Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengaruh Akad Terhadap Orang


Pengaruh Perikatan terhadap Orang

Telah jelas bahwa akad tidak boleh menyangkut hak orang lain. Akad kita lakukan terhadap hak-hak kita sendiri. Jika terkena hak orang, haruslah ditawaqqufkan.

Dalam pada itu ada orang-orang yang bukan aqid, berlaku atasnya akad lain, yang di lakukan sendiri, umpamanya: seorang menggadai hartanya pada seseorang sebagai jaminan hutangnya, kemudian dia meninggal, maka rahn (gadai) berlaku juga terhadap waris-waris si mati walaupun mereka tidak mengadakan akad rahn.

Mereka tidak boleh mengambil marhun dari si murtahin dan tidak boleh membaginya di antara para waris, sebelum melunasi hutang walaupun para waris tidak dapat dipaksa melunasi hutang si mati itu. Maka ada orang yang terkena hukum aqid, walaupun ia tidak melakukan akad, ialah:

Pertama, orang yang diwakili atau manubun 'anhu dalan istilah fiqh. Dalam akad yang dilakukan atas nama niyabah baik merupakan washayah, merupakan wilayah atau merupakan wakalah.

Kedua, yang dikatakan mutafadldlal 'alaihi (orang yang diberi jasa- jasa baik).

Apabila dua orang bepergian, lalu salah seorang meninggal dan diuruslah segala keperluan tajhiz oleh rekannya yang masih hidup itu. Rekannya ini menjual harta kepunyaan dari yang telah meninggal, untuk keperluan tajhiz.

Tasharrufnya ini, harus dibenarkan oleh para waris. Dia tidak harus lebih dahulu mengirim surat kepada para waris untuk minta izin, tetapi ia boleh terus bertindak. Maka perbuatan ini harus dibenarkan oleh para waris atas dasar istihsan, dan dia dalam masalah ini tidak dipandang fudluli' dan tidak harus mengganti apa yang telah dipergunakan untuk kepentingan tajhiz dan kepentingan harta-harta si mati itu. 

Para waris tidak dapat bertindak apa-apa, karena yang dilakukan oleh si teman ini, adalah untuk kepentingan tajhiz dan sebagainya yang memang perlu diperhatikan.

Ketiga, waris. Segala akad muwarrists yang diakadkan secara tanjiz, bukan yang dikaitkan sesudah meninggalnya. Yang langsung berlaku pada waktu dia masih hdiup dan dilakukan dalam waktu dia masih sehat untuk seseorang, ditampung semuanya ini oleh tarikahnya. Semuanya itu diambil pada harta tarikah. Si warits menerima yang lebih daripada keperluan untuk membayar hak-hak yang telah dibuat oleh si muwarrits.

Keempat, mushalahu, yakni yang menerima wasiat untuk menerima benda tertentu.

Umpamanya seorang mewasiatkan: kalau dia meninggal maka rumah (benda) anu untuk si A. Jika benda itu yang masih disewa orang lain, maka si musha lahu harus menunggu berakhirnya masa sewaan itu. Tidak boleh orang yang menyewa dipaksa keluar, walaupun barang itu telah menjadi miliknya atas dasar wasiat.

Bandingkan masalah pusaka antara hukum Barat dengan hukum Islam, terhadap kewajiban-kewajiban waris. Menurut hukum Barat, waris, boleh menerima boleh menolak penerimaan harta pusaka, tetapi dalam Islam menerima harta pusaka itu jabri, suatu hal yang tidak dapat dielakkan. 

Dalam hukum Barat kalau si waris menerima harta pusaka, maka hutang-hutang si muwarrits yang meninggal itu dipikul oleh si waris. Tetapi dalam hukum Islam waris tidak menanggung hutang karena si waris menerima keuntungan, bukan harus menerima kerugian sebagai yang telah kita bicarakan dalam bab yang lalu.

Referensi Berdasarkan Buku Pengantar Fiqh Muamalah Karangan Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy