Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Metodologi Ilmu Ekonomi Islam

Metodologi Ilmu Ekonomi Islam
Sampai sekarang ini langkah-langkah yang telah dibicarakan dalam per kembangan ilmu pengetahuan ekonomi Islam sesungguhnya berkaitan dengan soal-soal metodologik. (Di beberapa tempat, pemahamannya mungkin memerlukan pengetahuan pendahuluan sekedarnya tentang ilmu ekonomi elementer).

Walaupun dalam kenyataannya, soal-soal metodologik bersifat kon troversial, pembahasan ini tidaklah sekedar merupakan latihan akademik (academic exercise) yang didorong oleh keingintahuan intelektual belaka, pembahasan ini merupakan pencerminan dari mereka yang berketetapan hati untuk memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan teori Islam yang sarat nilai, dan dengan itu mempengaruhi arah kebijaksanaan suatu ekonomi Islam. 

Karena itu penelitian ini dapat menimbulkan konsekuensi praktik yang besar. Sekalipun dalam kenyataannya terdapat banyak persoalan dan hal metodologik dalam ilmu ekonomi Islam, di sini penulis ingin membatasi pembicaraan, hanya pada tiga persoalan, yaitu: 

(a) Apakah ilmu ekonomi Islam itu adalah suatu ilmu pengetahuan yang normatif, positif, atau bersifat kedua-duanya? 

(b) Apakah teori ekonomi Islam diperlukan, mengingat tidak adanya suatu ekonomi Islam yang aktual?

(c) Apakah ilmu ekonomi Islam itu suatu "sistem" atau "ilmu pengetahuan"? Sekarang marilah kita membicarakan persoalan pertama.

Apakah Ilmu Ekonomi Islam itu suatu ilmu pengetahuan yang normatif, positif, atau bersifat kedua-duanya?

Memang terdapat kontroversi metodologik yang jelas mengenai apakah ilmu ekonomi Islam itu merupakan suatu ilmu pengetahuan yang positif atau normatif.

Menurut pengertian umum, ilmu ekonomi positif mempelajari problema-problema ekonomik seperti apa adanya. Ilmu ekonomi normatif mempersoalkan bagaimana seharusnya sesuatu itu. Sering dikemukakan bahwa penelitian ilmiah dalam ilmu ekonomi Barat lebih banyak membatasi diri pada persoalan-persoalan positif daripada membahas persoalan-persoalan normatif, yang tergantung pada penilaian tentang apa yang baik dan apa yang buruk, setidak-tidaknya pada tingkatan perumusan teoretik. 

Dalam pada itu beberapa ahli ekonomi Islam juga telah berusaha untuk mempertahankan perbedaan antara ilmu pengetahuan positif dan normatif, sehingga dengan begitu mereka menuangkan analisa ilmu ekonomi Islam dalam kerangka intelektual dunia Barat. Para positivis lain secara sederhana memandang bahwa ilmu ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan normatif. 

Bagi penulis itu bukanlah ilmu pengetahuan positif atau normatif semata-mata. Dalam ilmu ekonomi Islam, aspek-aspek yang normatif dan positif itu saling berkaitan erat, sehingga setiap usaha untuk memisahkannya akan berakibat menyesatkan dan tidak produktif. Ini tidak berarti bahwa ilmu ekonomi Islam tidak berisi komponen-komponen normatif dan positif yang tidak dapat dibedakan sama sekali. 

Sesungguhnya, Al Qur'an dan Sunnah yang terutama digunakan sebagai sumber pernyataan normatif, banyak berisi pernyataan positif. Tetapi berdasarkan ini saja kita tidak dapat mengatakan bahwa ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan positif atau normatif. Alasan kami untuk membahasnya sebagai suatu ilmu pengetahuan sosial yang terintegrasi adalah sebagai berikut:

(i) Telah ditunjukkan bahwa langkah-langkah (2) sampai (7) sebagaimana yang diuraikan pada tabel di atas, terkait erat, sehingga perbedaan antara ilmu ekonomi positif dan normatif merupakan hal yang tidak penting, baik pada tingkatan teori maupun kebijaksanaan, karena nilai-nilai dapat di cerminkan baik dalam teori maupun dalam kebijakan. Karena teori mem berikan kerangka bagi pilihan kebijakan, nilai-nilai tidak hanya dapat dicerminkan di dalam kebijakan dengan mengabaikan teori itu. Dipandang dari segi ini, pemisahan yang positif dari yang normatif tidak relevan dalam ilmu ekonomi Islam, karena kedua-duanya terjalin erat dengan kehidupan Islam, filsafat, lembaga kebudayaan serta agama Islam. 

Menurut ke nyataannya, hal ini benar, dalam kebanyakan kehidupan ekonomi, karena "suatu pertimbangan nilai tertentu mendasari semua alasan pemikiran eko nomik Kebanyakan argumentasi ekonomi atau ketidaksepahaman mengenai ilmu ekonomi positif adalah berdasarkan perbedaan nilai bukan mengenai teknik analitik. Ini dapat dipahami, karena dalam ilmu ekonomi sekuler, fungsi kesejahteraan yang mempengaruhi keputusan investasi, berasal dari sumber dalam masyarakat, dalam arti bahwa pada umumnya mewakili mereka yang mempunyai kekuasaan politik. 

Dalam Islam, fungsi semacam itu berasal dari sumber yang ada di luar masyarakat itu sendiri, yaitu kehendak Allah. Variabel konstan yang berasal dari luar ini menyediakan kerangka referensi yang sahih (valid) bagi model struktur ilmu ekonomi Islam. Keluwesan variabel yang berasal dari dalam masyarakat tentunya tunduk pada prinsip Syariat (Hukum Islam).

(ii) Ini berarti bahwa bila nilai-nilai masuk baik ke dalam teori maupun kebijaksanaan, perbedaan antara yang normatif dan positif menjadi kabur atau hilang sama sekali jika didorong sampai ke batas-batasnya. Bila diteliti dengan seksama, dalil-dalil yang normatif kelihatannya membuka pertanyaan positif dan sebaliknya. Sekali lagi, kebanyakan pernyataan atau teori positif didasarkan pada apa yang disebut bukti berdasarkan kenyataan atau peng amatan-pengamatan yang sebenarnya, adalah tidak bebas-nilai. 

Pertanyaan seperti "Kebijaksanaan Pemerintah yang bagaimanakah yang akan mengurangi pengangguran atau mencegah inflasi?" adalah suatu pertanyaan positif, karena dapat diuji melalui suatu pengamatan empiris. Begitu pula, pertanyaan "Apakah kiranya kita harus lebih prihatin tentang pengangguran daripada inflasi?" tidak mungkin diselesaikan hanya melalui pengamatan fakta-fakta.

Dengan demikian terlihatlah bahwa pertanyaan-pertanyaan positif dan normatif dapat merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Yang hendak dikatakan ialah bahwa masalah dan persoalan ekonomik harus ditinjau dari ke seluruhannya. Hal ini terutama berlaku dalam soal ilmu ekonomi Islam, yang kegunaan model atau hipotesa dan kesahihan teoremanya harus ditentukan dengan menguji kesesuaian antara asumsi model itu dengan asas Syariat. 

Dengan demikian, dalam ilmu ekonomi Islam volume investasi swasta, baik secara negatif maupun positif tidaklah berkaitan dengan suku bunga yang sebenarnya, sebagaimana dikemukakan oleh model Keynes. Ini karena Syariat melarang bunga berdasarkan alasan-alasan etis dan berbagai alasan ekonomis. 

Kemudian, dari hipotesa ketidakacuhan preferensi (Indifference preference) Hicks, kita dapat menjabarkan dalil yang bersyarat, yaitu, "jika seseorang membeli lebih banyak dari suatu barang ketika pendapatan nyatanya naik, maka dia juga akan membeli lebih banyak dari barang itu apabila, ceteris paribus (keadaan-keadaan lainnya tetap sama), harganya turun". Bahkan dalam dalil yang kelihatannya bebas nilai seperti itu suatu pernyataan "imperatif" ("ought" statement) dapat dimasukkan dalam teori itu. Pernyataan "berapa banyak" atau "barang apa" dapat dikaitkan dengan tingkatan sikap "moderat" yang diterima dalam Islam. 

Dengan demikian dapat masuk di akal bahwa dalam suatu masyarakat Islam yang diatur dengan baik, seorang konsumen mungkin akan menolak membeli "lebih banyak barang" bila harga turun atau pendapatan naik, jika ia berpendapat bahwa ia telah melampaui batas-batas sikap "moderat" sebagaimana yang ditentukan oleh Syariat. 

Pada saat penolakan ini terlihatlah bahwa sesungguhnya preferensi moralnya telah terungkap". Karena ini merupakan penilaian objektif tentang sikap subjektifnya, maka sebagai akibatnya, hal ini dapat mempengaruhi bentuk kurva permintaannya.

Kami dapat memberikan beberapa contoh lain untuk menunjukkan bagaimana nilai Islam dapat masuk ke dalam inti perumusan teoretik dari konsep yang kelihatannya bebas-nilai. Dalam menjelaskan hakikat dari suatu "fungsi konsumsi", langsung pada tingkat perumusan teoretik, kami harus mengidentifikasikan variabel yang berakar dalam Al Qur'an dan Sunnah. Umumnya dikatakan bahwa konsumsi adalah fungsi dari pendapatan. Selain dari pendapatan pribadi masih ada lagi variabel lain seperti pendapatan dalam keluarga (intrafamily), tingkat konsumsi dan pendapatan dalam-masyarakat (intracommunity) dan sebagainya yang harus dimasukkan atau diperhitungkan, untuk dapat memahami hakikat sebenarnya dari fungsi konsumsi dalam ekonomi Islam. 

Kemudian, jika harga faktor dan fungsi produksi dalam kerangka Islam hendak dijelaskan, harus dipahami benar bahwa suatu perusahaan yang mungkin diarahkan berdasarkan sekian banyak tujuan, tidak selalu diperlukan untuk memenuhi kondisi maksimal tingkat pertama atau kedua sebagaimana diajarkan dalam ilmu ekonomi sekular Barat, karena kondisi tingkat pertama dan kedua itu baru akan dipenuhi apabila perusahaan itu mempunyai tujuan memaksimalkan keuntungan. 

Tetapi dalam suatu kerangka Islam dapat saja terjadi bahwa sebuah perusahaan hanya memerlukan pemenuhan kondisi tingkat pertama saja (yaitu dengan mempertimbangkan hubungan antara kuantitas "Q" dari suatu komoditi yang dipasarkan oleh beberapa perusahaan dan tambahan keuntungan "R", bahwa kondisi derivatif dR/dQ= 0 tidak hanya dapat dipenuhi bila keuntungan berada pada tingkat maksimum tetapi juga bila berada pada tingkat minimum). Ini karena suatu perusahaan, berdasarkan pertimbangan sosial yang luas dibenarkan oleh Islam, dengan tidak mengutamakan keuntungan uang, mungkin saja men targetkan tingkat keuntungan yang minimal. Jadi tidaklah selalu perlu memenuhi kondisi tingkat kedua (yang mengharuskan lereng (slope) dR/dQ negatif)." 

Kenyataannya ialah bahwa pilihan variabel dan penggolongannya dalam variabel endogen eksogen begitu pula cara bekerja perusahaan secara bersaing, kooperatif ataupun terpimpin-harus dilakukan dengan memperhatikan kerangka abadi yang ditentukan oleh sistem nilai Islam.

(iii) Setiap usaha untuk membedakan antara yang positif dan normatif akan berakibat buruk, dalam arti bahwa hal itu akhirnya akan menyebabkan lahir dan tumbuhnya "sekularisme" dalam ekonomi Islam. Kecenderungan untuk menguji segala sesuatu dengan pengetahuan manusia yang terbatas dan prasangka, akan merusak asas-asas dasar ekonomi Islam. 

Dengan sekularisasi dimaksudkan "suatu proses di mana pemikiran, praktek dan lembaga agama kehilangan arti sosial". Kita tidak boleh melupakan sejarah perkembangan "sekularisme" dan perjuangan antara Gereja dan Negara di dunia Barat. Gereja Kristen kalah dalam perjuangan itu dari golongan sekularis, bahkan juga mengenai persoalan pembebanan bunga (riba). 

Sebagaimana telah diketahui umum, baik Aristoteles maupun Plato menyalahkan pembebanan bunga. Hukum Romawi pada taraf awal juga menentangnya. Di abad Pertengahan, Gereja Kristen melarang praktek riba dan pembebanan bunga yang bertentangan dengan prinsip Hukum Kasus (Common Law). 

Walaupun fakta sejarah yang begitu nyata itu tidak dapat mencegah golongan sekularis untuk memenangkan perjuangan itu; sistem pembayaran bunga hidup kembali, dengan segala konsekuensi sosial, ekonomik dan moral di dunia Kristen barat, belum lagi jika diperhatikan bagaimana akibatnya di dunia Muslim dan negara-negara Dunia Ketiga. 

Walaupun kenyataannya berbeda, hilangnya pengaruh agama di masyarakat barat pada dasarnya memperlihatkan persamaan. Ada berbagai sebab historik yang mengakibatkan kemunduran ini. Tetapi, di antaranya, kecenderungan para positivis untuk menguji dengan tes empirik dan hasil langsung, dominasi perhitungan ekonomik atas aspirasi spiritual, dan kriteria efisiensi yang dapat diukur, dapat dikatakan merupakan sebab-sebab hilangnya pengaruh lembaga agama, organisasi dan sistem kepercayaan yang telah dilembagakan dalam masyarakat barat." 

Kesemuanya ini merupakan pengalaman pelajaran bagi para ekonom Islam yang bertekad untuk mulai dengan serius. Kini nyatalah kiranya bahwa setiap usaha untuk menggolongkan ekonomi Islam sebagai ilmu yang positif atau normatif justru akan merusak tujuan untuk apa ilmu itu sebenarnya diciptakan. 

Ini sama halnya bila kita mencoba memisahkan badan manusia yang untuk delapanpuluh persennya terdiri dari air, tak pelak lagi badan itu akan binasa. Jadi, masalah dalam ekonomi Islam, harus dipahami dan dinilai dalam rangka ilmu pengetahuan sosial yang terintegrasi, tanpa memisahkannya dalam komponen normatif dan positif.

(iv) Akhirnya. jelaslah bahwa kita harus mencoba melepaskan diri sejauh mungkin dari kungkungan para positivis. Tidaklah selalu perlu atau berguna bagi kita untuk menuangkan proses pemikiran kita dalam suatu kerangka yang sesuai dengan paradigma para positivis neo-klasik ortodoks. 

Sekali kita membiarkan pengertian ini berlangsung sampai ekstremitasnya yang logis, besar kemungkinannya hal ini akan merasuk sistem dasar keimanan Islam yang sudah melembaga, karena sejumlah masalah dalam ekonomi Islam tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan observasi atau peng amatan empiris.

Apakah Teori Ekonomi Islam Diperlukan, mengingat tidak adanya suatu Ekonomi Islam yang aktual?

Secara kategorik jawaban penulis adalah: Ya. Para positivis mengemukakan bahwa tidak perlu mengembangkan suatu teori ekonomi Islam, karena tidak adanya ekonomi Islam yang aktual untuk menguji ide terhadap masalah aktual. Dikatakannya pula bahwa teori harus menjelaskan fakta sebagaimana adanya. 

Dengan begitu, menurut mereka, tidak ada tempat untuk teori ekonomi Islam, karena ia tidak dapat dijelaskan dan diramalkan dari realitas sosio-ekonomik dari masyarakat Muslim kontemporer yang ada sekarang. Jadi bagi mereka, ujian bagi suatu teori terletak pada kemampuannya untuk menjelaskan dan menerangkan realitas, walaupun sebenarnya dengan. menyederhanakannya setiap teori menyimpang dari realitas.

Argumentasi para positivis yang disebut di atas jelas menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap peranan berbagai teori yang timbul dari bermacam-macam ideologi mengenai pembangunan masyarakat.

Dokumentasi sejarah memperlihatkan dengan jelas bahwa teori untuk menjelaskan kenyataan dan perilakunya tidak selalu diperlukan. Penulis akan memberikan beberapa contoh mengenai sejarah ekonomi dan politik dunia untuk menunjang pernyataan di atas. 

Periode cepat dari inovasi yang terjadi setelah berkembangnya Islam adalah suatu contoh spektakuler tentang bagaimanakah inovasi dalam agama dan nilai ekonomi membebaskan suatu masyarakat dari keseimbangan semula dan menghadapkannya pada segala konsekuensi dari dinamika kehidupan ekonomik. Sesungguhnya, inovasi yang terpenting dalam tiap masyarakat adalah ide inovasi itu sendiri". 

Jadi, larangan Islam mengenai bunga diserta perintah mengeluarkan Zakat berpengaruh besar terhadap perkembangan teori Islam mengenai uang dan keuangan negara. Konsep etik tentang sikap "moderat" dihubungkan dengan kewajiban intra keluarga dan intra masyarakat, sangat penting untuk memahami teori Islam tentang fungsi konsumsi dan perilaku konsumen. 

Konsep "keadilan" (al Adl; justice) antara lain, berkaitan dengan teori penyebaran pendapatan yang pada gilirannya, merupakan pusat teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Ketakwaan kepada Allah dan arti ganda dari hasil (keuntungan) dapat secara langsung dikaitkan dengan analisa biaya laba (cost benefit analysis). 

Segala inovasi tersebut dalam teori sosial dan ekonomi, sejak awalnya tidak direncanakan untuk menjelaskan realitas yang ada pada waktu kesemuanya itu diperkenalkan. Sesungguhnya, yang penting ialah hal itu membuka jalan untuk inovasi teori ekonomi dan kehidupan ekonomi bagi generasi selanjutnya. Saya akan memberikan beberapa contoh spesifik untuk menunjukkan bahwa perkembangan teori dapat terjadi untuk menjelaskan realitas yang diharapkan. 

Di tahun 1776, ketika Adam Smith menulis The Wealth of Nations, kebebasan dalam perdagangan bukanlah merupakan gejala sehari hari. Tetapi ia dapat meramalkan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang diperlukan, mengingat perubahan-perubahan sosial dan ekonomi yang sedang berlangsung di Inggris. Yang dikehendaki oleh "The Wealth of Nations adalah kebebasan: perdagangan, tarif, sumbangan, larangan, monopoli, dan segala pembatasan lain yang dikenakan oleh pemerintah terhadap para pemilik pabrik dan pedagang. Buku dengan argumentasinya yang tepat itu menjadi klasik karena memuat lebih dari sekedar pembelaan kebebasan perdagangan. 

Tetapi juga menjadi pendiri ilmu ekonomi modern. "Selama berabad-abad sebelum tahun 1776, hal ini telah diterima sebagaimana adanya di Inggris seperti halnya di lain-lain tempat, bahwa tugas pemerintah adalah mengatur perdagangan yang telah dianggap menjadi kepentingan utama dari masyarakat. Ciri yang sangat jelas adalah merkantilisme sebagai sistem dari peraturan tersebut."

Kemudian di tahun 1867 jilid pertama buku Das Kapital karangan Karl Marx diterbitkan. Dengan ini dimulailah ilmu modern tentang sosialisme dan komunisme. Marxisme menjadi ajaran suci dari kaum Bolshevik Rusia yang melakukan Revolusi Oktober 1917, tepat 50 tahun sesudah terbitnya Das Kapital.

Di samping itu, doktrin kedaulatan rakyat dari Rousseau, dan dampaknya terhadap pemikiran revolusioner di Perancis dan pengaruh karya Locke terhadap perkembangan teori filsafat dan politik tak temilai besamya. Teori politik ini dibuat untuk menjelaskan realitas yang diharapkan. Masih banyak bukti sejarah ekonomi dan sosial yang dapat diberikan untuk menunjang hipotesis ini.

Kini sudah jelas bahwa keberadaan suatu ekonomi aktual (yaitu realitas) di mana ide dapat diuji terhadap problema aktual, sesungguhnya tidak terlalu diperlukan untuk penyusunan suatu teori sosial dan ekonomi yang pengembangannya dibutuhkan untuk menjelaskan baik realitas sekarang maupun realitas yang diharapkan. Suatu teori dapat saja bertentangan dengan realitas karena mengabaikan fakta-fakta yang ada. 

Dalam pada itu, adalah keliru untuk menganggap bahwa suatu sistem ilmu ekonomi Islam dan ilmu pengetahuan sama sekali tidak pernah dijalankan. Bahkan di masyarakat kontemporer sekalipun, banyak teori ekonomi seperti konsep perbankan Islami, zakat dan sebagainya sedang dilaksanakan. Sekurang-kurangnya ada tiga alasan untuk mengembangkan teori ekonomi Islam: 

(i) untuk belajar dari pengalaman terdahulu dengan mengidentifikasikan alasan tentang kewajaran atau ketidakwajaran penjelas an perilaku dan praktek ekonomi yang lampau, dengan teori ekonomi Islam 

(ii) untuk menjelaskan keadaan ekonomi yang aktual betapapun berkeping kepingnya (fragmented) keadaan itu 

(iii) untuk mengidentifikasikan "kesenjangan antara teori ekonomi Islam yang ideal dan praktek-praktek masyarakat Muslim kontemporer, sehingga usaha untuk mencapai suatu keadaan yang ideal dapat diadakan. 

Tugas-tugas teori ekonomi Islam ini mempunyai arti historis di masa kini, ini jauh lebih penting dari pendirian sempit tentang teori ekonomi sebagaimana yang dianut oleh para positivis. Harus diketahui secara jelas bahwa teori ekonomi Islam, merupakan suatu ilmu, mendapatkan prinsipnya dari sistem ekonomi Islam. Ini membawa kita pada pertanyaan terakhir, yaitu apakah ekonomi Islam merupakan suatu ilmu atau suatu sistem.

Apakah Ilmu Ekonomi Islam merupakan suatu "Sistem" atau suatu "Ilmu Pengetahuan"?

Agaknya ada suatu kesalahfahaman di kalangan kaum terpelajar Muslim mengenai soal ini. Ada yang menganggap ekonomi Islam sebagai suatu "sistem", dan ada pula yang menganggapnya sebagai suatu kekhususan dapat diperlakukan terhadapnya sebagai suatu "ilmu". Perkataan "sistem" diartikan sebagai suatu "keseluruhan yang kompleks: suatu susunan hal atau bagian yang saling berhubungan"; "ilmu" adalah "pengetahuan yang dirumuskan secara sistematis" 

Demikian pula, perkataan "ilmu" didefinisikan sebagai "suatu wadah pengetahuan yang terorganisasi mengenai dunia fisik, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa", tetapi suatu definisi yang lengkap harus mencakup "sikap dan metoda yang melaluinyalah wadah pengetahuan itu terbentuk Sejalan dengan definisi tentang "sistem" ini dengan mudah kita dapat mengatakan bahwa ekonomi Islam itu sesungguhnya adalah bagian dari suatu tata kehidupan lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu: "pengetahuan yang diwahyukan" (yakni Al-Qur'an), praktek-praktek yang berlaku pada waktu itu dalam masyarakat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan ucapan-ucapannya yang bernas (yakni Sunnah dan Hadits), deduksi analogik, penafsiran berikutnya dan konsensus yang tercapai kemudian dalam masyarakat, atau oleh para ulama (yaitu ijma'). "Sistem" ini memuat suatu mekanisme yang built-in untuk pemikiran jernih (yaitu Ijtihad) tentang persoalan dan masalah baru sehingga penyelesaian dapat dicapai. Ini dibolehkan selama tidak bertentangan dengan komponen dasar dari sistem itu, (yaitu Al-Qur'an dan Sunnah). 

Dengan begitu terlihatlah bahwa suatu "sistem" memuat prinsip yang mengatur seluruh tata kehidupan. Prinsip ini harus dilihat dalam suatu kerangka yang abadi. Dari prinsip ini dapat dikembangkan suatu kerangka konseptual yang dapat dikaitkan baik untuk menjelaskan perilaku ekonomik lampau maupun realitas sekarang (ekonomi aktual) ataupun realitas akan datang yang diharapkan dan dimajinasikan. 

Sebabnya ialah, karena ketidakmampuan untuk mengimajinasikan perubahan sosial-ekonomik merupakan hambatan bagi perubahan itu sendiri, karena ini akan mengakibatkan stagnasi dalam proses perkembangan dan evolusi dari ekonomi Islam sebagai suatu ilmu.

Proses yang evolusioner ini tentunya mempunyai dimensi-dimensi ruang dan waktu; namun, adalah mungkin bahwa suatu kerangka konseptual yang baru dan bersaingan akan dapat memberikan arti yang baru pula pada sejumlah masalah, malahan juga dapat menimbulkan masalah-masalah baru. Jelaslah bahwa suatu teori ekonomi Islam dapat diganti atau diubah, namun tetap tunduk pada ketentuan dalam kerangka abadi Syariat.

Kesimpulan

Secara keseluruhan dapatlah dikatakan bahwa para ekonom Islam yang bertekad untuk memulai dengan serius, kini telah dapat memperoleh pengertian luas tentang metoda penelitian deduktif atau induktif dalam merumuskan teori dan kebijaksanaan Islami. Karena, merupakan hal yang sahih untuk suatu teori Islami sarat nilai yang ideal dapat mempunyai dimensi waktu dan ruang. 

Hal ini diperlukan untuk menjelaskan tentang perilakar lembaga, dan organisasi ekonomik di masa lampau, sekarang dan membayangkannya untuk masa yang akan datang. Tetapi ini harus dipahami dalam kerangka abadi yang lebih luas dari prinsip-prinsip Al Qur'an dan Sunnah. Walaupun ekonomi Islam adalah bagian dari suatu "sistem", tetapi ia juga merupakan suatu ilmu. 

Perbedaan antara ekonomi positif dan normatif tidak diperlukan, juga tidak diinginkan; dalam hal-hal tertentu malah akan menyesatkan. Namun harus dicatat bahwa metoda penelitian dapat berupa deduktif, induktif, atau kombinasi dari keduanya. 

Metode deduktif sebagaimana yang dikembangkan oleh para ahli hukum Islam, dapat diterapkan pada ekonomi Islami dalam mendeduksikan prinsip sistem Islam itu dari sumber-sumber hukum Islam. Metode induktif dapat pula digunakan untuk mendapatkan penyelesaian dari problema ekonomik dengan menunjuk pada keputusan historik yang sahih. 

Namun harus diakui bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk membahas soal ini menjadi komprehensif dan lebih bermutu. 

Tulisan Ini Berdasarkan Buku Teori Dan Praktek Ekonomi Islam Oleh Muhammad Abdul Mannan