Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BAB II Epistemologi Bayani

metode bayani

BAB II
PEMBAHASAN

A. Epistemologi Bayani, ‘Irfani dan Burhani

Epistemologi Bayani
Secara etimologi, bayani[1] mempunyai arti menyambung, memisah-misahkan, terang dan jelas, kefasihan dan kemampuan dalam menyampaikan, serta kekuatan untuk menerima dan menyampaikan kejelasan. Sedangkan secara terminologi, dengan mengutip pendapat al-Jahiz dalam kitabnya al-Bayan wa al-Tabyin, al-Jabiri mengartikannya sebagai nama universal (ism jami’) bagi setiap pemahaman makna, sedangkan apabila merujuk kepada pendapat al-Syafi’i, bayani merupakan nama universal bagi maknamakna yang terdapat dalam kumpulan landasan pokok (al-ashl) dan mengurai cabang (al-furu’).[2]
Menurut al-Jabiri, aktivitas nalar bayani terjadi dalam tiga hal:
  1. Aktivitas intelektual yang bertitik tolak dari ashl yang disebut dengan istinbat (penggalian pengetahuan dari teks),
  2. Aktivitas intelektual (al-tafkir) yang bermuara pada ashl yang disebut dengan qiyas,
  3. Aktivitas pemikiran dengan arahan dari ashl, yaitu dengan menggunakan metode al-istidlal al-bayani.[3]
Dengan demikian, epistemologi bayani mempunyai ciri spesifik yaitu selalu berpijak pada ashl (pokok) yang berupa nas (teks).
Munculnya tradisi bayani ini menurut al-Jabiri bukan suatu hal yang asal jadi. Akan tetapi memiliki akar historisnya dalam sejarah budaya dan tradisi pemikiran Arab. Aktivitas dan kelahiran bayani dimulai dengan apa yang disebut masa kodifikasi (‘asr tadwin), yaitu masa berlangsungnya proyek konstruksi budaya secara massif dalam pengalaman sejarah peradaban Islam, yakni antara pertengahan abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-3 H. Pada perkembangannya, peradaban ini telah membentuk kerangka rujukan bagi pemikiran Arab dengan segenap disiplin keilmuan yang beragam.[4]


[1]Bayani (explanatory), secara etimologis, mempunyai pengertian penjelasan, pernyataan, ketetapan. Sedangkan secara terminologis, Bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma`, dan ijtihad. Lihat Muqowim. 2008. Pengantar Kajian Islam, online. (http://www. 2008_10_26_archive.html. Diakses 14 juli 2010).
[2]Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyah, (Casablanca : Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993), h. 7
[3]Ibid., h. 113
[4]Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 60