Perbedaan Antara Perlombaan Dengan Perjudian
Ammar berkata,”Penanya mengatakan,”Ya Syaikh, terkadang masjid yang ada di desa kita ini mengadakan kegiatan perlombaan agama seperti di bawah ini.
Tulislah sebuah makalah dengan judul-judul yang ada di bawah ini dengan syarat makalah itu tidak melebihi lima lembar. Judul-judul tersebut adalah:
- Posisi orang Yahudi terhadap Rasulullah saw.
- Peraturan hisbah dalam Islam.
- Memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Beberapa donatur menjadi penanggung hadiah untuk perlombaan ini. Namun, tidak seorang pun dari peserta perlombaan diberikan hadiah tertentu. Akan tetapi, hadiah-hadiah tersebut dibagi menjadi beberapa bagian seperti di bawah ini:
- pemenang pertama memperoleh sejumlah besar uang
- pemenang kedua memperoleh hadiah yang berharga;
- pemenang ketiga memperoleh beberapa kitab yang berharga;
- pemenang keempat memperoleh hadiah yang sesuai;
- pemenang kelima memperoleh hadiah yang sesuai.
Pertanyaannya adalah apakah perlombaan ini dibolehkan dan sah dengan cara seperti ini ?”Tidak, perlombaan itu tidak dibolehkan dengan cara seperti itu ?”jawab Syaikh”Kenapa ?”tanya Ammar.
Syaikh menjawab,”Karera hadiah yang tidak diketahui itu.”Kita mempunyai beberapa persyaratan supaya suatu perlombaan itu. menjadi sah, di antaranya adalah hendaknya hadiah yang diberikan kepada pemenang itu diketahui secara pasti macam dan sifatnya ( kualitas maupun kuantitasnya ).
Maka, suatu perlombaan dianggap tidak sah bila hadiahnya itu tidak diketahui secara pasti, seperti,”Saya akan berlomba denganmu untuk memperoleh apa yang ada dalam bungkusan itu. Atau saya akan berlomba denganmu untuk memperebutkan sejumlah uang. hadiah yang berharga ataupun yang lainnya.”
Oleh karena itu, hadiah itu haruslah bersifat pemenang pertama, haruslah dikatakan Untuk pasti. kalau hadiahnya sejumlah uang dengan jumlah segini dan segitu, Untuk pemenang kedua, hadiahnya adalah kitab ini dan itu.
Dengan demikian, bentuk hadiah tersebut bersifat pasti bagi para peserta lomba sebelum mereka mengikuti perlombaan. Hal ini supaya setiap peserta lomba dapat melihat seberapa besar nilai hadiahnya dan dapat menentukan seberapa besar usahanya dengan didasarkan nilai hadiah tersebut.
Dengan demikian, dia dapat menentukan apakah dirinya akan mengikuti perlombaan itu atau tidak. Sebab, terkadang peserta lomba akan merasa menyesal ketika mengetahui sedikitnya nilai hadiah yang dia peroleh setelah dia memperoleh kemenangan.
Selain syarat itu, ada syarat lain, yaitu hadiah diberikan kepada pemenang lomba hendaklah sesuatu yang mubah. Suatu perlombaan tidak sah jika hadiahnya berupa barang barang yang diharamkan seperti botol minuman keras atau peralatan musik. Jadi, nilai suatu hadiah itu harus diketahui dan harus barang yang halal.
Dan itu harus dijelaskan sebelum perlombaan dimulai. yang Ammar berkata,”Jika perlombaan dalam bentuk seperti ini tidak dibolehkan dan tidak sah, sebenarnya ada bentuk perlombaan lain di daerah kami yang ingin kami ketahui hukumnya.”“Apakah itu ?”tanya Syaikh.
Ammar menjelaskan,”Misalnya masjid mengumumkan suatu perlombaan dan barang siapa yang ingin ikut serta dalam perlombaan tersebut, dia harus membayar sepuluh pound. Kemudian uang yang diperoleh dari pendaftaran itu dikumpulkan dan dibelikan hadiah untuk sepuluh pemenang pertama. Nah, apa hukumnya bentuk perlombaan seperti ini ?”
Syaikh berkata,”Bentuk perlombaan seperti ini juga tidak sah. Mazalagal seperti ini dianggap sebagai perlombaan yang fand ( rusak ).”“Kenapa ?”tanya Ammar.”Karena menyerupai dengan perjudian.”jawab Syaikh.
Bagaimana menyerupai perjudian ?”tanya Ammar lagi. Syaikh menjawab,”Sebab setiap peserta membayar sejumlah uang Barang siapa yang berusaha, lalu menang. Maka dia akan mengambil uang yang dia bayarkan beserta tambahannya. Barang siapa yang tidak menang, dia akan rugi atas apa yang telah dibayarkannya.
Model seperti ini adalah inti dari perjudian ( qimar ) itu sendiri. Sebab bentuk perjudian adalah seperti dua orang atau lebih saling berlomba dan setiap orang yang mengikuti perlombaan itu harus mengeluarkan sejumlah uang ( atau barang ) sebagai ganti atau biaya pendaftaran.
Nah, inilah bentuk perjudian. Setiap orang dari mereka tidak akan dapat mengelak dari memperoleh hadiah ( kemenangan ) atau membayar denda ( karena kalah ) dan ini diharamkan. Adapun dalil diharamkannya perjudian seperti itu adalah Dari Ibnu Mas'ud ra. yang diriwayatkan secara marfu' Kuda itu ada tiga macam, Kuda untuk Zat Yang Maha Pengasih, kuda untuk manusia dan kuda untuk setan. Adapun kuda untuk Zat Yang Maha Pengasih adalah kada sang berkaitan dengan jihad di jalan Allah. Makanannya, kotorannya, air kencingnya, dan semua yang disebutkan sesuai dengan kehendak Allah adalah pahala. Sedangkan kuda untuk setan adalah kuda yang dipakai untuk bertaruh dan dijadikan jaminan. (HR. Imam Ahmad)
Jadi, perjudian itu adalah jika ada dua orang atau lebih yang saling berlomba, lalu setiap peserta lomba tersebut mengeluarkan sesuatu sebagai gantinya sebagaimana yang telah kami sebutkan tadi.”Bukankah ada cara lain yang dapat mengeluarkan kita dari cara yang menyerupai perjudian seperti ini ?”tanya Ammar.
”Ya, ada beberapa cara yang dapat kita gunakan untuk mengeluarkan suatu perlombaan dari kategori menyerupai perjudian.”jawab Syaikh.”Apakah cara-cara itu ?”tanya Ammar. Syaikh berkata:
”Pertama, hendaknya hadiah itu dari satu orang saja seperti dari penguasa atau yang lainnya. Barang siapa yang mengadakan perlombaan lalu menjelaskan bahwa yang menang akan memperoleh hadiah ini dan itu atau hadiah tersebut diambil dari baitulmal kaum muslimin maka itu dibolehkan. Karena dalam perlombaan ini mengandung dorongan untuk melakukan jihad. Maka dari itu, jika ini dilakukan, perlombaan seperu ini dibolehkan dan sah.
Kedua, dua orang atau lebih ikut serta dalam suatu perlombaan. Lalu sebagian peserta itu membayar sejumlah uang dan sebagian lagi tidak. Maka, perlombaan seperti ini dibolehkan. Namun, jika semua peserta membayar uang maka ini akan menyerupai perjudian. Jadi, supaya tidak menyerupai perjudian, hendaknya hanya sebagian saja yang membayar.
Ketiga, ada peserta baru yang masuk untuk mengikuti perlombaan, namun dengan syarat peserta baru itu tidak membayar apa pun. Peserta baru itu dinamakan ulama sebagai mahallilan ( yang menghalalkan ). Selain syarat itu, ada syarat lain, yaitu hadiah tersebut harus diberikan kepada sang pemenang walaupun yang menang itu adalah muhallil.
”Untuk itu, apakah boleh setiap orang menjadi muhallil”tanya Ammar. Syaikh menjawab,”Tidak. Tetapi ada juga syarat-syarat bagi peserta baru ( muhallil ) itu.”“Syarat-syarat apakah itu ?”tanya Ammar kembali. Syaikh berkata,”syarat-syaratnya adalah:
- Muhallil ini tidak membayar sepeserpun untuk hadiah ini.
- Muhallil itu harus satu orang saja tidak boleh lebih.
- Hendaknya kendaraan yang dinaiki muhallil itu harus sebanding dengan kendaraan peserta lain. Dengan demikian, kesempatan muhallil untuk menang itu sama dengan peserta lainnya.
- Hendaknya lemparan muhallil dan lemparan peserta lainnya sebanding, Maka dari itu, tidak sah jika para pesertanya adalah laki-laki dewasa semua, sedangkan muhallil-nya adalah anak kecil.”
Namun, jika ada salah seorang masuk di antara mereka berdua antak ikut serta dalam perlombaan, di mana orang yang baru masuk itu tidak membayar taruhan sedikit pun, bentuk perlombaan seperti ini akan jauh dan bentuk perjudian.
Dengan keghaiban Nya, aku memutuskan suatu hukum. Dan semoga Allah membacakan shalawat kepada Nabi kita yang mulia. Ammar berkata,”Ya Syaikh, banyak sekali masjid melakukan perlombaan seperti itu.”Syaikh berkata,”Karena itu, seyogianya kamu memperingatkan orang-orang yang melakukan hal tersebut supaya mereka tidak jatuh dalam perjudian.”Ammar berkata,”Ya Syaikh, semoga Allah memberkatimu, karena ilmumu dan karena manfaat yang kamu berikan kepada kaum muslimin. Lalu Ammar melantunkan syair-syair sebagai berikut:
Hari ini, cahaya ( kebenaran ) terpancar ke segala arah, wahai saudara saudaraku. Atas datangnya orang alim yang saleb ini.
Jika saya menginginkan Syaikh saya ini memperoleh pujian, saya khawatir kalau dia nantinya akan menaburkan debu kepadaku sekarang ini.
Akan tetapi, saya ( benar-benar ingin ) mengatakan kebenaran-kebenaran yang ada, bukan pujian yang diberikan oleh selain saya.
Dia menyinari rumah-rumah kami dengan fikih muamalat. Hanya Allah lah rumahmu, wahai alim yang saleh.
Saya melihat, para pecinta memandanginya dengan penuh rasa rindu. Mereka mengharapkan pelajaran yang permanen dengan saling berdesak-desakan.
Paling tidak, setiap bulan sekali. Kami mengharap, engkau menjadikan harapan kami dalam perhitunganmu ( jadwalmu ).
Engkau menghidupkan ( kami ), wahai pujaan dan pengobat hati. Demi Allah, aku memohon agar kita bertemu dalam jiwa.
Mudah-mudahan engkau diberi umur panjang. Mudah-mudahan engkau diberi umur panjang sampai seribu juta tahun. Tidak seperti umur panjang salah satu dari kami.
Kami mengharapkan jawaban darimu, wahai kekasih hati kami, atas masalah khusus pengajian jiwa ini.
Lalu Syaikh menjawab syair Ammar dengan syair-syair sebagai berikut:
Apakah secercah sinar ini dapat memberi pelajaran dan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang sedang mengalami kekecewaan dan kebingungan
Wabai saudaraku, dalam pelajaranku itu saya tidak mendatangkan hal yang baru dan yang bid'ah selain hanya pilihan kata kata
Jika itu jelek maka itu semua berasal dari usahaku. Jika itu baik maka itu berkat keutamaan dari sang pemberi anugerah
Ya Tuhanku, janganlah engkau menjadikan pahalaku sebagai kemasyhuran yang tersebar ke setiap orang dan bangsa.
Saya haturkan shalawat dan salamku semua kepada makhluk yang paling dicintai oleh Allah di antara makhluk jin dan manusia.
Jika Tuban, penguasa semesta alam ini menginginkan, dengan kemurahan hati-Nya. Maka pelajaran seperti ini akan tetap ada.
Demi Allah, saya memohon agar Dia menetapkan hati kami dengan menampakkan agama yang satu ini di dunia.
Sampai jumpa pada pertemuan selanjutnya di sini. Tampak roman wajah cinta kalian di hatiku.
Shalawat dan salam Tuhanku semuanya dihaturkan kepada pemimpin makhluk Allah yang menjadi pemimpin di antara jin dan manusia.
Kepada Allah, aku memohon agar Dia menerima tulisan dariku ini. Dan saya bersyukur kepada-Nya atas apa yang dipercayakan kepadaku.
Penutup dari kitab Tahzdir Al-Kiram Min Mi'ah Bab Min Abwabil Haram (Terj. Uang Haram) oleh Ibrahim bin Fathi bin Abdul Al-Muqtadir