Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sifat Allah Dalam Asmaul Husna

Sifat Allah Dalam Asmaul Husna
Pembagian Sifat-sifat Allah

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa lafazh yang menunjukkan sifat dan pengabaran tentang Allah menjadi beberapa macam: terbagi

Pertama, lafazh yang maknanya kembali kepada diri Allah sendiri, seperti: Dzat, Maujud (ada), dan Syai' (sesuatu).

Kedua, nama yang menunjukkan kepada sifat maknawi, seperti al-'Aliim (Yang Mahatahu), al-Qadiir (Yang Mahakuasa), dan as-Samii' (Yang Maha Mendengar).

Ketiga, nama yang menunjukkan kepada af al (perbuatan)-Nya, seperti al-Khaaliq (Yang Maha Pencipta) dan ar-Razaaq (Yang Maha Pemberi Rizki).

Keempat, nama yang menunjukkan kepada penyucian yang murni. Dalam hal ini nama tersebut harus mengandung konteks pengukuhan. Sebab, sekedar menafikan adanya kekurangan tidaklah cukup untuk menunjukkan kesempurnaan sesuatu. Contohnya al-Qudduus (Yang Mahasuci) dan as-Salaam (Yang Mahasejahtera).

Kelima, dan inilah yang tidak banyak disebut orang, yaitu nama yang menunjukkan sejumlah sifat. Nama ini tidak menunjukkan sifat tertentu secara khusus. Memang ia menunjukkan salah satu sifat yang dicakupnya, tetapi tidak secara khusus untuk makna sifat tersebut.

Misalnya, al-Majiid (Yang Maha Terpuji), al-'Azhiim (Yang Mahabesar), as-Shamad (Yang seluruh makhluk bergantung kepada-Nya). Dalam hal ini, lafazh al-Majiid berarti Yang memiliki beberapa sifat kesempurnaan. Sebab lafazhnya memang menunjukkan pengertian ini. 

Lafazh al-Majd sendiri dipergunakan untuk menunjukkan keluasan, banyak, dan tambahan. Perhatikan makna kalimat berikut ini: Istamjadal marikhu wal ghaffaar (anak sapinya menjadi banyak) dan amjadan naaqatu 'alafan (unta itu banyak makan).

Contoh lainnya, "Rabbul 'Arsyil Majiid". Kata al-Majiid di sini merupakan sifat 'Arsy yang menunjukkan luas, besar, dan mulianya 'Arsy tersebut. 

Renungkanlah, bagaimana nama ini juga disebutkan ketika kita memohon agar Allah bershalawat kepada Rasul-Nya, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepada kita. Sebab, ketika itu kita berada dalam posisi meminta tambahan dan mengharapkan pemberian yang luas, banyak, dan terus-menerus. 

Maka dari itu, permohonan ini diiringi dengan nama yang maknanya mewakili seluruh harapan tersebut, sebagaimana Anda berkata: "Ampunilah dan rahmatilah aku karena Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Tidak pantas jika Anda berkata: "Karena Engkau Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

Lafazh-lafazh yang serupa dengan al-Majiid ini kembali kepada Allah yang kita minta kepada-Nya dengan perantaraan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Cara bertawassul seperti ini lebih dekat dengan pengabulan dan lebih disukai-Nya. Misalnya sebagaimana yang diriwayatkan dalam al-Musnad (Imam Ahmad) dan Sunan at-Tirmidzi:

( أَلِظُوْا بِيَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ. ))

"Teruslah berdo'a dengan: 'Ya, Dzal Jalaali wal Ikraam (Ya Allah, Yang memiliki keagungan dan kemuliaan)."

Juga yang disebutkan dalam salah satu riwayat:

 اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَاذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ.
"Ya, Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu (dengan bertawassul) bahwasanya segala puji hanya untuk-Mu, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi) selain Engkau, Yang Maha Pemberi, Pencipta langit dan bumi, wahai, Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan."

Ini merupakan salah satu bentuk permintaan yang disertai dengan tawassul kepada-Nya dengan memuji-Nya. Kalimat "Bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia, Yang Maha Pemberi" adalah bentuk tawassul kepada Allah dengan menyebutkan nama dan sifat-Nya. 

Cara seperti ini tentu lebih layak untuk dikabulkan dan lebih besar pengaruhnya terhadap yang diminta. Masalah tawassul sendiri merupakan salah satu pembahasan yang sangat penting dalam ranah tauhid. Di sini kami hanya menyinggung sedikit saja. Adapun pembahasan mendalam tentangnya telah dijelaskan oleh ulama yang diberi bashirah (pemahaman) oleh Allah.

Kembali kepada pembahasan semula, yaitu Allah memiliki nama yang mengandung beberapa sifat, maka lafazh al-'Adziim juga menunjukkan banyak sifat kesempurnaan.

Demikian pula ash-Shamad. Ibnu 'Abbas berkata: "ash- Shamad adalah Pemimpin yang sempurna kepemimpinannya." Ibnu Wail berkata: "Artinya pemegang puncak kepemimipinan." 'Ikrimah berkata: "Yang tidak ada sesuatupun di atas-Nya." 

Demikian pula az-Zajjaj yang berkata: "Yang menjadi penghulu seluruh kepemimpinan, dan segala sesuatu sungguh bergantung kepadanya." Ibnul Anbari berkata: "Semua ahli bahasa sepakat bahwa ash-Shamad maknanya pemimpin yang tidak ada di atas- Nya sesuatupun, semua manusia bergantung kepada-Nya dalam segala keperluan dan urusan mereka. 

Penelusuran terhadap kata-kata yang diambil dari simpul kata ini mengindikasikan makna tersebut. Intinya, maknanya seputar jam'u (terhimpun) dan qashd (akhir dari sesuatu), yaitu puncak dari segala yang ada akan berhimpun kepada-Nya, dan terkumpul pada-Nya seluruh sifat kepemimpinan. Ini asal maknanya dalam bahasa Arab. Seperti yang dikatakan dalam sebuah syair:

Tidakkah pembawa berita segera mengumumkan kematian dua orang terbaik dari bani Asad: 'Amar bin Yarbu' dan seorang pemimpin yang menjadi tempat bergantung.

Bangsa Arab memberi nama kepada para pemimpin mereka ash-Shamad karena semua orang yang membutuhkan sesuatu akan mendatanginya dan terkumpulnya sifat-sifat kepemimpinan padanya.

Keenam, sifat yang merupakan gabungan dari dua nama atau sifat. Sifat seperti ini akan menunjukkan makna lebih bila dibandingkan dengan satuan-satuan penyusunnya. Contohnya, al-Ghaniyyu al-Hamiidu (Yang Mahakaya lagi Maha Terpuji), al-'Afuwwu al-Qadiiru (Yang Maha Pemaaf lagi Mahakuasa), al-Hamiid al-Majiid (Yang Maha Terpuji lagi Mahamulia), dan seperti inilah umumnya makna yang dikandung oleh sifat-sifat dan nama-nama yang disebutkan secara berpasangan di dalam al-Qur-an.

Ambillah misalnya al-Ghaniyyu al-Hamiidu. Kata al- Ghina (kaya) merupakan sifat kesempurnaan, demikian juga al-Hamd (terpuji), dan berkumpulnya sifat kaya dan terpuji merupakan sifat kesempurnaan yang lain. Bagi-Nya pujian pada kemahakayaan-Nya dan pujian pada sifat terpuji-Nya dan pujian pada penggabungan keduanya. Demikian juga al- 'Afwww al-Qadiir, al-Hamiid al-Majiid, dan al-'Aziiz al-Hakiim. Renungkanlah hal ini karena ia merupakan semulia-mulia ilmu pengetahuan.

Adapun sifat salbiyah (yaitu, sifat-sifat yang Allah nafikan dari Dzat-Nya karena tidak pantas bagi-Nya) yang mutlak, tidak termasuk dari sifat-Nya, kecuali jika sifat tersebut mengandung makna itsbat (menetapkan sifat yang baik bagi Allah). Misalnya, al-Ahad yang mengandung makna Maha Esa dalam sifat Rububiyyah dan Uluhiyyah-Nya. Demikian pula dengan as-Salaam, yang mengandung makna bersih dari setiap kekurangan yang bertentangan dengan kesempurnaan-Nya.

Demikian pula pengabaran tentang Dzat-Nya dengan sifat salbiyah. Hal itu bisa dibenarkan jika mengandung pengukuhan terhadap sifat kesempurnaan, (sebagai lawan dari sifat-sifat yang dinafikan tersebut). Contohnya, firman Allah:

.. لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ 

"... Dia Tidak mengantuk dan tidak tidur...." (QS. Al-Baqarah: 255)

Makna dari ayat ini mengandung kesempurnaan yang menunjukkan bahwa Allah Mahahidup dan berdiri sendiri. Demikian juga firman Allah:

... وَمَا مَسَّنَا مِن لُغُوبٍ )

"... Dan Kami sedikit pun tidak ditimpa keletihan" (QS. Qaaf: 38)

Ayat ini mengandung kekuasaan-Nya yang sempurna.

... وَمَا يَعْزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِثْقَالِ ذَرَّةٍ .... 

"... Tidak luput dari pengetahuan Rabbmu biarpun sebesar dzarrah (atom)..." (QS. Yunus: 61)

Ayat ini menjelaskan tentang kesempurnaan ilmu Allah.

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ 

"Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan." (QS. Al- Ikhlash: 3)

Ayat ini menjelaskan betapa bergantungnya semua makhluk kepada-Nya dan tentang kekayaan-Nya yang sempurna.

وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ 

"Tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (QS. Al- Ikhlash

 4)

Ia menunjukkan bahwa keesaan Allah adalah maha sempurna dan sesungguhnya tidak ada satupun makhluk yang setara dengan-Nya.

لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَرُ ...
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata ...." (QS. Al- An'aam: 103)

Ayat ini mengandung kebesaran-Nya dan sesungguhnya Dia Mahabesar untuk bisa dicapai dengan apa pun juga (tidak bisa diliputi). Ini berlaku untuk semua sifat salbiyah yang Dia tetapkan bagi diri-Nya.

Berdasarkan Buku Syarah Asmaul Husna Karangan Dr.Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qathani