentu dan memiliki world view tersendiri, yang tidak bergantung pada hegemoni sistem pengetahuan lain. Burhani mengandalkan kekuatan indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai kebenaran. Metode burhani tersebut dapat diterapkan jika memenuhi beberapa tahap: pertama, tahap pembuatan pengertian yang mencakup jenis, nau’, dan fashl. Kedua, tahap pembuatan kalimat. Ketiga, tahap pembuatan silogisme. Silogisme adalah cara berargumen dengan dua premis dan satu kesimpulan. Karena itu, silogisme harus terdiri dari tiga hal, yaitu:
  1. Dua premis yang saling berhubungan,
  2. Premis pertama disebut premis mayor dan premis yang kedua disebut premis minor, dan
  3. Premis penengah yang merupakan kesimpulan.[5]
Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam setiap jalannya proses pendidikan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkanoleh para ilmuan Barat.

Dengan demikian, perpaduan antara fikiran yang brilian yang dipandu dengan hati yang jernih, akan menjadikan iptek, termasuk di dalamnya ilmu hukum, yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan manusia teralienasi (terasing) dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan oleh manusia modern ini terjadi karena iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. 

Mereka menuhankan iptek di atas segala-galanya. Sedangkan potensi rasa (jiwa) mereka abaikan, sehingga mereka merasa ada yang hilang dalam diri mereka.

Keseimbangan antara fikiran (fikr) dan rasa (dzikr) ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia, ia tidak akan dapat menciptakan sesuatu apapun tanpa fikr dan dzikr sebagai alat dalam mendapatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadi pilar peradaban yang tahan bantingan dalam setiap situasi dan kondisi apapun. Keduanya adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang teguh kepada dua pilar ini disebut Al-Qur’an sebagai ulul albab atau ulul abshar yang mampu mengintegrasikan kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu mengembangkan kearifan yang menurut al-Qur’an dinilai sebagai khairan katsiran.



[1]Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi..., h. 253
[2]Nalar ‘irfani yang dikehendaki oleh al-Jabiri adalah nalar ‘irfani dalam pengertian gnostik. Sehingga dari perspektif epistemologis, gnostik merupakan prinsip dasar, konsep, dan prosedur yang membangun dunia berfikir dalam peradaban Arab dengan dua porosnya; pertama, penggalian bahasa dengan menggunakan pasangan epistemologis makna eksoteris/esoteris yang sejajar dengan pasangan kata/makna dalam ternd akal retoris, dan kedua, mengabdi dan menggali manfaat dari politik secara bersamaan dengan menggunakan pasangan epistemologis kewalian/kenabian yang sejajar dengan pasangan epistemologis principium/cabang dan pasangan substansial/accidens dalam terend akal retoris. Lihat dalam ‘Abied Shah, M. Aunul dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik al-Jabiri” dalam Islam Garda Depan, (Bandung : Mizan, 2001), h. 317.
[3]Mahmud Arief. 2008. Mewujudkan Pendidikan Islam yang maju. Online. (http://www. rusdimoh71@yahoo.com. Diakses 14 juli 2010).
[4]Al-Burhan dalam bahasa Arab berarti argument yang clear dan distinc. Dalam pengertian logika, al-burhan adalah aktivitas fikir yang menetapkan kebenaran sesuatu melalui penalaran dengan mengkaitkan pada pengetahuan yang bukti-buktinya mendahului kebenaran. Sedangkan dalam pengertian umum, al-burhan berarti aktivitas fikir untuk menetapkan kebenaran sesuatu. Lihat Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi..., h. 383.
[5]Osman Bakar, Hierarkhi Ilmu, terj. Purwanto, (Bandung: Mizan, 1997), h. 106