Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kebijakan Anggaran Belanja Negara

Kebijakan Anggaran Belanja Negara
Sebelum melakukan upaya untuk merumuskan suatu kebijakan Anggaran belanja untuk suatu negara Islam, baiklah kita memperhatikan sistem anggaran belanja di masa Islam dini. Di masa Nabi SAW anggaran sangat sederhana dan tidak serumit sistem anggaran modern. 

Hal ini sebagian karena telah berubahnya keadan sosio-ekonomik secara fundamental, dan sebagian lagi karena negara Islam yang didirikan dan dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW, dimulai pada tahun pertama Hijrah hanya dalam beberapa jalan di kota kecil Madinah. Walaupun dalam jangka waktu sepuluh tahun sampai akhir hayat Nabi Muhammad SAW, seluruh Arab dan bagian Palestina Selatan dan Irak berada di bawah yurisdiksinya, namun anggaran tidaklah rumit. 

Pendapatan Negara berbeda dari tahun ke tahun, dan bahkan dari hari ke hari. Berbagai bagian Negara mengirimkan sejumlah tertentu dari penghasilannya sesudah membayar pengeluaran administratif dan pengeluaran mereka lainnya. Umpamanya, para penguasa setempat di Palestina (di Jarba dan Adburah) masing-masing berjanji membayar 100 dinar (Ibn Sa'd dan yang lain-lain) tiap tahun. Bandar Aylah di teluk Aqabah membayar 300 dinar setiap tahun (Ibn Sa'd, Maqrizi). Daerah Najran di Yaman mengirimkan 2000 potong pakaian (satu pakaian berharga satu ons (100 gram) emas). 

Tapi kita memiliki rincian lengkap mengenai masa-masa setelah itu, terutama waktu kekhalifahan Abbasiyah. Bahkan catatan penting untuk seluruh kerajaan itu diumumkan oleh Von Kremer dalam beberapa tulisannya yang berbahasa Jerman. Semua hal ini hanya mengenai pendapatan, namun hal ini sangat menarik karena kita tidak mengetahui apa-apa misalnya tentang Eropa yang sezaman dengannya atau tentang Kerajaan Karel Agung yang konon saling membuka.

Sesungguhnya, Baitul Mal tidak menerima pendapatan kotor dari tanah Kharaj dan pajak derma dari propinsi-propinsi, tetapi hanya surplus yang tersisa setelah biaya semua jasa setempat dan pembayaran kemiliteran dikurangi. Bagaimana pendapatan Baitul Mal biasanya dibelanjakan dapat dikumpulkan dari perkiraan anggaran untuk tahun 306 yang masih tersimpan.

Pos utama kontes kenegaraan adalah sebagai berikut:

(a) Untuk kota-kota suci (Mekkah dan Madinah dan rute perjalanan ibadah hajinya)
(b) Untuk daerah-daerah perbatasan 
(c) Gaji para Qädi dalam kerajaan 
(d) Gaji para petugas polisi dan kehakiman dalam kerajaan 
(e) Gaji para petugas barid (pos)

Biaya seluruh usaha pemerintah ini dan pengeluaran lainnya kurang dari satu juta dinar, sementara pengeluaran untuk rumah tangga kerajaan, para pejabat rendah dalam Pemerintah, Diwan, polisi penjaga keamanan ibu kota, dan pos lainnya kira-kira berjumlah 14,5 juta dinar lebih. 

Sesungguhnya, objek untuk pengeluaran uang pemerintah, dan yang dihadapi oleh perbendaharaan negara, relatif sedikit, dan berbeda menurut zaman dan keadaan.

Dari analisis di atas setidak-tidaknya terdapat dua hal yang jelas: 

(i) Di masa Islam, periode awal mungkin menentukan penghasilan yang menentukan jumlah yang tersedia untuk pengeluaran. Tetapi hal ini tidak benar-benar dalam hal anggaran darurat karena perang atau bencana alam lainnya; untuk ini dikenakan pungutan khusus atau sumbangan yang diharapkan. 

(ii) Kebijakan anggaran tidak berorientasikan pertumbuhan karena ketika itu tidak terdapat seruan untuk pertumbuhan ekonomi dalam arti istilahnya modern. Kini timbul pertanyaan tentang kebijakan anggaran yang ada harus diambil oleh suatu negara Islam..

Tak diragukan lagi, konsep anggaran berimbang atau surpluslah, yang mungkin merupakan praktek yang berlaku di masa Islam dini. Dewasa ini pun salah satu peraturan lama yang masih berlaku dalam keuangan ialah anggaran nasional yang harus berimbang. Suatu anggaran disebut berimbang bila pengeluaran dan penerimaan pemerintah sama. Bila penerimaan melebihi pengeluaran dalam suatu masa tertentu, anggaran menjadi anggaran surplus, dan sebaliknya, anggaran defisit, bila pengeluaran melebihi penerimaan.

Pengertian Anggaran Belanja Modern

Tidak hanya di masa Islam periode awal, tapi di akhir-akhir ini pun, ruang lingkup anggaran sangat sempit dan terbatas hingga bila jumlah yang dianggarkan terbelanjakan, para pejabat yang berkepentingan menganggap bahwa tugas mereka telah selesai.

Dewasa ini tekanan tidak hanya pada tindakan mengeluarkan uang tetapi, tekanan terdapat dalam hubungan antara pengeluaran dan dipenuhinya rencana-rencana, karena perencanaan dan anggaran dianggap sebagai operasi yang saling melengkapi. 

Demikianlah "anggaran modern merupakan suatu campuran rumit antara rencana dan proyek yang harus dilaksanakan di masa depan dengan tujuan rangkap meningkatkan dan memperbaiki pengelolaan kemasyarakatan di masa depan. maupun melenyapkan kesulitan dan rintangan yang terdapat pada jalan pertumbuhan ekonomi negara".

Tetapi konsep modern suatu anggaran ganda yang meliputi anggaran pendapatan maupun anggaran modal, telah menimbulkan persoalan pokok persoalan apakah anggaran modal harus berimbang atau tidak. Kebijakan yang diperkirakan dimiliki oleh anggaran berimbang dalam keadaan tertentu tidak lagi diyakini orang dan anggaran defisit telah diterima sebagai salah satu alat yang paling ampuh untuk menentang depresi yang kronik.

Negara Islam dan Anggaran Belanja Modern

Negara Islam modern harus menerima konsep anggaran modern dengan perbedaan pokok dalam hal penanganan defisit anggaran. Negara Islam dewasa ini harus mulai dengan pengeluaran yang mutlak diperlukan, dan mencari jalan serta cara-cara untuk mencapainya, baik dengan rasionalisasi struktur pajak atau dengan mengambil kredit dari sistem perbankan atau dari luar negeri.

Hal ini berdasarkan alasan sebagai berikut: 1. Karena berbagai sebab ekonomik dan historik kebanyakan negeri Islam (kecuali negeri-negeri Islam surplus modal kekayaan minyak), baik yang paling kurang berkembang atau sedang berkembang. Sumber daya domestik mungkin tidak mencukupi untuk memenuhi keperluan perekonomian ini. 2. Dalam banyak hal modal asing diperlukan untuk memanfaatkan sumber daya negeri-negeri Islam yang luas sekali.

Anggaran Belanja Defisit dan Pembiayaan Defisit

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa bila penerimaan kurang dari pe ngeluaran, terjadi defisit anggaran. Namun suatu pemerintah mempunyai surplus anggaran, bila penerimaan melebihi pengeluaran, dan bila penerimaan sekarang sama dengan pengeluaran sekarang, terjadi anggaran berimbang.

Maka bila suatu pemerintah menaikkan pengeluaran, tanpa menaikkan pajak, pengeluaran ekstranya dapat disebut dibiayai melalui pembiayaan defisit. Persoalannya ialah apakah suatu negara Islam harus mengambil jalan pembiayaan defisit. 

Tampaknya terdapat kontroversi di kalangan ahli ekonomi Islam. Beberapa di antaranya mengemukakan bahwa suatu negara Islam tidak seharusnya melakukan pembiayaan defisit karena hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan pemerintah meminjam dengan bunga. Pengeluaran yang ber tambah ini juga dapat menyebabkan pengeluaran yang boros.

Memang benar bahwa suatu defisit memerlukan tambahan dengan me minjam. Untuk ini terdapat tiga sumber tradisional bagi kebanyakan negeri Islam: bank sentral, bank umum, dan masyarakat. Pada umumnya suatu pemerintah meminjam dari sumber-sumber ini dengan menjual surat per bendaharaan negara atau obligasi yang bersuku bunga. Juga benar bahwa dalam banyak hal suatu pemerintah mungkin mengeluarkan uang secara tidak bijaksana atau mengeluarkan untuk keuntungan si kaya dan sebagainya.

Dalam suatu perekonomian Islam, tidaklah pantas untuk menolak pembiayaan defisit sebagai suatu ketentuan. Dalam suatu negara Islam bisa saja dilakukan pembiayaan defisit, karena uang yang dikeluarkan pemerintah dapat merupakan keanekaragaman pajak-pajak pemerintah dan pengeluaran akan mempunyai dampak yang besar pada produk nasional bruto (GNP), juga pada keseluruhan kesempatan kerja. 

Selanjutnya, adalah memungkinkan untuk menunjukkan bahwa keanekaragaman akan dipergunakan untuk meng alokasi kembali pengeluaran dengan menguntungkan rakyat miskin, daerah daerah miskin, atau di antara semua sektor ekonomi. Namun hal ini hanya akan berpengaruh sedikit pada tingkat keseluruhan permintaan produk nasional bruto, dan seluruh kesempatan kerja.

Karena adanya kemungkinan untuk melaksanakan pembiayaan defisit, maka terdapat juga mekanisme yang dapat digunakan negara Islam untuk melakukan pembiayaan defisit. Pada bab 9 dan 10 kita telah membahas mekanisme Mudarabah, Musharaka, dan Muràbaha, dengan ini pembiayaan proyek yang dibenarkan secara Islami dapat diatur berdasarkan pembagian laba dan partisipasi modal. 

Di samping itu, pemerintah Islam juga dapat mengumpulkan dana dengan menerbitkan sertifikat investasi atau obligasi berdasarkan pembagian laba dan kerugian. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa bank Islam lokal dan Dar Al-Maal Al Islami telah mulai menjual saham kepada umum dan mengeluarkan berbagai bentuk sertifikat investasi dan obligasi.

Tetapi harus diakui bahwa sekali pemerintah melaksanakan pembiayaan defisit, pengeluaran tambahannya harus direncanakan dengan cermat dan uang yang dikeluarkan pemerintah jangan hanya menyebabkan kenaikan dalam volume produk nasional bruto, terlepas dari akibatnya pada distribusi pendapatan di kalangan orang miskin. Harus dipastikan siapa yang menjadi penerima utama pengeluaran tambahan pemerintah karena pembiayaan defisit. Di sinilah terletak dimensi masalah Islami.

Pemasukan Dalam Negeri

Penulis merasa bahwa sejauh yang mengenai pengerahan sumber daya dalam negeri, termasuk pinjaman dari sistem perbankan, negeri Islam, menguasai persoalannya sendiri. 

Dalam lingkungan sosio-ekonomik Islami, bank harus bertindak sebagai mitra usaha dalam perdagangan, perniagaan, industri, dan rencana pembangunan. Suatu penggabungan yang menyenangkan dari pengalaman keuangan bank dan pengetahuan para investor tentang investasi dan bisnis harus dilakukan agar tercapai keadilan sosial yang sesungguhnya dan persaudaraan manusia sedunia. Telah kita lihat bahwa selama masa Islam dini, penerimaan Zakat dan sedekah merupakan sumber pokok pendapatan. 

Jelaslah, di zaman modern, penerimaan ini tidak dapat memenuhi persyaratan anggaran yang berorientasikan pertumbuhan modern dalam suatu negara Islam. Diperlukan untuk mengenakan pajak baru, terutama pada orang yang lebih kaya demi kepentingan kemajuan dan keadilan sosial. Sunnah dengan jelas menyatakan tentang hal ini: "Selalu ada yang harus dibayar selain Zakat." Maka Nabi SAW berpesan dan memerintahkan pengeluaran untuk kebajikan masyarakat. Katanya: "Kekayaan harus diambil dari si kaya dan dikembalikan kepada si miskin." (Bukhari).

"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak saya nafkahkannya di jalan Allah, maka berikanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapatksa yang pedih. (Q.S. At Taubah, 9:34)

Dari ayat tersebut di atas jelaslah bahwa bagi mereka yang menyalahgunakan kekayaannya sehingga merugikan masyarakat, akan dihukum dengan hukuman yang pedih. Islam tidak menyetujui monopoli sumber daya oleh segelintir jutawan yang mementingkan dirinya sendiri. Tuhan memerintahkan pada mereka yang kaya agar kekayaan tetap beredar, seperti dinyatakan dalam Kitab Suci Al Qur'an: "Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (QS. Al Hasyr, 59:7) 

Karena itu perlu perpajakan dan pengeluaran negara yang kian lama kian progresif, dan kebijakan ini harus tercermin dalam kebijakan peranggaran suatu negara Islam.

Tulisan Ini Berdasarkan Buku Teori Dan Praktek Ekonomi Islam Oleh Muhammad Abdul Mannan