Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian Luzum Dalam Akad

Pengertian Luzum Dalam Akad

Luzum

Luzum, maknanya ialah: "Salah seorang dari dua orang yang berakad tidak dapat melepaskan diri dari ikatan akad selama mereka berdua belum sepakat untuk iqalah, (taqayul), karena akad yang telah dilakukan merupakan ikatan terhadap kedua belah pihak. Maka kehendak salah satu pihak tidak merusakkan kehendak pihak yang lain.

Luzum adalah dasar asasi dalam masalah akad. Jika tidak adanya luzum, hilanglah maziyah akad yang terpenting. Mengingat tanpa perlu menunggu suatu yang lain. Jelasnya, akad terwujud dengan sempurnanya akad.

Inilah yang ditetapkan fuqaha. Hanya ada beberapa akad yang sifatnya tidak menghendaki luzum, yang dinamakan uqud ghairu lazimah. Namun demikian ijtihad para fuqaha berbeda-beda tentang waktu atau yang lazim itu memiliki sifat luzum. Kapankah akad yang lazim itu mulai berlaku? Apakah semenjak dari lafad disebut- kan, atau pada waktu yang lain?

Dalam hal ini para ulama (fuqaha) berbeda pendapat. Tentang luzum tidak ada perbedaan pendapat. Yang diperselisihkan tentang kapan akad memiliki sifat luzum.

Menurut mazhab Syafi'y dan mazhab Hanbali, dalam akad jual beli, akad-akad yang dapat dibatalkan, seperti sewa-menyewa dan shulh terhadap harta, tidak diperoleh sifat luzum melainkan sesudah majlis akad bubar, dengan berpisahnya orang-orang yang berakad itu. Sebelum mereka berpisah, maka masing-masing aqid yang berakad itu masih boleh mencabut akadnya. Dasar paham ini ialah hadits:

الْمُتَبَايِعَانِ بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا.

"Penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah".

Kita sudah biasa memperkatakan khiyarul majlis. Menurut pendapat golongan Syafi'iyah dan Hanbaliyah diberikannya kesempatan khiyar kepada kedua belah pihak, adalah agar jangan sampai ada yang tak mempunyai kesempatan untuk berpikir. 

Kalau terus berlangsung, ia tidak berkesempatan untuk menerima, atau menolaknya. Inilah yang dinamakan dalam kitab-kitab fiqh dengan khiyar majlis. 

Menurut fuqaha Hanafiyah dan Malikiyah, akad telah dipandang sah dan tidak dapat diganggu gugat lagi, dipandang telah berlaku, sesudah terjadinya ijab dan qabul, ataupun yang dapat dipandang mengganti ijab dan qabul. Sesudah ijab qabul selesai, sudah tidak bisa diganggu gugat lagi, tidak bisa menolak, tidak ada hak lagi bagi salah satu pihak menarik kembali akadnya tanpa ada persetujuan yang sepihak lagi.

Golongan ini, dengan sendirinya mentakwilkan hadits yang dipegangi golongan Syafi'iyah dan Hanbaliyah yang sudah kita ketahui, yaitu: "Penjual dan pembeli boleh berkhiyar selama mereka belum berpisah".

Untuk mengetahui pentakwilan-pentakwilan bacalah: Al Hilkiyah wa nadhariatul Aqdi karangan Muhammad Abu Zahraj. Ini penting diperhatikan untuk mengetahui bagaimana cara menanggapi hadits itu yang sebenar-benarnya. Apakah perlu kita pegang dhahirnya ataukah perlu kita pegang pengertian yang tersirat padanya.

Mazhab Hanafi dan mazhab Maliki sesuai dengan hukum positif yang berlaku di dunia modern sekarang. Maka oleh karena itu mazhab Hanafi dan Maliki yang dapat kita pergunakan untuk menam- pung persoalan ini, sedang mazhab Syafi'y dan Hanbali dalam hal ini tidak dapat dipergunakan untuk menampung perkembangan masa sekarang. 

Takwil yang paling tepat menurut anggapan saya menge- nai khiyar majlis, ialah: yang dimaksudkan dengan maa lam yatafarraqa, ialah: khiyar yang dilakukan antara ijab dan qabul.

Dikehendaki dengan tafarruq, ialah: selesainya aqad itu sendiri. Jelasnya, si mujib yang menyebut ijab berhak menarik kembali ijabnya itu sebelum dikabulkan oleh pihak yang kedua, sebagaimana pihak yang kedua boleh mengucapkan qabul, boleh tidak.

Maka tafaruq ini adakalanya dengan tegas menolak ijab, atau pergi tanpa qabul dan adakalanya dengan qabul, lalu sahlah aqad dan haruslah pihak-pihak yang bersangkutan memenuhi: muqtadlal

Referensi Dalam Buku Pengantar Fiqh Muamalah Karangan T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy