Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadits Mencium Istri Ketika Berpuasa

Hadits Mencium Istri Ketika Berpuasa
Bagaimana hukum mencium istri dalam berpuasa terhadap orang yang tidak terangsang nafsunya...??? Berikut ini adalah hadits dari Nabi yang menjelaskan dengan masalah ini sebagaimana hadits riwayat dari Aisyah ra. berkata:

 ما تم منحكت جان رسول اللہ ﷺ کیقبل بعض ازواجه وهوصائم

”Sesungguhnya Rasulullah sering mencium isteri-isterinya sedang beliau lagi berpuasa. Kemudian Aisyah tertawa.”( Al Bukhary 30 : 24 ; Muslim 13: 12 ; Al Lulu u wal Marjan 2: 11 ). 678 ) 

Aisyah ra. berkata:

 لاربه هو صائم وكان أم كان النبي ﷺﷺ يقبل ويباشرو

”Nabi saw. selalu mencium dan selalu menyentuh badan isterinya sedang beliau lagi berpuasa. Beliau itu adalah seorang yang lebih dapat menahan nafsunya.”( Al Bukhary 30:23 ; Muslim 13 : 12 ; Al Lulu-u wal Marjan 2 : 11 ). 

Penjelasan Hadits

Nabi saw. pernah mencium salah seorang isterinya saat beliau berpuasa. Sesudah Aisyah mengatakan yang demikian itu, beliau pun tertawa. Aisyah tertawa sesudah menceritakan hal itu, adalah karena beliau sendiri yang dicium Rasulullah, atau karena beliau merasa heran kepada orang yang tidak membolehkan orang yang sedang berpuasa mencium isterinya, atau karena beliau menceritakan sesuatu yang tidak baik untuk diceritakan, kalau sekiranya bukan karena ada keperluan, yaitu menyampaikan suatu hukum, atau karena mengingat kedudukan beliau di sisi Rasulullah. 

Rasulullah pernah mencium isterinya dan memeluknya sedang beliau lagi berpuasa. Dalam pada itu, sebaiknya janganlah kita mencium isteri, dan menganggap diri kita kuat menahan nafsu. Nabi berbuat demikian adalah karena beliau benar-benar dapat menahan nafsunya dan dapat menahan inzalnya.

Di dalam riwayat-riwayat yang lain kita memperoleh kepastian bahwa Aisyahlah yang dimaksud dalam hadits ini Sikap Aisyah ini memberi pengertian bahwa kita boleh menceritakan hal-hal yang berlaku di antara suami isteri jika ada suatu keperluan. 

Al Hafizh Az Zain Al Iraqy, berkata: ”Inilah pendapat yang paling kuat, karena tafsir yang sangat baik, ialah menafsirkan sesuatu lafal yang gharib dengan tafsir yang tersebut dalam salah satu jalan hadits sendiri.”

Kaidah menetapkan

أولى مايفسر به الغريب ما ورد في بعض طرق الحديث. 

”Yang paling utama kita tafsirkan sesuatu lafal yang gharib, ialah menafsirkannya dengan lafal yang datang dalam sebagian jalan hadits.”

Dalam bab ini kita menemukan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa orang yang sedang berpuasa boleh mencium isterinya secara mutlak, ada yang menunjukkan kepada boleh dilakukan oleh orang tua, tidak boleh oleh orang yang masih muda. Lantaran demikian pendapat para ulama tidak sama. 

An Nawawy berkata :”Tidak ada khilaf bahwa mencium isteri itu tidak membatalkan puasa, terkecuali jika mengeluarkan mani.”Dalam pada itu Abdullah ibn Syubrumah membatalkan puasa lantaran mencium isteri. 

Ibnu Hazm berkata :”Golongan pemakai qiyas tidak membolehkan mubasyarah ( memeluk isteri ) bagi orang yang sedang haji. Maka seharusnya mereka tidak membolehkan mubasyarah bagi orang yang sedang puasa, karena mubasyarah dan melakukan sentuhan-sentuhan yang merangsang persetubuhan membatalkan haji.”

Pendapat yang masyhur dalam kalangan Malikiyah memakruhkan ciuman dan pelukan. 

Ibnu Umar menurut Ibnu Abi Syaibah, memakruhkan ciuman dan pelukan. Segolongan ulama menurut nukilan Ibnul Mundzir mengharamkannya, mengingat ayat yang membolehkan mubasyarah pada malam hari. 

Akan tetapi karena Nabi sendiri pernah memeluk isterinya dan mencium isterinya di siang hari, maka nyatalah bahwa mubasyarah yang dilarang di siang hari, hanyalah jima ' saja, bukan ciuman dan pelukan. 

Segolongan ulama membolehkan secara mutlak. Inilah pendapat Abu Hurairah, Said Al Khudry dan Saad ibn Abi Waqash. Segolongan ulama yang lain membedakan antara orang muda dan orang tua. Mereka membolehkan bagi orang tua dan memakruhkan bagi orang muda. Inilah pendapat Ibnu Abbas. 

Segolongan yang lain lagi membedakan antara orang yang dapat menahan nafsu, dengan orang yang tidak dapat menahannya. Demikianlah pendapat sebagian ahli ilmu. 

Diantaranya Sufyan dan Asy Syafi'y, menurut keterangan At Turmudzy. Hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini memberi pengertian bahwa mencium isteri selagi berpuasa, bukan dari hak khusus Nabi sendiri. 

Kemudian para ulama berselisih pendapat, apabila seseorang inzal ( keluar mani ) lantaran mencium isteri. Ulama Kufah dan Asy Syafi'y berpendapat bahwa jika keluar mani hendaklah dia menqadha puasanya, tetapi tidak usah qadha lantaran keluar madzi sajaز

Malik dan Ishak mewajibkan qadha, atas orang yang keluar mani lantaran mencium serta memberi kaffarat, tetapi jika madzi saja yang keluar, maka hanya wajib qadha tidak kaffarat. 

Kata Ibnu Qudamah :”Jika cium itu membawa kepada inzal, hendaklah diqadha.” Ibnu Hazm menguatkan pendapat yang menetapkan bahwa keluar mani karena mencium itu tidak membatalkan puasa.

Kesimpulan 

Hadits hadits ini menyatakan bahwa Nabi pernah mencium isterinya selagi beliau berpuasa. Karena itu mencium isteri tidak membatalkan puasa, walaupun inzal.

Referensi dari Karangan Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy Tentang Mutiara Hadits Jilid Keempat