Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SYARAH HADITS MANDI WAJIB KARENA BERTEMU DUA KHITAN

SYARAH HADITS MANDI WAJIB KARENA BERTEMU DUA KHITAN
MANDI KARENA BERTEMU DUA KHITAN (JIMA' YANG TIDAK MENGELUARKAN MANI)

89) Abu Hurairah ra. berkata:

قال النبي : إذا جلس أَحَدُكُمْ بين شَعَبهَا الْأَرْبعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الغسلُ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يُنزِلُ 

Nabi saw bersabda: "Apabila seseorang kamu duduk antara dua kaki dan dua tangan seorang perempuan (dua betis dan dua pahanya), kemudian dia menyetubuhinya, maka sungguh telah wajib atasnya mandi, walaupun ia tidak mengeluarkan mani, tidak inzal." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaga 1: 135)

90) 'Aisyah ra. berkata:

قَالَ النبي:إذا جَاوَزَ الخْتَانُ االختَانَ فَقَدْ وَجَبَ المغُسْلُ

Nabi saw. bersabda: "Apabila khitan telah melampaui khitan, wajiblah mandi." (HR. Ahmad, Muslim dan At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 136)

91) 'Aisyah ra. menerangkan:

إِن رَجُلاً سَأَلَ رَسُولُ الله ﷺ عَنِ الرُّجُلِ يُجَامِعَ اهْلَهُ ثُمَّ يَكْسِلُ وَعَائِشَةُ جالِسَةٌ، فَقَالَ رسول اللهِ إِنِّي لَأَفْعَلُ ذَلِكَ أنا وَهَذِهِ ثُمَّ نغتسِلُ 

"Seorang laki-laki bertanya kepada Rasul tentang seorang laki-laki menyetubuhi istrinya kemudian dia merasa lesu pada ketika itu. 'Aisyah duduk dekat Nabi, maka Rasul menjawab pertanyaan itu: "Saya pernah juga dalam keadaan yang demikian beserta 'Aisyah ini kemudian kami mandi." (HR. Muslim; Al-Muntaqa 1: 137)

92) Ubayyi ibn Ka'ab ra. menerangkan:

ان الفتيا التى كانوا يَقُولُونَ : الْمَاء من الماء، رُخصة كَانَ رَسُولُ الله رخص بها في أول الا سلام ثُمَّ أَمَرَنَا بِالاغتسال بَعْدَها

"Fatwa-fatwa yang maksudnya menetapkan mandi itu karena air saja, adalah suatu rukhshah (suatu keringanan) dari Rasul di permulaan Islam. Kemudian Rasulullah memerintahkan kami mandi, sesudah memberikan rukhshah itu." (HR. Ahmad dan Abu Dawud; Al-Muntaqa 1: 136)

SYARAH HADITS

Hadits (89) perlu ditegaskan bahwa Al-Bukhary dan Muslim setuju me- riwayatkan hadits ini hingga perkataan: "maka sungguh telah wajib mandi atasnya. Per- kataan "walaupun tidak inzal," terdapat dalam riwayat Muslim sendiri dan dalam riwayat Ahmad. Hadits ini menyatakan, bahwa apabila bertemu dua khitan, wajiblah mandi, walaupun tidak mengeluarkan mani.

Hadits (90) lafazhnya ini menurut riwayat At-Turmudzy. At-Turmudzy menyata- kan hadits ini shahih. Hadits di-shahih-kan juga oleh Ibnu Qaththan dan Ibnu Hibban.

Hadits (90, 91, dan 92) menyatakan bahwa hukum yang mewajibkan mandi dengan keluar mani, bukan semata-mata bertemu dua khitan, telah di-mansukh- kan, diganti dengan hukum wajib mandi biar pun mani tidak keluar asal dua khitan telah bertemu, walaupun dengan memakai pelapis (kondom) umpamanya.

An-Nawawy mengatakan: "Dikatakan dua khitan, adalah apabila hasyafah laki-laki (gland penis) telah terbenam ke dalam lubang kemaluan perempuan." Sebagian sahabat, seperti Ubay ibn Ka'ab sependapat, wajib mandi apabila bertemu dua hasyafah, walaupun tidak keluar mani. Sebagian sahabat yang lain, seperti yang diriwayatkan Abu Musa Al-Asy'ary, mengatakan: "Paham segolongan sahabat Muhajirin dan Anshar berselisih tentang mandi dengan tidak inzal." Menurut segolongan Muhajirin, wajib mandi apabila bertemu dua khitan walaupun tidak keluar mani.

At-Turmudzy mengatakan: "Kebanyakan ahli fiqh berpendapat, bahwa apabila seseorang bersetubuh dengan istrinya, diwajibkan atas keduanya mandi walaupun kedua-duanya tidak mengeluarkan mani." Malik dalam Al-Muwaththa' me- ngatakan: "Umar, Utsman dan Aisyah berpendapat, wajib mandi walaupun tidak keluar mani."

Di antara ulama ada yang mengatakan, bahwa telah terjadi ijma' para ulama, sesudah ada perselisihan, bahwa mandi karena bertemu dua khitan, adalah wajib. Di antara ulama yang mengatakan demikian ialah Abu Bakar ibn Al-Arabi. Dawud mengatakan: "Mandi, hanyalah wajib jika mani keluar, kalau mani tidak keluar, tidaklah diwajibkan mandi."

Al-Bukhary mengatakan: "Mandi wajib karena bertemu dua khitan, jika tidak keluar mani, hanya diutamakan, bukan dimestikan." Al-Bukhary menerangkan pemah ditanyakan kepada Utsman tentang orang yang menyetubuhi istrinya dengan tidak inzal, maka Utsman menjawab: "Dia berwudhu sebagai orang ber- wudhu untuk shalat dan dia basuh zakarnya." Utsman mengatakan: "Demikian saya dengar dari Nabi saw." Demikian juga pendapat Ali, Thalhah dan Az-Zubair.

Ibnu Qudamah mengatakan: "Wajib mandi atas yang menyetubuhi dan yang disetubuhi, apabila mereka kedua-duanya sudah aqil baligh, baik yang disetubuhi qubul, ataupun dubur manusia, atau binatang, hidup atau mati, dengan kamauan atau dengan dipaksa, dalam keadaan jaga, atau tidur."

Abu Hanifah mengatakan: "Tidak wajib mandi karena menyetubuhi mayat atau binatang dan kalau seseorang memasukkan setengah pangkal hasyafah-nya saja, atau masukkan ke dalam lubang pusat, maka jika tidak inzal, tidaklah wajib mandi."

An-Nawawy mengatakan: "Wajib mandi dan segala hukum yang berhu- bungan dengan jima', adalah jika hasyafah-nya masuk ke dalam lubang kemaluan. Kalau setengah hasyafahnya masuk tidaklah wajib mandi. 

Hukum orang tidak berkhitan sama dengan hukum orang yang berkhitan. Dan sekiranya dia balut kemaluannya dengan kondom lalu dia benamkan hasyafah-nya ke dalam lubang faraj, tetapi tidak inzal maka menurut pendapat jumhur, wajiblah mandi, juga menurut Ar-Ruyany. Dalam pada itu ada yang mengatakan bahwa jika kondom itu tebal, menghalangi kelezatan, tidaklah wajib mandi. Tetapi jika tipis, tidak menghalangi kelezatan, wajiblah mandi. Ini pendapat Al-Qadhi Husain. Al-Rafi'i mengatakan: "Dimaksudkan tebal ialah yang tidak sampai basahan faraj kepada zakar."

Pengarang Al-Hawi dan Al-Bayan mengatakan: "Menurut ketetapan sahabat kami (ulama Syafi'iyah), hukum yang berkaitan dengan persetubuhan di qubul perempuan, juga berkaitan dengan persetubuhan di dubur-nya, selain dari lima perkara:

  • Persetubuhan di dubur, tidak menghalalkan perempuan untuk suami yang menalaknya dengan talak tiga.
  • Tetap dihukum muhshan.
  • Tidak keluar dari hukum lemah syahwat. 
  • tidak merusakkan 'illat, dan
  • Perempuan tetap dihukum bikir, keizinannya untuk dikawinkan cukup dengan dia berdiam diri.
Ibnu Hazm mengatakan: "Memasukkan hasyafah ke dalam faraj atau ke tempat keluar bayi, apabila dengan sengaja, inzal atau tidak inzal, mewajibkan mandi, tetapi kalau salah seorang dari laki-laki atau perempuan itu gila, atau mabuk atau dalam keadaan tidur atau pingsan, atau dipaksa, maka tidaklah diwajibkan mandi, ter- kecuali jika inzal (keluar mani/orgasme). Demikian juga tidak diwajibkan mandi terhadap yang belum baligh."

Menetapkan bahwa mewajibkan mandi lantaran bertemu dua khitan walaupun tidak inzal, berdasar ijma ulama, tidak dapat diterima, karena terang, bahwa Dawud menyalahi pahan itu. Tantangan Dawud tidak dapat dipandang sebagai tan- tangan orang biasa saja. Tegasnya, tidak dapat kita mendakwakan, telah ada ijma'.

Masing-masing golongan dalam soal ini, mempunyai hujjah dan yang patut kita pegangi sesudah memperhatikan dalil-dalil yang dikemukakan masing-masing golongan, ialah paham Al-Bukhary yaitu mandi sesudah bersetubuh walaupun tidak mengeluarkan mani, lebih terpelihara (ahwathu)

Referensi Berdasarkan Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid-1 Tentang Hukum Mandi dan Penyebabnya, Karangan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy