Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penetapan Penerima Pusaka

Penetapan Penerima Pusaka
Dari syarat-syarat yang tersebut berkenaan dengan penerima pusaka (ada harta yang ditingalkan oleh muwaris dan ada ahli waris) ini, timbullah beberapa masalah seperti: 

Apabila dua orang yang saling punya hak pusaka meninggal dan tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, seperti ayah dan anaknya meninggal bersama-sama, atau suami dan istrinya meninggal bersama-sama, maka mereka tidak mempunyai hak terhadap harta masing-masing. 

Baik kematian mereka lantaran suatu peristiwa seperti ayah dan anak karam bersama-sama atau dalam dua peristiwa, seperti yang seorang karam dan seorang dibunuh, baik kematian mereka dalam satu waktu atau dalam dua waktu yang beriringan, tetapi tidak diketahui mana yang terdahulu. 

Karenanya harta peninggalan mereka dimiliki oleh waris-warisnya yang hidup di waktu mereka meninggal, dan inilah yang dimaksudkan oleh para fuqaha dari perkataan mereka: "La tawarutsa bainal gharqa wal harga wal had ma" (tidak ada saling mempusakai antara orang-orang yang sama sama karam, sama-sama terbakar, sama tertimbun oleh reruntuhan rumah). 

Apabila seorang muwaris meninggal, sedang diantara para warisnya ada seorang yang mafqud, yang tidak diketahui tempatnya dan tidak pula diketahui keadaannya, apakah masih hidup, ataukah telah mati, maka si mafqud ini tidak berhak menerima pusaka secara langsung karena belum diketahui apakah dia hidup di waktu muwarisnya itu mati walaupun waris-warisnya belum dapat menerima pusaka dari mafquad itu. 

Akan tetapi karena ada kemungkinan, bahwa si mafqud itu masih hidup di waktu muwaris-nya meninggal, disimpan. lah bagiannya sehingga kelak diketahui keadaannya. Kalau nanti ternyata dia masih hidup, diserahkanlah kepadanya bagian itu. Dan kalau kelak dia ditetapkan telah meninggal oleh hakim, maka bagiannya dikembalikan kepada waris-waris yang ada di waktu si muwaris itu meninggal. 

Apabila seseorang meninggal, sedang dalam jumlah warisnya ada seorang anak yang masih dalam kandungan, baik kandungan itu dari yang meninggal sendiri, seperti seseorang meninggal, dengan meninggalkan kedua ibu, ayah dan istrinya yang sedang mengandung, maupun kandungan itu anak orang lain, seperti seseorang meninggal dengan meninggalkan ibu, ayah dan seorang istri yang mengandung dari anaknya yang telah meninggal, maka anak yang dalam kandungan itu tidak berhak mendapat pusaka dengan langsung karena tidak pasti bahwa dia hidup di waktu muwaris-nya meninggal. 

Akan tetapi karena mungkin ada dalil yang menunjuk bahwa dia dalam keadaan hidup di waktu muwaris-nya meninggal, maka disimpanlah bagiannya dari harta peninggalan, yaitu bagian yang paling sempurna dengan dianggap bahwa anak itu ( anak yang dalam kandungan ) lelaki atau perempuan sehingga dia dilahirkan. Kalau dia dilahirkan dalam keadaan hidup dalam jangka waktu tertentu setelah dilahirkan, ketika muwaris-nya meninggal, niscaya dia pun menerima haknya yang disimpan untuknya. 

Jika dia dilahirkan dalam keadaan mati, atau dalam keadaan hidup dalam tempo yang syara' tidak dapat menganggap bahwa dia berada dalam keadaan hidup di waktu meninggal muwaris-nya, dikembalikan kepada para waris yang ada pada waktu muwaris itu meninggal. Pembahasan warisan anak yang dalam kandungan akan di terangkan dalam bab tersendiri.

Berdasarkan buku Fikih Mawaris karangan Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy